Bagi seorang mahasiswa, nilai tinggi adalah sebuah keharusan. Mahasiswa akan senang jika mendapati nilainya di atas rata-rata, entah itu A atau B. Namun saya masih ragu, apakah hasil nilai itu sesuai dengan kapasitas belajarnya di kampus atau hanya sekedar nilai nggantung yang diberikan oleh dosen?
Di kampus tempat saya belajar, khususnya kelas di mana saya berada, saya sering mendapati bahwa sebagian mahasiswa cenderung bermain handphone saat mata kuliah berlangsung. Dampak nyata dari kejadian ini yaitu pada suasana kelas yang dingin dan sepi, tidak hangat dan cair seperti layaknya mahasiswa yang selalu aktif bertanya sesuatu dengan apa yang belum ia mengerti atau tidak sependapat dengan apa yang dipaparkan oleh dosen di dalam kelas.
Okelah kalau kelas tetap dingin, itu berarti para mahasiswa sudah benar-benar sepakat atau sudah paham dengan apa yang dijelaskan oleh dosen. Lha kalau ini sebaliknya, gimana?
Hal ini juga terjadi saat kuliah daring, di mana proses kuliah dilakukan dengan media online, contohnya di grup whatsapp. Model presentasi online di whatsapp yakni mahasiswa mengirimkan materi dalam bentuk PPT ke grup, kemudian menjelaskan apa yang ada di dalam materi tersebut melalui voice note, lalu mempersilakan teman-teman yang lain untuk bertanya. Nah, teman-teman yang bertanya tersebut ya cuma itu-itu saja, ya Paijo, kalo enggak ya Bambang, kalo enggak ya Tarmin. Bosen, tau!
Kalau mereka-mereka yang aktif bertanya ini mencoba untuk diam, lalu grup seketika menjadi sepi. Pernah lho kuliah daring ini hanya sebatas mengirim PPT kemudian grup sepi hingga jam kuliah berakhir, bahkan sering. Menurut saya memang kuliah daring belum sepenuhnya efektif. Tapi mari kita berdoa dengan rapalan doa yang paling manjur agar efektivitas dapat ditingkatkan.
Hal-hal yang saya sebutkan di atas sebenarnya adalah pengantar untuk membicarakan permasalahan yang lebih pelak. Permasalahan tersebut adalah masih adanya sebagian mahasiswa yang menjadikan nilai sebagai obsesi dengan hanya mementingkan presensi serta mengerjakan tugas secara asal-asalan. Mereka ini percaya bahwa tugas dan presensi adalah mantra magis yang dapat menaikkan derajat asal-asalan ke gerbang surga nilai yang cukup. Sek penting sregep nugas lan absen!
Sekalinya hasil dari pola belajar yang asal-asalan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, para mahasiswa yang selalu ngasal ini sambat, bikin status di whatsapp, bahkan yang lebih radikal lagi, protes. Padahal predikat nilainya sudah B ke atas, walaupun tidak A.
Kok menarik, ada mahasiswa yang mendapatkan nilai B ke atas tapi masih minta nilai lebih, bahkan protes ke dosen dengan argumen bahwa dia telah mengerjakan semua tugas dan presensi yang tercatat adalah 100%, yang artinya bahwa sang mahasiswa tidak pernah membolos. Oke lah, protes, sebagai mahasiswa yang punya anggapan bahwa dirinya kritis. Tapi naif juga kalau score-oriented jadi obsesi, sedangkan kinerja akademik asal-asalan dengan mengedepankan prinsip “sek penting presensi, sek penting nugas”.
Saya rasa bukanlah hal yang bijak jika kinerja akademik tetap asal-asalan dengan tetap menyembah nilai tinggi sebagai cita-cita yang paling utama.
Saya pernah baca artikel tentang pengakuan Rocky Gerung kepada Ustadz Abdul Somad saat ditanyakan tentang hubungannya dengan Dian Sastro. Saat itu, Rocky Gerung bertugas menjadi pembimbing skripsinya Dian Sastro. Untuk menghindari diri dari opini publik yang aneh-aneh, Rocky memutuskan untuk mengadakan skripsi terbuka untuk Dian Sastro.
Saat itu Rocky juga berkata pada dosen penguji kira-kira begini, “Kalo memang dia bodoh, beri dia nilai D. Kalo memang dia cerdas, beri dia nilai A”. Rocky tidak ingin bahwa privilege sebagai publik figur dan kecantikan Dian menjadi penunjang nilai akhirnya. Keobjektivitasan dalam memberi nilai inilah yang menjadi poin utama dari kisah tersebut.
Kembali dalam nyinyiran saya tadi. Mahasiswa yang mendesak agar nilainya dapat bertambah lebih seharusnya sesuai dengan kapasitasnya sendiri, sebagai konsekuensinya, bukan hanya karena rajin ngerjain tugas dan presensi 100% maka dia berhak mendapatkan nilai yang baik.
Saya ingat tweet dari Ulil Abshar Abdalla yang menyebutkan bahwa mahasiswa kita masih bermasalah dalam masalah bahasa. Harus ada usaha dari para dosen untuk mengingatkan para mahasiswa: bahasa, bahasa, bahasa. Kemudian saya berpikir, masalah bahasa yang harus diingatkan dosen itu harus dibarengi dengan literasi mandiri oleh mahasiswa itu sendiri. Bahasa tidak tumbuh dengan ciamik dan membahana tanpa adanya kegiatan literasi. Ini mirip quote dalam stiker yang saya dapatkan sehabis beli buku di Berdikari Book, kata-katanya begini, “Read Before Think”.
Kayaknya mahasiswa kudu merevolusi harapannya yang baru untuk tidak hanya berorientasi pada nilai dengan mengorbankan keseriusannya dalam hal belajar. Sebenarnya sah-sah saja jika mahasiswa memusatkan perhatiannya pada score-oriented buat memuaskan atau membanggakan orang tua dengan memamerkan hasil belajarnya di kampus, walaupun dengan tanda kutip, “asal-asalan”.
Apalagi kalau waktu sarjana menyandang gelar cumlaude. Wah, bangga banget orang tua kita. Tapi alangkah lebih baiknya lagi jika nilai tetap objektif sesuai dengan kapasitas dan ilmu yang kita serap di kampus, agar mahasiswa tidak lagi meremehkan nilai-nilai yang ada sebagai tolok ukur pada apa yang kita peroleh di kampus. Ditambah lagi, semoga kita tidak menjadi sarjana yang memperoleh cumlaude “indomie”. Kenapa indomie? Iyalah, enak tapi tidak berisi, hehe.
BACA JUGA Ternyata, Sedekah Berpotensi Menunjukkan Keegoisan Kita dan tulisan-tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.