Sebagaimana keterangan yang sering kali disampaikan oleh orang-orang salih bahwa silaturahmi adalah jalan penyambung rezeki, maka ketika menganggur saya betul-betul mengamalkan penuh petuah itu. Setelah menghubungi dan mengunjungi sebagian banyak teman, alhamdulillah ternyata perjuangan saya membuahkan hasil. Teman seangkatan saya di zaman kuliah sejak 7 tahun lalu, menawarkan pekerjaan di sebuah perusahaan F&B di mana ia adalah supervisinya. Setelah mengobrol panjang kali lebar akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran tersebut.
Begitulah enaknya memiliki seorang teman yang sudah bekerja dan punya posisi, bisa bertanya semaunya tanpa sungkan sampai seolah-olah saya yang sedang meng-interview-nya. Coba kalau sama orang yang nggak akrab, paling jawabannya, “Kerja saja belum, tapi sudah banyak tanya.”
Padahal kan banyak bertanya terkait pekerjaan yang akan kita lakoni itu pertanda bahwa kita memang serius ingin bekerja dan akan bertanggung jawab terhadap apa yang akan kita kerjakan nanti, bukan mau menikmati uangnya saja. Kan nggak lucu kalau misalnya nanti kita kerja baru satu bulan terus mengundurkan diri, pas ditanya kenapa, jawabannya, “Saya kira kerjanya nggak secapek ini, Pak.” Yaelah, lagian mana ada pekerjaan yang nggak bikin capek. Wong tidur seharian saja melelahkan.
Sehari sebelum bekerja, saya bertanya kepada teman saya ini, apakah saya harus menyembunyikan identitas saya sebagai temannya? Atau saya terus terang saja ketika ditanya oleh karyawan-karyawan yang sudah lama bekerja di sana? Maklum, karyawan baru kan sering ditanya yang macam-macam. Namun, ternyata teman saya tidak mempermasalahkan itu, dia bilang jawab saja apa adanya.
Mulanya saya berpikir demikian, tapi entah mengapa kok saya malah mendadak menutupi yang sebenarnya ketika salah seorang karyawan bertanya, “Tahu dari mana ada lowongan kerja di sini?” Saya jawab, “Dari medsos.” Beruntung dia tidak bertanya lebih lanjut karena saya sebetulnya tidak tahu apakah perusahaan ini memang mempublikasikan lowongan kerja di medsos atau tidak. Dan kalaupun iya, media apa yang digunakannya, saya betul-betul nggak tahu. Pasalnya, saya, kan, bisa bekerja di tempat ini berkat bantuan teman saya yang sekarang menjadi jadi pemimpin kami itu.
Lalu karyawan tersebut menasihati saya, “Hati-hati dengan si bos, beliau orangnya disiplin dan nggak suka bercanda, orangnya juga jarang senyum apalagi sampai katawa-ketawa.” Saya mengangguk, sambil menahan tawa sekuat-kuatnya. Lantaran saya tahu karakter asli dari orang yang dia sebut si bos yang sesungguhnya adalah teman lama saya itu. Bagaimana nggak lucu, dia baru kenal kurang dari 2 tahun, sedangkan saya sudah kenal lebih dari 6 tahun, ya saya tentu lebih mengenal teman saya itu.
Ketika masih duduk di bangku kuliah, kami sering bercanda, ngakak bareng, dan sering telat juga masuk kelas. Jadi sebetulnya dia, tuh, nggak disiplin-disiplin banget juga, sih, orangnya.
Di lain waktu, seorang karyawan lain bertanya, “Kamu merokok, nggak?” Saya jawab iya. Lalu dia mengingatkan saya bahwa perusahaan ini sebetulnya melarang karyawannya merokok. Kalaupun hendak merokok jangan sampai ketahuan si bos. Padahal, setiap pulang kerja, saya selalu merokok di hadapan si bos. Namun, tanpa sepengetahuan karyawan lain. Itu pun karena di minggu pertama saya masih menginap di kosannya.
Ya bagaimana lagi, saya kan memang sudah lama merokok, dan teman saya yang sudah jadi bos saya itu juga tahu soal kebiasaan saya ini. Dan syarat yang dia kasih ke saya juga cuma satu kok, asal jangan sampai ketahuan karyawan lain. Jadi, sebetulnya saya kalau sedang merokok di hadapan si bos, tidak pernah ketahuan karyawan lain. Dan kalau sedang merokok bersama teman sepekerjaan, tidak pernah ketahuan si bos: 2-0, toh.
Kejadian lucu lainnya, pernah suatu pagi di tempat kerja, si bos memanggil saya dari jarak sekira 12 meter. Sebut saja bos saya ini namanya Hadi. Tentu saya hafal suaranya karena kami memang sudah lama berteman. Maka, ketika dia memanggil, spontan saya menjawab, “Apa, Di?” sambil tetap dengan wajah saya yang fokus mengarah ke layar gawai. Sepersekian detik kemudian saya baru menyadari, saya keceplosan. Saya menyaksikan banyak karyawan yang menatap saya dengan raut wajah yang terkejut.
Seketika itu pula keluarlah keahlian saya dalam berakting. Saya mengarahkan wajah saya ke seorang teman yang namanya hampir mirip dengan si bos, “Apa Di, kamu manggil saya?” Namanya Yadi. Dia menjawab dengan nada agak berbisik, “Bukan, itu kamu dipanggil si bos,” sambil sedikit menunjuk-nunjuk dengan hati-hati ke arah si bos.
Saya pura-pura kaget dan segera menghampiri si bos. Padahal saya tahu yang memanggil saya tadi memang si bos, teman lama saya itu. Namun, saya beranggapan kalau akting saya ini berhasil karena saya melihat ekspresi wajah para karyawan sudah berubah. Ada yang jadi tenang, senyum-senyum nanggung, serta ketawa-ketawa kecil. Saya dalam hati malah ketawa ngakak. Wkwkwk.
BACA JUGA 3 Hal yang Sebaiknya Anda Lakuin Saat Diomelin Bos dan tulisan Agus Dhiki Saputra lainnya.