Membaca liputan tentang derita anak Unair yang harus makan ditemani bau comberan bikin saya merasa bangga sebagai mahasiswa UNY. Kalau anak Unair itu merasa menderita, well, anak UNY (dan kampus lain) justru menerimanya dan nggak banyak komplain tentang itu. Lha wong salah satu tempat makan yang paling rame di UNY dulunya berdiri di atas comberan. Yak betul, bagi mahasiswa lama, pasti tahu kelau Penyetan Mas Kobis di UNY, sebelumnya berdiri di atas selokan.
Sebelum pindah ke lahan yang lebih proper, dulunya penyetan Mas Kobis berdiri nempel di pagar FT UNY. Nah, di bawah pagar itu, ada selokan yang airnya, well, sebagaimana selokan pada umumnya: hitam, dan baunya ngeri-ngeri sedap.
Tapi hal itu nggak mengurangi antusiasme orang-orang mengunjungi Mas Kobis. Bahkan ramenya nggak karuan. Saya sendiri heran, kok bisa ada orang santai saja makan di atas peceren (sebutan untuk selokan di daerah saya). Mana keknya nikmat-nikmat aja lagi.
Butuh bertahun-tahun untuk saya memberanikan diri makan di sana. Ya alasannya nggak nyoba-nyoba ya apalagi kalau bukan karena nggak mau beneran makan di atas selokan. Tapi kok rasanya aneh, mahasiswa UNY kok nggak pernah makan di Mas Kobis. Baru 2015 saya nyoba di sana dan… ya, baik-baik saja dan enak-enak saja.
Meski di atas comberan, rasa makanannya enak
Saya baru sadar kenapa orang-orang beneran suka makan di Mas Kobis. Sebab ya, beneran enak. Meski tempatnya (mohon maaf) jorok, mejanya pliket, tapi makan di sana nggak pernah ngerasa zonk. Setidaknya dari segi rasa. Pedesnya pun nendang. Saya yang biasa makan di Ayam Geprek Bu Rum pake 10 cabe masih bisa tahan, di Penyetan Mas Kobis saya menyerah.
Setelah itu, saya jadi langganan makan di Mas Kobis, sebagaimana mahasiswa UNY pada umumnya. Kalau saya sedang malas berdiri di atas selokan, misalnya abis hujan gitu, saya milih duduk di poskamling yang juga biasa dipakai pelanggan Mas Kobis.
Saya udah nggak ngurus dan peduli perkara comberan. Saya bahkan lupa kalau di sana kadang juga bau. Ya gimana mau peduli bau, indra yang ada mati sementara karena rasa pedas yang “membunuh”. Jadi ya, bodo amat lah mau di comberan kek, mau di samping bengkel kek, madang ya madang.
Melihat Penyetan Mas Kobis berdiri selama itu di tempat itu, artinya memang para pelanggannya tak keberatan, atau ada faktor-faktor lain kayak rasa yang bikin orang nggak masalah makan di atas selokan. Setidaknya ya, mahasiswa UNY nggak bermasalah dengan itu.
Mahasiswa UNY mungkin biasa aja, tapi yang lain?
Kalau tidak salah, sejak 2017 (atau 16? Lupa), akhirnya Mas Kobis pindah ke tempatnya yang sekarang. Bagi saya sih, sebenernya ya nggak mendingan juga tempatnya. Cuma nggak lagi di atas selokan aja, kalau perkara kenyamanan ya tetep aja kagak, wkwkwk. Tapi ya nggak tahu untuk sekarang, kayaknya sih (dan harusnya) lebih mendingan ya.
Tapi saya memahami penderitaan mahasiswa Unair dalam liputan tersebut. Kalau bau comberan misalnya sampe masuk kamar, memang ada yang salah dengan drainase di daerah tersebut. Jelas tidak bisa saya, sebagai mahasiswa UNY, mengaku lebih kuat ketimbang mereka. Bisa saja kondisinya juga berbeda.
Saya justru jadi bertanya-tanya, kalau mahasiswa UNY (dan kampus lain) makan di atas selokan dan fine-fine saja, lalu separah apa selokan di Surabaya sampai baunya begitu busuk hingga bikin muntah?
Padahal saya kira Jogja sudah ampas perkara drainase dan sejenisnya, kalau ada yang lebih parah, well, kebangeten. Surabaya, Anda punya pekerjaan rumah yang benar-benar urgent.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Kena DO, Pindah Kampus Hampir DO Lagi, tapi Bisa Bangkit dan Berhasil Sarjana




















