“Jika dengan jancuk kita bisa dipersatukan, untuk apa kau kotori kalimat Tuhan dengan umpatan.”
Sekira seperti itulah sepenggal quotes yang pernah saya baca di media sosial, sebuah kalimat yang sarat dengan nilai filosofis mendalam.
Artikel ini saya tulis ketika belakangan saya cukup kesal melihat komentar orang-orang di media sosial yang sudah kelewat batas—hanya karena berbeda pilihan lalu dengan mudahnya mereka jadikan alasan untuk menghakimi sesama.
Banyaknya persoalan—menyusul suasana politik yang semakin meradang—memang menjadi penyulut api di tengah keramaian. Ketika masyarakat kita masih tak bisa lepas dari budaya politik konservatif yang menganggap kemenangan adalah tujuan utama kontestasi—ketika kemenangan dianggap sebagai simbol pertaruhan yang harus mengorbankan segala cara, persaudaraan, kerukunan atau bahkan kehormatan. Saya hanya bisa mengumpat, “Jancuk rakyat +62 ini!”
Kenapa harus fitnah dan umpatan yang dilakukan hanya untuk mengejar kepentingan pribadi atau golongan? Kenapa kita punya hobi menjijikan dengan menggadaikan persatuan dan kerukunan?
Entahlah, maha benar netizen dengan segala ke-jancuk-annya.
Salah satu yang bisa jadi menjadi penyebab mudahnya kita melontarkan umpatan di media sosial adalah fanatisme yang membabi buta—fanatik terhadap golongan kita sendiri. Fanatik terhadap sebuah pilihan politik, sampai fanatik terhadap sebuah kebenaran yang padahal sifatnya subjektif.
Bagi saya hinaan, celaan, umpatan dan caci maki yang seringkali terbit setiap waktu di media sosial itu jauh lebih hina dari kalimat misuh semacam jancuk. Perdebatan-perdebatan sampai umpatan dengan maksud menjatuhkan lawan bicara yang ada di media sosial, hanyalah pembunuhan diri yang tak jarang mengantarkan seseorang ke balik jeruji besi.
Kemudian jemari kita mudahnya melakukan penghakiman terhadap yang berbeda dan golongan yang tak sama sehingga lagi-lagi kita menjadi pelaku perpecahan itu sendiri. Kejahatan verbal ini memang tak dapat kita elakkan. Ketika menyampaikan aspirasi pribadi menjadi kebebasan yang tak terbatas tetapi kita kerap kali lupa diri bahwa apa yang kita ucapkan adalah sesuatu yang tak pantas,
Ketika segala instrumen umpatan dibolehkan, haruskah kita gadaikan rasa persaudaraan?
Mengumpat memang tidak salah. Misuh jancuk sekalipun itu menjadi hak setiap orang. Hal yang salah adalah ketika umpatan kita hendak menjatuhkan dan mempermalukan orang lain. Bahkan konon kata jancuk bisa menjadi frasa pemersatu.
Jancuk adalah sebuah budaya Jawa yang sarat makna—multitafsir bahkan tak jarang menimbulkan kesalahpahaman. Namun seiring waktu kata kata ini telah menjadi simbol keakraban. Penggunaannya di Jawa Timur misalnya—malah menjadi sebuah frasa pemersatu. Meski terkesan kasar, nyatanya kata ini sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti “gimana kabarmu cuk?”, ” juancuk, aku kok iso menang yo”, “juancuk kok ayu yo arek iku” dan lain sebagainya.
Benar, jancuk itu adalah misuh—kalimat kotor, umpatan tak baik, dan kata yang tidak pantas untuk diucapkan. Mungkin sebagian dari kita sudah sering mendengar, mengamati bahkan mempraktikkannya. Tetapi tak banyak yang tahu nilai filosofis dari kata ini, apakah benar jancuk itu dilarang? Apakah benar jancuk itu dosa?
Kata jancuk sering dikultuskan sebagai sesuatu yang tidak pantas untuk diucapkan, jorok, kotor dan dan sangat biadab. Padahal jika kita baca sejarah, konon dahulu saat perjuangan di Surabaya mengusir Belanda—yang dipimpin oleh Bung Tomo—kata ini malah disandingkan dengan kalimat pekikan Tuhan—Allahuakbar!
Jancuk sebenarnya adalah sebuah ekspresi kekecewaan rakyat pada waktu itu terhadap penjajahan Belanda. Bisa kita bayangkan ekspresi umpatan ini ternyata dapat membakar semangat persatuan kalangan muda saat itu melawan para penjajah. Namun sekarang tak jarang kata ini malah kita gunakan di media sosial untuk menjatuhkan seseorang dan menyulut api perpecahan.
Seiring waktu kebiasaan mengucapkan jancuk ternyata bukan hanya sekedar ekspresi kekesalan atau kekecewaan. Kini jancuk berubah menjadi ekspresi keakraban, simbol persahabatan, ekspresi saat terkejut, atau terkagum-kagum terhadap sesuatu.
Terlepas dari apapun makna kata ini, frasa jancuk adalah simbol kedekatan antara aku dan kamu—iya kamu~
Baik jancuk sebagai umpatan ataupun sebagai sebuah pemersatu dan simbol keakraban, yang penting sekarang bagi saya kita masih bebas untuk menggunakan kata jancuk sebebas-bebasnya. Tentu dengan catatan tidak kita gunakan untuk menjatuhkan sesorang, kelompok ataupun golongan.
Sesungguhnya saat saya menulis tulisan ini, saya tak bisa menahan umpatan—lalu menjadi bagian dari netizen jancuk-nya Indonesia~