Soto adalah makanan yang damai. Ia ada di banyak daerah dengan berbagai macam varian. Ada soto ayam bening yang kaldu ayamnya segar, soto Lamongan dengan koya yang bikin nagih, soto Betawi yang kental dengan santan dan susu, hingga soto Padang yang lebih kompleks dengan irisan daging yang menggoda. Semua berjalan harmonis, damai, dan tenteram… sampai seseorang datang, dengan tangan penuh dosa, lalu menuangkan kecap ke dalam soto.
Saudara-saudaraku yang masih lurus di jalan kuliner, aku harus bertanya: Sekte apa lagi ini?!
Daftar Isi
Soto sebagai sebuah keindahan yang tak butuh “campur tangan”
Soto adalah keajaiban. Kaldu yang direbus berjam-jam, bumbu yang diracik dengan ketelitian, dan rempah-rempah yang bersatu dalam satu mangkuk penuh cinta. Semua elemen di dalamnya sudah punya fungsi masing-masing: bawang goreng menambah tekstur, seledri dan daun bawang memberi aroma, sambal dan jeruk nipis menghadirkan kesegaran, bahkan kadang ada koya yang bikin soto makin mantap.
Lalu… ada yang dengan entengnya menuangkan kecap.
Kecap, yang mestinya tinggal di habitatnya—di tempe, di tahu, di nasi goreng, atau kalau terpaksa, di bakso. Tapi di soto? Bukankah itu bentuk ketidakrelaan seseorang menerima soto sebagaimana mestinya? Apa ini bentuk pemberontakan? Sebuah insubordinasi terhadap kuliner Nusantara?
Saya ingin memahami, saya ingin membuka hati, tapi sulit.
Apakah ini urusan lidah atau konspirasi?
Demi mengerti cara berpikir sekte ini, saya pernah bertanya langsung kepada salah satu penganutnya. Saya bertanya dengan serius, “Kenapa kamu kasih kecap?”
Jawabannya? “Ya biar makin enak.”
Mohon maaf, apa?!
Soto sudah enak. Kenapa butuh kecap? Apa kamu juga bakal kasih kecap ke es teh karena teh manis kurang manis? Apa kamu bakal menuang kecap ke dalam kopi karena kopimu kurang “berwarna”? Memangnya kecap adalah bumbu ajaib yang bisa memperbaiki segalanya?
Jika jawabanmu iya, saya sungguh khawatir dengan masa depan kuliner negeri ini.
Soto pakai kecap: eksperimen tak bertanggung jawab
Mari kita telaah lebih lanjut. Soto yang dikasih kecap akan mengalami perubahan signifikan. Warna kuahnya berubah, dari bening atau kuning menggoda menjadi cokelat tak karuan. Rasanya? Kaldu yang awalnya kaya dan gurih kini tertutupi oleh rasa manis yang tak seharusnya ada di sana.
Kita tidak sedang membahas mie ayam atau bakso, di mana kecap memang sudah diterima secara sosial. Soto adalah kuah kaldu murni, bukan eksperimen dapur yang boleh dimodifikasi seenaknya.
Kita hidup di dunia di mana aturan ada untuk diikuti, di mana kesepakatan kuliner adalah sesuatu yang dihormati. Jangan biarkan kebebasan berekspresi membawa kita ke dalam jurang anarki kuliner!
Toleransi ada batasnya
Saya, sebagai seseorang yang cinta perdamaian, tidak pernah melarang orang makan dengan selera masing-masing. Tetapi setiap manusia pasti punya batas. Saya bisa menerima orang makan mie instan pakai nasi. Saya juga bisa memahami kalau ada yang suka makan pisang goreng pakai sambal. Tapi melihat seseorang dengan santainya menuangkan kecap ke soto? Itu seperti melihat seseorang menambahkan sirup stroberi ke dalam kopi hitam—tidak ada keperluannya!
Bukan berarti saya tidak menghargai selera orang. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita tidak terlalu jauh menyimpang dari jalur kuliner yang benar.
Sebuah seruan untuk kembali ke jalan yang lurus
Kawan-kawan, mari kita renungkan. Soto adalah keindahan yang sudah sempurna. Ia tak butuh tambahan yang merusak keseimbangan rasanya. Jika ada yang merasa kurang gurih, boleh tambahkan garam. Kalau kurang pedas, silakan tambah sambal. Tapi kalau merasa soto kurang manis, mungkin masalahnya bukan pada kuliner berkuah ini… tapi di hatimu yang terlalu dingin hingga butuh kecap sebagai penghangat.
Mari kembali ke jalan yang benar. Demi masa depan kuliner yang lebih baik, demi soto yang tetap sakral, dan demi ketenangan batin kita semua.
Tolong hentikan menamabahkan kecap pada soto, sebelum terlambat.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Alasan Saya Kecewa terhadap Soto Ayam Lamongan yang Dijual di Jogja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.