Jujur saja, beberapa waktu lalu saya merasa cukup tertekan tiap kali berkunjung ke Facebook. Sampai-sampai terbesit untuk uninstall aplikasi ini dari HP saya. Masalahnya simpel sih, saya merasa terganggu dengan tanggapan orang-orang di Facebook mengenai marital rape atau pemerkosaan dalam rumah tangga. Yaelah, namanya juga medsos, bebaslah orang berkomentar! Baper amat.
Sebenarnya saya termasuk orang yang masa bodo dengan postingan yang diunggah teman-teman saya di medsos. Biasanya saya selalu bisa mengendalikan jemari saya untuk tidak berkomentar ketika mereka ngomong seenaknya sendiri. Tapi mengenai kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini, entah kenapa saya merasa sulit sekali menahannya dan hal inilah yang membuat saya frustrasi ketika membuka Facebook. Oleh karenanya, daripada saya berkomentar satu-satu di postingan teman saya yang mungkin nantinya justru berakhir dengan konflik baku hantam, hehe, mending saya tumpahkan uneg-uneg saya di sini saja.
Semua bermula dari potongan RUU PKS yang mengatakan istilah ‘pemerkosaan dalam rumah tangga’. Bagi beberapa orang mungkin ini terdengar lucu bin menggelikan. Masa iya, suami memperkosa istrinya sendiri? Bukannya mereka sudah sah secara hukum dan agama sebagai seorang pasangan, masa iya urusan berhubungan badan antar suami istri kok diatur Undang-Undang segala. Bahkan suami bisa saja menjadi tersangka dan dipidanakan akibat tindak pemerkosaan itu tersebut.
Saya merasa heran, karena sebagian orang yang membuat lelucon tentang marital rape ini justru para kaum perempuan. Mereka dengan terang-terangan menolak RUU PKS hanya berdasarkan potongan kalimat tersebut tanpa mau membaca draf rancangan RUU PKS secara menyeluruh. bagi mereka pokoknya itu hal tabu, tidak masuk akal, dan lucu. TITIK! Para perempuan-perempuan ini justru yang maju di barisan paling depan untuk menertawakan sekaligus menentang istilah pemerkosaan dalam rumah tangga.
Tak sedikit para perempuan ini membuat lelucon dengan membagikan sebuah surat pernyataan yang mengatakan bahwa mereka rela dan ikhlas diperkosa suaminya tanpa melapor pihak berwajib. Bahkan yang membuat saya merasa eneg, mereka tak sungkan dan tak malu untuk mengatakan pada publik bahwa diperkosa suami itu merupakan sebuah kenikmatan dan rasanya enak.
Tak habis pikir saja, diperkosa kok masih bisa bilang hal itu enak. Enak yang bagaimana sih? Ambil simpelnya sajalah, ketika suami istri itu berhubungan tapi si istri tidak mood atau sedang tidak ingin, Miss V pun peka dan merespon dengan sebuah penolakan. Mr P pun tentu harusnya bisa merasakan juga penolakan tersebut. dan itu nggak ada enak-enaknya sama sekali untuk kedua belah pihak. Istrinya juga sudah pasti nggak nyaman, sedangkan si suami juga pasti kesakitan.
Kadang terbesit untuk mengetik di kolom komentar mereka. Menyarankan mereka untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, agar mereka bisa memahami definisi permerkosaan. Pahamkah mereka bahawa Making Love atau ML itu berbeda dengan rape? Making love itu dilakukan atas dasar suka sama suka, maksudnya tak ada pihak yang tersakiti, dipaksa, atau teraniaya. Nama saja juga ‘bercinta’, masa iya ada tindak kekerasaan dan intimidasi.
Jadi kalau ada perempuan yang bilang, kalau mereka ikhlas mengalami marital rape suaminya, maka harus dikaji ulang pemahaman bahasanya. Kalau ikhlas itu namanya bukan pemerkosaan, Mbak! Mana ada korban pemerkosaan yang ikhlas. Kalau ikhlas itu namanya penyerahan diri. Masa iya yang kaya gini harus dijelaskan sih.
Kenapa mereka masih ngotot bahwa suami itu tak berhak menyandang predikat ‘pemerkosa’. Tidak bisakah suami itu menjadi tersangka? Jelas bisalah. Yang namanya pemerkosaan itu tetap pemerkosaan, tak peduli itu suaminya, ayahnya, kakaknya, adiknya, tetangganya, atau temannya. Tindakan kekerasaan seksual yang disertai intimidasi, paksaan, penganiayan, hingga tak jarang membuat korban trauma itu semua merupakan kejahatan seksual.
Mungkin mereka termasuk perempuan-perempuan yang beruntung, bisa bertemu dan memiliki suami yang baik, pengertian, dan ‘normal’. Pernahkah mereka berpikir bahwa saat mereka menertawakan hal tersebut, di luar sana ada banyak wanita yang tengah menderita karena memiliki suami yang ‘sakit jiwa’? Mungkin ada baiknya mereka itu sesekali berwisata ke Komnas Perempuan untuk mengetahui berapa banyak kasus kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini. Ada berapa banyak perempuan yang tak bisa menuntut haknya karena tak memiliki paying hukum yang kuat.
“Itu kan masuknya ke KDRT! Laporkan saja kalau begitu!” cetus seseorang.
Tidak semudah itu, Maemunah! Kalau semua masalah kekerasaan seksual dalam rumah tangga bisa diselesaikan semudah itu, lantas kenapa ada banyak aktivis perempuan yang menyuarakan untuk disahkan RUU PKS ini?
“Yah, ngapain juga kamu ribut! Emang kamu jadi korban?”
Apakah untuk peduli dengan korban kekerasaan seksual kita harus jadi korban terlebih dahulu? Apakah kita harus merasakan perlakuan yang sama agar bisa ikut merasakan penderitan dari para korban ini? Aneh. Saya nggak tahu, terbuat dari apa hati orang-orang ini. jikalau memang mereka tidak mengalami dan menjadi korban, lantas kenapa juga mereka bersikeras menolak RUU PKS ini? Sebenarnya kalau mereka tak punya urusan dengan masalah ini, simpelkan, mereka tinggal diam dan memberi kesempatan pada perempuan lain di luar sana yang menjadi korban untuk memperjuangkan haknya.
“Dalam agama saya hal kayak itu nggak dibenarkan, nanti akan banyak istri yang menolak ajakan suami, lalu dosa dan masuk neraka!”
Saya nggak tahu, surga mana yang akan mereka tuju. Menurut saya, agama mana pun tidak akan membenarkan kekerasan dalam rumah tangga. Sekalipun dia istrinya, suami tidak berhak berbuat semena-mena atas tubuh istrinya. Sebelum pernikahan pun sudah dijelaskan bahwa untuk mempergauli istri pun ada adabnya.
Ayolah, sesama perempuan tentu kita sama-sama tahu bagaimana rasa sakitnya haid setiap bulan dan semua tentu tahu bagaimana sakitnya saat melahirkan. Jadi, lebih pedulilah dengan penderitaan sesama. Jika memang kehidupan kita baik dan mendapat pasangan yang baik, maka biarkanlah wanita lain juga mendapatkan haknya. (*)
BACA JUGA RUU PKS Adalah RUU yang Islami atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.