Saya sudah membaca dua berita mahasiswa KKN yang pekan lalu jadi sorotan publik. Pertama, pada bulan Juni kemarin, sembilan mahasiswa asal Universitas Padang tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritiknya terhadap minimnya fasilitas desa tempat mereka KKN. Kritik itu dibuatnya dalam bentuk konten video ala-ala tren TikTok dan berhasil membuat warga sekitarnya geram. Dari situ, secara etis pihak kampus akhirnya memulangkan mahasiswanya.
Yang kedua, beberapa hari kemarin, kedunguan yang serupa tentang KKN dilakukan oleh seorang mahasiswa asal Universitas Mataram dengan lantunan kesombongannya sebagai kembang desa alih-alih menghina desa tempat ia KKN yang katanya nggak ada yang cantik selain dirinya dan kawan-kawannya. Penghinaan lewat konten video Instastory itu akhirnya memantik semangat warga untuk mengusirnya.
Dari kedua berita itu, lantas apakah yang terlintas dalam pikiran Anda? Apakah sama persis dengan apa yang saya pikirkan?
Ketidaksadaran mahasiswa atas KKN dan ngonten
Benar. Walaupun kita nggak saling kenal, sebagai manusia kita sama-sama paham bahwa mahasiswa itu telah kehilangan akal sehatnya. Tapi, mungkin “kehilangan” bukan kata yang tepat untuk mereka. Sebab ketika mereka berhadapan langsung dengan warga lokal, saya yakin mereka nggak mungkin melakukan hal dungu semacam itu.
Kata yang tepat boleh jadi adalah “ketidaksadaran”. Mereka dari awal memang sadar sedang melaksanakan KKN. Tapi, entah bagaimana, kesadaran itu kemudian kalah dengan kesadaran mereka bahwa apa-apa harus dibikin konten. Akhirnya, akal sehat mereka nggak sadar kalau mereka adalah mahasiswa, bukan influencer. Mereka juga lupa kalau sedang KKN dan bukan sedang mengais perhatian netizen.
Saya rasa penyebab ini sudah dipahami oleh banyak orang, termasuk Anda sekalian. Komentar yang saya temui di media sosial terkait berita mahasiswa KKN ini pun hampir semuanya merujuk pada penghakiman terhadap kedunguan si mahasiswa.
Tentu saya juga setuju dengan Anda dan komentar-komentar itu di satu sisi. Tapi di sisi yang lain, sebab musabab daripada itu agaknya terlalu pincang kalau hanya melihat dari SDM mahasiswanya. Sebab, mahasiswa KKN ini tetaplah dalam bimbingan kampus, maka di sini saya pikir akal sehat kampus pun nggak jauh berbeda dengan mahasiswanya.
Kampus nggak memaksimalkan pembekalan KKN
Pada saat membaca berita yang cenderung mem-framing kedunguan si mahasiswa, saya lantas bergegas mencari berita yang terkait dengan respons dari masing-masing kampus. Pikir saya saat itu, ketika ada mahasiswa KKN yang terkena kasus, pastilah kampusnya akan mengklarifikasi alih-alih memperbaiki citranya.
Dan benar, saya menemukan beritanya. Setelah kejadian buruk yang menimpa mahasiswanya si paling kembang desa tadi, pihak Universitas Mataram akhirnya mengklarifikasi sekaligus mengimbau seluruh mahasiswa KKN yang tersebar di desa wilayah Lombok dan Sumbawa agar lebih bijak bermedia sosial. Ini, kan, menjadi bukti bahwa sebelumnya pihak kampus nggak memaksimalkan pembekalan KKN.
Untuk berita yang terkait dengan Universitas Padang, sejauh ini saya belum menemukan tanda dari mereka mengklarifikasi secara informatif tentang penggunaan media sosial. Entah saya yang kurang jauh berselancarnya, atau memang benar nggak ada klarifikasi tentang penggunaan media sosial dari mereka.
Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada kampus saya. Walaupun saya dan kawan mahasiswa KKN lainnya (sampai detik ini) nggak melakukan hal dungu seperti mahasiswa dari kedua universitas tadi, tapi pembekalan KKN yang saya terima dari kampus betul-betul nggak ada serius-seriusnya. Dalam hal etika, pihak kampus cuma membekali etika ketika bersosialisasi. Bukan etika ketika menggunakan media sosial.
Tentu saja etika bersosialisasi di dunia nyata itu masih perlu untuk diingatkan ke mahasiswa sebelum KKN. Tapi sekelas kampus, masak, ya, nggak paham kalau KKN bagi mahasiswa sekarang itu adalah juga “kuliah kerja ngonten!” Saya pikir juga keterlaluan kalau kampus sampai nggak paham bahwa anak muda sekarang nggak bisa lepas dari media sosial.
Baca halaman selanjutnya