Sepotong Lumpia Semarang yang Membuat Saya Tambah Yakin Tuhan Itu Maha Mendengar

Lumpia Semarang Bukti Tuhan Maha Mendengar (Pixabay)

Lumpia Semarang Bukti Tuhan Maha Mendengar (Pixabay)

Akhir Oktober 2023 yang lalu, saya baru saja melangsungkan pernikahan. Pada akhirnya, kami berhasil melewati hubungan Long Distance Relationship (LDR) Tangerang-Semarang yang sudah lama kami jalani. Setelah menikah, istri saya yang orang Tangerang ini saya boyong ke kota lumpia, tempat kelahiran dan tempat di mana saya mencari nafkah. 

Sebagai seorang PNS dengan gaji pas-pasan, tentu kehidupan kami di Semarang jauh dari kata mewah. Kami mengontrak sebuah rumah petak sederhana dan memulai kehidupan keluarga kecil kami di sana. 

Kami mesti menjalani hidup hemat di Semarang. Misalnya, istri saya selalu membawakan saya bekal 2 kotak; 1 untuk sarapan dan 1 untuk makan siang. Jadi saya tidak perlu jajan di kantin kantor. 

Berkat gaya hidup hemat ini, kami berhasil menyisihkan sebagian kecil untuk menabung. Beberapa bulan di kota Semarang, istri saya masih menyesuaikan diri dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sembari menunggu saat yang tepat untuk mulai bekerja lagi.

Rencana pulang ke Tangerang

Berhubung Desember ini ada libur Natal dan tahun baru, kami merencanakan untuk mudik ke Tangerang. Maklum, setelah menikah, istri saya belum sempat pulang ke rumahnya di Tangerang. 

Namun, semakin mendekati waktu mudik, masih ada sesuatu yang mengganjal di pikiran saya. Saya teringat akan keluhan istri saya. Jadi, meskipun sudah beberapa bulan di Semarang, dia belum pernah mencicipi lumpia, makanan khas kota ini. 

Jujur saja, saya eman-eman jika harus membeli lumpia. Maklum, 1 lumpia harganya lebih mahal dari makan nasi sayur dengan lauk telur. Itu kalau satu. Kalau beli 5? Dan saya juga tidak tahu apakah boleh beli misalkan hanya 1 saja.
Saya sebetulnya heran. Apa, sih, yang membuat rebung dan telur dibungkus kulit lalu digoreng itu mahal sekali harganya? Akibat keengganan itu, saya hanya bisa berkata kepada istri saya untuk bersabar. Mari menunggu gajian bulan depan sambil bergumam di dalam hati, “Ya Allah, Gusti, paringana lumpia.”

Dan, lumpia itu datang juga

Hari itu saya bekerja seperti biasanya. Saat sedang mengerjakan dokumen, seorang teman di departemen lain minta tolong. Rekan saya meminta data yang dibutuhkan sebelum dia mengikuti rapat. 

Setelah menyiapkan data yang dimaksud, saya lalu menyerahkan data tersebut ke rekan saya di ruangan sebelah. Ketika akan kembali ke ruangan saya, rekan saya tadi memanggil saya sambil menawarkan menu makan siang. Dia berniat mentraktir saya makan siang

Saya tentu saja menolak. Selain karena merasa tidak enak, saya juga sudah membawa bekal makan siang hasil karya istri saya. Karena tawaran makan siangnya ditolak, akhirnya dia memberikan kotak kecil snack yang ada di meja untuk saya bawa.

Sesampainya di ruangan, kotak tersebut saya letakkan di meja komunal untuk dimakan bersama teman-teman satu ruangan. Ketika saya buka kotak tersebut, hati saya senang bukan kepalang. 

Kotak tersebut berisi 4 lumpia dan 1 gorengan. Totalnya 5, pas seperti jumlah orang yang ada di ruangan saya. Akhirnya tanpa banyak ini-itu, saya mengambil tisu untuk membungkus 1 lumpia untuk saya persembahkan kepada istri tercinta. Sembari menyimpan lumpia itu, saya mengucap syukur kepada Tuhan, bahwa doa sederhana saya, yaitu meminta lumpia khas Semarang, sudah dikabulkan dengan cara yang tidak terduga.

Tuhan itu maha mendengar

Sore harinya, lumpia khas Semarang tersebut saya bawa pulang ke rumah dan saya berikan ke istri saya. Meskipun hanya 1, rupanya istri saya sangat senang dengan oleh-oleh sederhana itu. Sebuah senyum terukir di wajahnya dan segera setelahnya, dia menyantap lumpia tersebut dengan lahap. 

Saya memang tidak merasakan enaknya di mana enaknya lumpia khas Semarang itu. Padahal saya asli kota ini. Tetapi apalah arti sebuah lumpia jika dibandingkan dengan senyum istri saya. 

Berkat sebuah lumpia Semarang, saya dan istri bisa mudik ke Tangerang dengan lebih “ayem”. Istri saya sudah bisa merasakan enaknya lumpia, dan saya sudah bisa memenuhi keinginan sederhana istri saya. Sungguh, Tuhan itu maha mendengar.

Penulis: Enrique Kevin Prasetyo Nugroho

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Toko Lumpia Paling Enak di Semarang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version