Bagi seorang mahasiswa tingkat akhir, kehidupan mereka sekarang jelas sedang nggak baik-baik saja. Selain karena pusing mengerjakan skripsi, perasaan takut setelah lulus mau jadi apa atau nantinya bekerja di mana adalah momok yang bikin mereka insomnia. Dan sebagai sesama mahasiswa tingkat akhir, saya amat sangat maklum kalau status WhatsApp mereka kebanyakan isinya kata-kata penyemangat ataupun ocehan-ocehan sambat.
Quote lucu macam “sampean atur yaopo enake aku sek nggodok mie” adalah contoh paling tepat betapa remuknya hidup mahasiswa akhir. Penerimaan penderitaan.
Tapi, ada satu jenis mahasiswa akhir yang bagi saya nggak layak untuk dimaklumi. Mereka adalah kalangan yang berkesempatan lulus tepat waktu, tapi benci saat ditanya kapan skripsian. Kalian nggak percaya, saya pun awalnya sebenarnya nggak percaya. Tapi, setelah saya menerima kenyataan pahit, saya baru percaya, ternyata prejengan mahasiswa kek gitu memang ada, bahkan banyak.
Begini ceritanya.
Daftar Isi
Kronologi kejadian
Peristiwa nahas itu terjadi ketika saya menemui salah satu konten di TikTok yang secara garis besar bilang begini: “Mereka yang tanya ‘kapan skripsian’ itu paham nggak sih, kalau ngerjain skripsi itu sulit? Kalau nggak paham, nggak usah sok peduli deh.” Kalian yang mahasiswa akhir dan aktif di TikTok, pasti nggak jarang nemuin konten-konten macam tai itu.
Saya masih kurang percaya dengan bukti digital, apalagi bukti itu datang dari sumber yang biasanya penuh dengan gimik bajingan. Maka, segeralah saya membuktikannya sendiri melalui pertanyaan “kapan skripsian” ke beberapa teman mahasiswa, yang berkesempatan lulus tepat waktu alias mengerjakan skripsi duluan.
Oh ya, sebagian dari kalian mungkin bertanya-tanya, “Sekarang kan masa semester 7, kok bisa ambil skripsi?”
Jadi, di kampus saya itu, ada beberapa fakultas yang memperbolehkan mahasiswa semester 7 untuk mulai menyicil skripsi. Dan aturan itu, hanya berlaku untuk mahasiswa yang memang SKS-nya sudah mencukupi. Jangan tanya lagi kenapa aturannya bisa begitu. Saya ini bukan rektor atau dekan. Yang jelas, saya hanyalah penulis biasa di Terminal Mojok yang tulisannya kerap ditolak.
Oke, balik ke pembuktian saya soal peristiwa nahas tadi.
Saat saya melemparkan pertanyaan kapan skripsian ke beberapa teman, sungguh respons dan jawabannya nggak pernah saya duga. Beberapa dari mereka, ada yang menjawab dengan kalimat klise “masih proses,” tapi raut mukanya kecut. Ada juga yang langsung besengut sambil menjawab, “We po yo raiso to, le pas wayah ngopi ra usah tekok masalah kui.”
Wasyuuu… Niat tekok, malah kenek semprot. Tapi, gara-gara itu, saya akhirnya percaya betul bahwa, memang ada prejengan mahasiswa akhir yang berkesempatan lulus tepat waktu, tapi malah benci dengan pertanyaan yang sebetulnya mendukung kebutuhan mereka.
Potret manusia yang mendustakan nikmat Tuhan
Saya pun akhirnya terpikir, kayaknya mereka itulah, yang menjadi jawaban atas salah satu pertanyaan dalam surat Ar-Rahman Ayat 13 yang berbunyi, “Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?”
Lha, gimana, berkesempatan lulus tepat waktu dengan cara menyicil skripsi duluan di semester 7 itu ya nikmat. Betapa banyak mahasiswa yang takut nggak bisa lulus tepat waktu karena mengerjakan skripsi di semester 8. Nggak usah tanya ada atau nggak. Sudah pasti banyak, dan saya adalah salah satunya.
Sekarang, kalau misalnya mereka diuji kompetensinya terkait satu saja mata kuliah yang sudah lulus, saya nggak yakin mereka betul-betul seratus persen menguasainya. Bahkan beberapa dosen itu kadang meluluskan mereka cuma berdasarkan nggak pernah bolos dan selalu mengerjakan tugas. Meskipun pengerjaan tugas mereka itu ngawur atau copas dari Google.
Kayak gini ada? Lho, buanyak. Mereka kan agent of change, alias change little bit here and there from Google.
Apalagi kalau misalnya mereka dituntut untuk menguasai betul semua mata kuliah dari semester 1 sampai 6. Saya yakin, jelas mereka nggak akan bisa punya kesempatan mengerjakan skripsi di semester 7. Bahkan untuk lulus satu mata kuliah pun, saya masih ragu.
Pertanyaan “kapan skripsian” buat mahasiswa tingkat akhir itu peringatan, bukan ancaman
Sebenarnya saya itu sangat mafhum, bahwa mengerjakan skripsi memang nggak segampang menulis status galau di WhatsApp. Upaya melawan rasa malas, berpikir keras dalam menentukan teori, dan menahan getirnya perlakuan dosen pembimbing, adalah beberapa hal yang berat.
Tapi ya, ngapain sih, harus benci segala sama pertanyaan tersebut? Pertanyaan itu kan, cuma menanyakan perihal waktu. Dan pertanyaan itu sebetulnya peduli sama para mahasiswa yang katanya pengin lulus. Saya kira, menjawabnya pun cukup gampang; antara “sudah selesai”, “masih proses”, dan “masih mengumpulkan mood”. Iya, bukan?
Terlebih lagi, pertanyaan simpel itu saya pikir justru bisa menjadi sebuah peringatan, agar perasaan malas yang berlindung di balik alasan “masih mengumpulkan mood” itu segera bablas. Bahkan saya pikir, pertanyaan itu bisa jadi adalah alarm dari Tuhan agar ingat bahwa waktu untuk malas-malasan sudah cukup puas.
Tapi, kalau memang pertanyaan simpel itu dianggap sebagai ancaman sehingga membencinya, saya kira mereka segera memastikan keputusannya lagi; mau pengin lulus, atau memang berniat jadi donatur kampus?
Wahai mahasiswa tingkat akhir, sibuk cari good mood itu cuma alasan
“Ya, jelas pengin luluslah. Mahasiswa akhir itu banyak masalahnya. Mengerjakan skripsi kalau mood lagi nggak bagus, ya hasilnya juga ikut nggak bagus.”
Halah, tai kucing. Kalau memang itu yang jadi alasan, maka saya pikir alasan itu betul-betul amat sangat bebal. Lha gimana, kehidupan ini terus berjalan bosss. Kehidupan itu nggak peduli, mau mood dari sosok yang katanya akan jadi agent of change itu lagi nggak bagus, atau lagi galau gara-gara ditinggalin gebetan.
Bukannya saya sok tahu-menahu atau nggak berhak mengingatkan karena nggak merasakan menyicil skripsi di semester 7. Tapi, ayo cobalah digunakan baik-baik akal sehatnya.
Ketika menyicil skripsi dikasih jatah selama tiga bulan, dan mahasiswa tingkat akhir sibuk bermalas-malasan cari mood bagus setiap hari bahkan berminggu-minggu. Maka di saat yang sama, sebenarnya ada beberapa minggu, hari, dan jam yang telah hilang. Dan waktu yang telah hilang itu, sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk seenggaknya menulis satu sampai dua paragraf.
Ada niat, ada jalan
Saya itu sempat dikasih petuah dari dosen yang jadi pembimbing skripsi, yang kebetulan beliau sekarang jadi DPL magang saya. Saat itu beliau entah gara-gara apa, tiba-tiba curhat soal mahasiswa bimbingannya yang nggak paham-paham soal skripsi dengan alasan sulit. Beliau bilang begini:
“Pengerjaan skripsi itu ya, sebetulnya soal mau mengerjakan apa nggak, bukan bagaimana cara mengerjakannya.”
Meskipun belum sedang menyicil skripsi, saya juga sempat bertanya begini. “Soal bagaimana menulis bab per bab atau menentukan teori itu kan sulit, Pak, bagi mahasiswa?”
Beliau menjawab sekaligus memungkas percakapan, “Nggak, Zan. Semua hal teknis yang ada dalam pengerjaan skripsi itu nggak akan terasa sulit, kalau dia memang bener-bener niat mengerjakan skripsi.”
Menurut saya, sudah saatnya kita menghadapi fakta pahit ini. Mahasiswa akhir tak perlu alergi, bahkan tersinggung dengan pertanyaan ini. Lagian, ini fase yang harus kalian lewati, mau tak mau. Jadi, takut bukan pilihan, apalagi tersinggung.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 6 Tips dari Mahasiswa Tingkat Akhir untuk para Maba