Ketika pindah ke Solo dari Klaten, saya hanya membawa dua hal. Pertama, barang seperlunya. Kedua, keyakinan bahwa hidup akan baik-baik saja. Tapi keyakinan itu goyah sejak hari pertama: Solo terlalu panas. Namun, panas ternyata bukan kejutan paling besar. Kaget terbesar datang dari hal yang paling sederhana, namanya es teh.
Ya, minuman sejuta umat itu. Dari sinilah seluruh drama kecil dimulai. Berikut adalah rangkuman culture shock yang saya alami. Semua terjadi nyata.
Panas Solo seperti level ujian hidup tambahan
Solo itu panasnya konstan dan menyeluruh. Tidak peduli pagi, siang, sore, atau bahkan malam yang seharusnya sejuk. Saya sampai pernah berdiri di bawah pohon sambil berdoa kecil. Pohon itu tidak membantu. Daunnya cuma bergoyang malas. Saya akhirnya menggerutu, “Ya Tuhan, ini kota atau oven besar?”
Di Klaten, panas sering muncul sebentar lalu hilang ditiup angin lembut seperti mood manusia. Di Solo, panas menetap seperti kontrakan tahunan. Ini yang membuat saya lebih cepat mencari es teh daripada kunci kos.
Harga es teh Solo bikin saya bertanya-tanya
Di Klaten, es teh harganya tiga ribu rupiah. Tidak turun. Tidak naik. Stabil seperti harapan pada pasangan baru. Mau Ginastel, Teh Kota, Sedjuk, semuanya sama saja. Tapi di Solo, saya melihat harga dua ribu lima ratus rupiah. Saya kira salah tulis.
Ketika saya memastikan ke penjualnya, dia menjawab santai, “Betul, Mbak. Dua ribu lima ratus.” Spontan saya bergumam, “Kok bisa ya, malah lebih murah es teh di sini?” Penjualnya cuma tertawa.
Dia mungkin sudah biasa mendengar kalimat itu dari pendatang kebingungan seperti saya. Sejak itu saya mulai menaruh curiga bahwa logika ekonomi bekerja berbeda di Solo.
Manis es teh Solo sangat percaya diri
Pertama kali menyeruput es teh Solo, saya langsung berhenti sejenak. Lidah saya seperti menerima informasi baru. Informasi itu berbunyi: “Selamat, kamu sedang minum gula.”
Saya lalu pelan berkata, “Terlalu manis, ya.”
Es teh Solo itu legit. Manisnya mengalir dengan ambisi kuat. Manisnya seperti ingin membuat saya mengingat semua mantan yang pernah pergi. Sementara es teh Klaten lebih kalem. Lebih manusiawi. Kalau diminta memilih, saya tetap pilih Klaten.
Bukan karena fanatik daerah. Lidah saya saja yang tidak punya sertifikat tahan manis. Tapi saya paham. Manis itu identitas Solo. Menolak manis berarti menolak warisan budaya. Saya tidak berani.
Ginastel: Filsafat hidup dalam segelas es teh
Es teh Solo punya ciri khas yang sulit ditiru kota lain. Ia punya prinsip dasar bernama ginastel. Legi, panas, kenthel. Tiga kata yang terdengar seperti rumus kimia kebahagiaan. Air harus panas agar aromanya keluar. Manis dan kental harus muncul agar karakter Solo terpancarkan.
Walaupun namanya es teh, “panas” tetap dihormati sebagai leluhur. Para pedagang selalu menyeduh dengan air mendidih. Kalau ada es teh encer, biasanya dianggap kurang ajar. Es teh Solo bukan minuman, tapi ideologi.
Aroma es teh Solo seperti mengikuti kursus parfum
Aroma es teh Solo wangi sekali. Banyak pedagang mencampur tiga merek teh untuk menciptakan aroma khas. Ada yang memakai Teh Jawa, celup, dan bako. Ada juga yang menambahkan teh melati. Aromanya halus tapi tegas.
Ketika gelas didekatkan ke hidung saya, wangi melatinya terasa. Rasanya seperti memegang buket bunga kecil. Di Klaten, aromanya lebih sederhana. Bukan tidak enak, hanya lebih kalem. Solo tampak seperti kota yang punya laboratorium riset teh sejak zaman Majapahit.
Pedagang di Jebres pernah berkata, “Mbak, wong Solo itu suka yang mantap.” Kalimat itu membuat semuanya masuk akal.
Lebih pekat dan berwibawa
Perbedaan warna terlihat jelas. Es teh Solo warnanya lebih pekat. Warnanya seperti sedang memberi pidato penting. Kalau dibandingkan dengan es teh Klaten, perbedaan itu mencolok. Es teh Klaten lebih jernih, lebih lembut, lebih adem.
Saya sempat menatap dua gelas dan tertawa sendiri. Yang satu terlihat seperti teh biasa. Yang satu terlihat seperti telah mempelajari kepemimpinan.
Ada logika harga yang tidak bisa dijelaskan ilmu ekonomi
Ingat, wong Solo itu suka yang mantap. Kalimat itu menjelaskan banyak hal. Bukan hanya es teh. Banyak makanan Solo punya karakter serupa.
Manisnya kuat, aromanya tajam, dan tampilannya tegas. Kultur ini kemudian mempengaruhi harga. Karena es teh dibuat dari campuran sederhana tetapi sangat terstandar, harga bisa ditekan tanpa mengurangi rasa.
Ada cerita menarik yang saya temukan. Seorang penjual di Solo pernah mencoba menjual es teh dengan harga empat ribu rupiah. Hasilnya mengejutkan.
Banyak pembeli mengira itu “bukan es teh Solo.” Harganya dianggap terlalu mahal untuk standar lokal. Penjual itu akhirnya menurunkan harga. Kutipannya lucu, “Salahku cuma pengin naik kelas, Mbak.” Kalimat itu membuat saya tertawa.
Pada akhirnya saya belajar menikmati dua dunia
Semua pengalaman ini membuat saya belajar satu hal. Kultur es teh di Solo bukan hanya tentang minuman. Ini soal identitas dan persepsi harga.
Murah bukan berarti kualitas rendah tapi justru bagian dari kebanggaan kota. Solo seakan ingin berkata, “Kami tetap manis meski sederhana.” Sekarang saya memilih berdasarkan suasana hati. Kalau ingin manis mantap, saya cari es teh Solo. Kalau ingin rasa ringan, saya pilih es teh Klaten. Dua kota ini bertetangga. Tapi rasa es tehnya seperti kakak-adik beda kepribadian.
Culture shock itu akhirnya jadi hiburan harian untuk saya. Kadang membuat saya bingung. Kadang membuat saya ngakak. Tapi selalu membuat saya bersyukur. Tidak semua kejutan hidup datang dari hal besar. Terkadang kejutan datang dari segelas es teh dua ribu lima ratus.
Penulis: Olivia Eka Anugerah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Trilogi Kesalahan Es Teh Solo: Kaidah Ginastel yang Dikhianati dan Bikin Esensi Teh Solo Ternoda
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















