Saya adalah salah satu dari banyak lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini masih menganggur. Selama setahun penuh saya sudah ditempa modus ajar, pembelajaran berdiferensiasi, hingga microteaching tiap minggu. Setelah lulus PPG, perjalanan mendapatkan pekerjaan tidak tambah mudah. Nyatanya status “profesional” yang saya kantongi tidak memberi keuntungan apapun.
Setelah lulus, saya tidak dapat jatah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), guru honorer, apalagi guru rakyat. Padahal setelah setahun ditempa PPG, saya punya pengetahuan dan pengalaman lebih soal pendidikan. Namun, apa artinya itu semua kalau kesempatannya tidak ada. Persis seperti keluh kesah yang disampaikan di tulisan 2 Hal yang Membuat Lulusan PPG Prajabatan Menjadi Tumbal.
Kenapa tidak jadi guru sekolah swasta atau mengajar bimbel?
Beberapa dari kalian pasti bertanya demikian. “Kalau memang tidak ada jatah PPPK dan guru honorer, kenapa tidak cari peluang lain?” Saya beri tahu ya, tidak semudah itu. Sekolah negeri hanya menerima pegawai lewat jalur PPPK yang entah kapan dibuka lagi.
Sementara jadi guru di sekolah swasta tidak seindah dalam bayangan. Bagi kalian yang belum punya gambaran bagaimana tersiksanya jadi guru sekolah swasta, saya beri gambaran. Beberapa waktu lalu saya melihat lowongan yang menawarkan gaji Rp700.000 per bulan. Jam kerjanya Senin sampai Sabtu. Tidak perlu saya sebut daerah mana, yang jelas, upah Rp700.000 pasti di bawah UMR daerah mana pun.
Mungkin kalian akan bertanya-tanya, kenapa saya tidak jadi guru les atau bimbel saja? Lowongan bimbel memang ada, tapi saingannya macam antre BTS Meal. HRD lebih tertarik pada pelamar berpengalaman 3 tahun di sekolah internasional. Alhasil, meski punya sertifikat pendidik, saya sering merasa terbuang.
Minimnya kesempatan jadi guru membuat saya menjajal peruntungan pada pekerjaan lain. Saya pernah melamar kerja menggunakan ijazah S1, bukan PPG. Eh, malah dapat pertanyaan menyakitkan.
Singkat cerita, pewawancara menanyakan status saya yang pernah menganggur selama setahun. Dengan singkat saya jawab, “Ikut PPG, Pak.” Dia malah mempertanyakan keputusan saya tidak melanjutkan jadi guru.
Pertanyaan itu sebenarnya wajar saja, tapi cukup nyelekit di hati ini. Rasanya ingin langsung curcol kalau jadi guru tidak semudah itu, sekalipun sudah mengantongi status lulus PPG.
Lulusan PPG tidak “kaleng-kaleng”, sayang regulasinya setengah matang
Padahal lulusan PPG tidaklah “kaleng-kaleng”. Kami belajar kurikulum, pedagogik, praktik ngajar, sampai lulus ujian yang ketat. Tapi, kenyataannya, kami kalah bersaing dengan honorer siluman yang sudah lebih dulu duduk manis di Dapodik. Banyak kawan akhirnya banting setir: jadi admin, content creator, digital marketing. Mau bagaimana lagi? Hidup butuh makan, bukan sekadar status guru profesional.
Masalah utama jelas bukan pada kompetensi kami, tapi pada sistem rekrutmen yang setengah hati. Pendidikan guru seharusnya punya pagar seleksi yang jelas, bukan justru memberi ruang besar pada titipan honorer. Begitupun bagi yayasan, guru itu profesi, bukan panggilan doang. Maka, harus ada jaminan gaji yang layak. Kalau terus dipaksa “mengabdi dengan ikhlas”, namanya bukan pengabdian, tapi eksploitasi.
Kami sadar, jadi guru memang butuh ketahanan mental. Tapi, bukan berarti harus terus jadi samsak sistem. Kami butuh tempat, kepastian, dan perlindungan kebijakan. Jangan sampai, yang paling profesional justru paling tak terpakai.
Penulis: Vranola Ekanis Putri
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jurusan Pendidikan UB: Ada, tapi Tak Dianggap dan Tak Terdeteksi Radar.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
