Ungkapan anak hukum UIN dianaktirikan dalam dunia pendidikan hukum Indonesia terasa benar adanya. Kendati sama-sama akan menyandang gelar sarjana hukum ketika menyelesaikan studi, ruang yang didapat tidak sama. Bahkan sebelum ngomongin soal dunia kerja. Fakultas Syari’ah di UIN itu beda banget dengan fakultas hukum di perguruan tinggi umum.
Contohnya saya yang kuliah di jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syari’ah, UIN Imam Bonjol Padang, tidak punya pilihan tempat magang kecuali di pengadilan agama. Bukan apa-apa, boleh dong sebagai mahasiswa hukum tata negara berangan-angan untuk magang di Pengadilan Negeri, Lembaga Bantuan Hukum, atau Mahkamah Konstitusi sekalipun. Ya, kan emang itu jalurnya. Tapi, kenyataannya tidak, tempat magang satu-satunya untuk mahasiswa Fakultas Syari’ah cuma di pengadilan agama. Entah ini kebijakan kampus apa gimana, saya tidak tahu.
Agak nyesal sih sebenarnya, tapi setelah menjalani magang di sana selama sembilan belas hari sedikit banyak ada lah yang bisa diambil. Nggak tanggung-tanggung, dari magang di pengadilan agama saya belajar untuk mempertimbangkan berbagai langkah dalam menyambut masa depan yang berkaitan persoalan rumah tangga.
Kekhasan pertama dari pengadilan agama adalah soal namanya. Walau namanya memakai konotasi umum, tidak spesifik terhadap keyakinan tertentu, tapi yang bisa beracara di sana hanyalah orang-orang beragama Islam. Jangan harap Anda akan menemukan orang-orang Nasrani datang ke pengadilan agama. Diskriminatif? Ya faktanya memang gitu. Bahkan teman saya pernah berencana untuk mengangkat TA-nya tentang ini.
Hal yang lain adalah dasar hukum yang digunakan. Di pengadilan agama, hakim tidak akan merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), tapi pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), selain juga merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), sebagai lembaga yang bernaung di bawah Mahkamah Agung.
Di zaman anak-anak muda kebelet nikah ini, magang di pengadilan agama telah memberikan pertimbangan yang lain. Di sosial media kita selalu dihipnotis oleh kampanye-kampanye nikah muda. Entah itu alasannya karena agama, atau ikut-ikutan. Di story WA juga bertebaran status yang seperti demikian. Saya mau bilang nikah bukan persoalan sepele. Nikah bukan cuma perihal sah lalu Anda bisa berhubungan intim sampai puas. Jangan sumbu pendek lah.
Saat menjalani magang di Pengadilan Agama Sijunjung saya menemukan paradoks kehidupan. Bagaimana tidak, setiap hari kerja dan hari sidang, kasus yang dominan itu cuma dua, dispensasi nikah dan cerai–talak atau gugat. Bisa saja dalam satu hari itu ada dua belas perkara yang disidangkan. Sidang pertama adalah bocah-bocah yang kebelet kawin lalu keduanya kebelet pisah. Alasannya kebelet kawin ya beragam, mulai yang dari udah melakukan tindakan asusila di luar nikah, tidak lagi sekolah, sampai emang kebelet nikah.
Pernah ada sepasang kekasih datang ke pengadilan meminta dispensasi nikah. Usia mereka kurang beberapa bulan dari usia yang diperbolehkan undang-undang, sembilan belas tahun. Aturan ini berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Sebelumnya UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan perempuan harus minimal 16 tahun dan lelaki minimal 19 tahun baru diperbolehkan menikah. Namun, berdasarkan UU No 16 Tahun 2019 harus sama-sama 19 tahun.
Nah, yang perempuannya ini umurnya kurang tujuh hari dari 19 tahun. Sedangkan yang lelakinya kurang delapan bulan lagi. Di situ hakim meminta untuk menunda dulu pernikahan mereka, dan meminta menunggu sampai usia yang patut. Jadi tidak perlu lagi dispensasi nikah, tinggal datang doang ke KUA. Namun, pasangan muda-mudi ini tetap ngotot buat dapetin dispensasi nikah. Bener-bener kebelet.
Pada kali yang lain yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu orang-orang yang kebelet pisah. Yang bercerai beragam, ada yang baru nikah tiga bulan udah cerai. Ada yang udah tua, sangat berumur, di penghujung hidup mereka itu datang ke pengadilan untuk pisah. Getir juga sih kalo dibayangkan, bagaimana kehidupan rumah tangga yang telah dibina sekian puluh tahun harus kandas.
Motif cerai juga beda-beda. Ada yang suaminya jadi Bang Toyib, ada suami atau istrinya selingkuh. Tapi, kebanyakan adalah motif ekonomi. Dari sana saya belajar pernikahan bukanlah kompetisi tetapi memerlukan kompetensi. Jadi kalau bisa, kalau bisa nih ya, nggak usah deh ikut-ikutan mempromosikan nikah muda, apalagi sok-sokan nikah muda. Jangan nikah hanya karena teman Anda telah nikah.
Jangan sok-sok an pakai dalil Al Qur’an buat melegitimasi kebelet nikah. Udah deh jangan, nggak usah. Rasulullah, Ali, itu nggak sama kayak kita. Tingkat keimanan mereka itu jauh di atas kita. Salah satu perkataan hakim yang saya ingat yaitu jangan sampai sekarang dateng ke sini (pengadilan) sekarang, lalu tiga bulan lagi, nanti dateng lagi (buat cerai). Di lain sisi setidaknya saya ingin bilang kepada para jomblo: tegakkan kepala Anda.
BACA JUGA Pesan Penting dari Anak Broken Home untuk Anda yang Gemar Julid Isu Perceraian dan tulisan Daniel Osckardo lainnya.