Lockdown Menyebalkan, Itu yang Saya Alami di Maroko

lockdown

Lockdown Menyebalkan, Itu yang Saya Alami di Maroko

Ketika Pak Jokowi memberi kebijakan untuk physical distancing dan mengambil langkah untuk tes massal dalam menghadapi pandemi, banyak dari teman-teman saya yang menceritakan kekesalannya hanya karena merasa bosan, mendapat banyak tugas, atau tidak bisa nongkrong dengan teman-teman yang sejawat.

Tapi, di sisi lain, menurut saya seharusnya mereka bisa lebih bersyukur. Karena bisa menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, atau menghemat lebih banyak waktu dan bensin daripada hari biasa, dan yang terpenting adalah masih bisa keluar untuk membeli sesuatu sekiranya butuh.

Sangat berbanding terbalik dengan dampak pandemi yang saya alami di Maroko, karena pertanggal 19 maret lalu, lockdown wilayah telah ditetapkan pemerintah Kerajaan Maroko dalam menyikapi pandemi. mulai dari tempat-tempat umum; kafe, rumah makan, bandara, gedung bioskop, dan beberapa ruang publik lainnya bertahap ditutup dalam skala nasional. Dan setiap rumah hanya ada satu orang yang boleh keluar untuk membeli sesuatu dengan ‘surat izin keluar’ yang diberi pemerintah daerah setempat.

Orang Indonesia harusnya bersyukur tidak lockdown karena daripada physical distancing, lockdown lebih menyebalkan khususnya buat mahasiswa asing yang tinggal di asrama kayak saya yang harus merasakan hal-hal seperti ini:

1. Tidak boleh keluar sama sekali

Karena saya tinggal di asrama kampus, saya merasa senang dengan adanya pemberhentian belajar mengajar ini, musabab saya akan menghabiskan waktu di apartemen sewaan dan berkumpul dengan teman-teman saya setanah air.

Tapi kelihatannya takdir belum menggariskan demikian, sebagai mahasiswa asing dan tinggal di asrama, saya dan teman-teman yang senasib berada di bawah naungan tanggung jawab kementrian wakaf dan urusan agama Maroko, yang artinya pilihan saya untuk balik ke apartemen sewaan atau untuk menetap di asrama tergantung kebijakan yang dikeluarkan kementrian.

Dan benar saja, kementrian mengeluarkan surat khusus bagi setiap mahasiswa asing yang tinggal di asrama untuk menetap dan tidak boleh keluar sama sekali! Bahkan jika ingin membeli jajan di warung pun, harus melalui satpam agar dia yang membelikan apa yang saya butuh. Lah, saya butuhnya ciki-cikian, emangnya saya tahu bahasa arabnya! Hadehhh.

2. rasialisme

Pengaruh virus corna yang saya rasakan nggak sebatas itu, stigma bahwa orang asia adalah orang China juga masih jamak terjadi di Maroko. Rasialisme lah bahasa kerennya.

Sehingga, jika dalam keadaan biasa, saya berjalan-jalan di tempat keramaian, sudah barang tentu akan dilirik sinis dan dihujami panggilan “china” dengan nada meledek seperti ini.

“Hei, China!” Kata salah satu dari sekumpulan orang Maroko.

“Bukan! Saya bukan orang China, saya Orang Indonesia”.

“Hei, China. Cilakalah kau!” Saut salah satu yang lain.

Kalau sudah begitu, saya berusaha langsung berjalan cepat, berusaha meninggalkan, dan tidak memedulikan. Daripada saya ngamuk, terus ngeluarin rasengan, kan bahaya kalau orang-orang mengenal saya sebagai lulusan akademi ninja.

Belakangan ini saya mengidentifikasi, dan akhirnya mengetahui, bahwa kebanyakan orang-orang yang rasialis berasal dari golongan anak-anak dan lansia. Alasannya? Mungkin karena mereka belum punya akses informasi—seperti internet—untuk tahu bahwa tidak hanya “mereka” dan satu ras dengan mereka yang hidup di bumi ini. Dan saya jarang melihat orang Maroko yang rasis berasal dari kaum intelek dan remaja.

Beda halnya dengan keadaan biasa, keadaan darurat seperti pandemi ini, golongan tadi, malah berinisiatif—tapi unfaedah—merubah ‘panggilan china’ menjadi ‘corona’ ditambah embel-embel gerak tangan menutup hidung dan mulut ketika saya memulai dialog dengan “mereka”.

Dan yang lebih bikin saya ngelus dada adalah ketika sopir taksi menolak kami (orang asia) saat akan masuk, ini dialami beberapa teman saya saat akan berpergian, dan hal ini terjadi di beberapa kota di Maroko.

3. Makanan yang tidak sedap

Sudah hidup di asrama, tidak boleh keluar pula. Mungkin, ini kemungkinan terburuk yang saya alami selama masa isolasi.

Tapi oh tapi, ternyata ada yang lebih buruk, yaitu makanan di asrama. Makanan ini sukses membuat saya dan teman-teman eneg, dan tidak kenyang.

Karena menu makanan yang monoton, dan tidak diganti selama 3 hari! Saya tahu karena makanan hari pertama dan ketiga itu sama, dan hanya dipanaskan ulang.

Makanan yang saya maksud kurang enak adalah makanan seperti roti gandum dimakan dengan minyak zaitun, daging yang rasanya hambar karena tidak pandai mengolah dan dipanaskan berulang-ulang, dan makan nasi pun bisa dihitung jari dalam seminggu. Padahal orang Indonesia itu kalau belum makan nasi, bukan makan namanya.

Tiga poin inilah, yang membuat saya dan teman-teman saya di asrama merasa tertekan secara mental, dan tidak bisa melakukan apa-apa, walaupun kami sudah protes dan meminta ke pihak asrama. Tapi, ya mau bagaimana, ini sudah kebijakan kementrian.

Dan satu-satunya jalan untuk merubah keadaan, adalah dengan mengirimkan surat melalui kedutaan Indonesia ke kementrian wakaf dan urusan agama Maroko, sehingga mereka bisa merubah kebijakan, dan saya diperbolehkan kembali ke apartemen sewa.

Nah loh. Bisa dilihat sendirikan? Lockdown di sini lebih menyebalkan daripada physical distancing di Indonesia.

BACA JUGA Orang Desa Nggak Takut Corona Bukan Karena Agama atau tulisan Hanif Hidayatullah lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version