Betapa anehnya para golongan tua yang terlalu terlena dengan kejayaan masa lalu. Melihat para anak muda saat ini melakukan berbagai tindakan yang bersifat kritis. Gambaran besarnya bisa kita lihat pada aksi gerakan mahasiwa baru-baru ini. Mahasiswa sebagai gambaran anak muda kita saat ini pada akhirnya harus turun ke jalan melihat keanehan dan keunikan yang entah dibuat secara sengaja atau tidak terkait RUU KPK dan beberapa RKUHP yang dibuat DPR dan pemerintah. Saya sebagai anak muda pun tentunya merasa gerah dengan berbagai RUU yang setelah saya baca, kok isinya kayak dibuat saat main uno sambil ngopi dan ketawa-ketawa. Lucu. Saya pun mafhum kalau pada akhirnya terdapat gelombang penolakan di mana-mana terhadap RUU tersebut. Dan gerbong utama penggeraknya tentu saja, mahasiswa sebagai anak muda saat ini.
Seiring semakin banyaknya demo dan penolakan di berbagai daerah terhadap RUU yang dibuat, saya akhirnya kembali menemukan sikap-sikap yang selalu saya temui terkait pergerakan anak-anak muda. Selalu dibanding-bandingkan dengan romantisme para golongan tua di masa lalu. Hal seperti ini yang menurut saya aneh dan konyol. Bahwa pergerakan mahasiswa kemarin disejajarkan dengan aksi mahasiswa di tahun 1998. Lantas apakah hal tersebut sama?
Jelaslah berbeda. Pernyataan-pernyataan yang selalu muncul ketika anak-anak muda yang dalam hal ini mahasiswa adalah selalu perbandingan dengan masa lalu. Memang wajar, jangan pernah melupakan sejarah adalah hal penting yang harus selalu diingat. Tapi masa lalu nyatanya bukanlah sebuah panorama surga yang penuh kebenaran. Selalu ada yang berbeda ketika era dahulu dan era sekarang. Membandingkan nyatanya adalah hal yang paling kami benci, anak-anak muda yang sedang berproses dengan cara kami sendiri. Bukan dengan cara lama yang tentu bergerak di era yang berbeda.
Pernyataan-pernyataan perbandingan terkait aksi gerakan mahasiswa saat ini ada saja dengungnya baik di berbagai artikel media-media berita ternama hingga ke dialog, diskusi hingga debat-debat yang terjadi di layar televisi. Mereka , oknum-oknum yang masih mengagung-agungkan kejayaan aksi 98 tentu saja menganggap bahwa aksi gerakan mahasiswa baru-baru ini tidak sebaik aksi mereka di tahun 98. Oke lah bapak-bapak dan ibu-ibu yang katanya ikut andil dalam aksi 98.
Kami semua, anak muda yang saat ini menjadi mahasiswa tidak pernah memandang sebelah mata aksi tersebut. Kami semua bahkan sangat mengagumi dan mengakui bahwa aksi tersebut adalah aksi yang memang hebat. Tapi perlu diingat bahwa kita hadir dari era yang berbeda dan dengan substansi yang tentunya berbeda.
Aksi 98 dengan nyata hadir karena masyarakat dan mahasiswa pada saat itu telah muak dengan keotoritarian pemerintah yang berkuasa saat itu. Sekarang, substansinya jelas berbeda bahwa tidak ada target untuk menggulingkan siapa pun dan pemimpin mana pun. Saat ini mahasiswa bersama rakyat ingin pemerintah dan DPR sadar bahwa peraturan yang mereka rancang itu akan menjadi blunder mematikan bagi rakyat negeri ini. Apalagi dengan pengaruh teknologi yang semakin gila, era gerakan mahasiswa 98 tentu tidak menggunakan Twitter, Instagram hingga berbagai hastag-hastag yang mengikutinya. Perjuangan pergerakan saat ini pasti berbeda. Informasi semakin mudah digapai, begitu juga penyebarannya. Peran sosial media di era saat ini cenderung banyak mengambil peran. Dari situ tentu kita bisa melihat perbedaannya. Bahwa membandingkan aksi gerakan mahasiwa 98 dengan gerakan mahasiswa baru-baru ini bukanlah hal yang bijaksana.
Ketika para generasi veteran selalu terjebak dengan romansa masa lalu. Saya yakin bahwa romansa keagungan masa lalu tersebut selalu menjadi antitesis mereka melihat kenyataan yang terkait pergerakan mahasiswa saat ini. Selalu mengagungkan bahwa pergerakan di eranya lah yang lebih hebat seperti seorang kakek yang sedang tertidur dan tidak mau bangun-bangun karena lebih asyik bermimpi ketimbang bangun dan melihat realitas yang ada.
Kita sebagai mahasiswa jangan pernah patah arang. Selalu dibandingkan dengan masa lalu dalam berbagai aspek yang kita lakukan nyatanya adalah hal yang harus kita terima. Ketika diam dianggap tidak kritis dan ketika kritis dianggap terlalu berlebihan. Menjadi anak muda dan mahasiswa itu memang serba salah. Apalagi di mata para veteran penikmat romantisme keagungan masa lalu, mahasiswa dan anak muda selalu salah.
Urgensi dan tuntutan yang berbeda itulah yang harus kita semua sadari punya kekuatannya masing-masing. Punya eranya masing-masing. Dan tentu punya kesempatannya masing-masing. Biarlah kami para anak muda era ini diberi kesempatan untuk bersikap dengan gaya kami, sesuai dengan era kami dan menciptakan sesuatu yang memberikan kebaikan untuk seluruh rakyat dengan cara kami. Jangan terlau pusing dengan isu tunggang sana, tunggang sini. Seperti apa yang dikatakan ketua BEM UI, Manik Marganamahendra bahwa memang benar aksi mahasiswa baru-baru ini ditunggangi. Tapi ditunggangi oleh rakyat yang gerah melihat berbagai keanehan yang dirancang di negeri ini. (*)
BACA JUGA Panduan Mengikuti Festival Midsommar: Spoiler Alert! atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.