Ketika ada yang teriak-teriak lockdown, saya tiba-tiba mengalami semacam déjà vu yang membawa saya pada pengalaman di negeri asal saya, negeri Wano. Sekarang pemerintah negeri ini menuju ke arah darurat sipil, semakin nyata saja perasaan déjà vu ini. Lah kok rasanya seperti di negeri Wano?
Sebagai seorang samurai ekspatriat negeri Wano, saya memiliki tugas untuk membuka perbatasan negeri Wano dari yang mulia Kozuki Oden. Namun karena kekejaman pemerintah gadungan Shogun Kurozumi, akhirnya saya terpaksa mengungsi di negeri yang sudah tidak lagi ber-flower ini.
Negeri asal saya, Wano sejak 800 tahun lalu sudah melakukan lockdown bukan karena takut corona tapi karena menyembunyikan sejarah pada abad kekosongan 800 tahun lalu. Saya dan para samurai yang mengabdi pada pewaris tahta yang sah, keluarga Kozuki, diasingkan di negeri sendiri. Banyak dari kami yang tertangkap dimasukkan ke penjara dengan status tahanan sipil guna mempertahankan status quo.
Beberapa dari kami yang selamat berkumpul di hutan Mapel tempat kesukaan Lord Yasui dan bersumpah untuk 20 tahun lagi datang kembali menuntut balas atas kematian tuan kami. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, masing-masing dari kami dikirim ke berbagai penjuru negeri untuk membangun aliansi guna menggulingkan pemerintahan korup Shogun Kurozumi.
Saya yang saat itu selamat berhasil kabur dengan beberapa teman menuju laut Cina Selatan dan terdampar di Tanjung Priok. Wilayah yang kata seorang menteri itu sebagai gudangnya para penjahat. Padahal nyatanya di sinilah tempat solidaritas tertinggi yang pernah saya rasakan selain di negeri asal saya. Preman-preman pasar di sini menampung saya di rumah kontrakannya tidak peduli saya adalah penumpang gelap yang datang dari antah berantah.
Dengan merebaknya virus covid-19 beberapa warga meneriakkan lockdown sebagai solusi untuk mengurangi penyebaran. Saya ketar-ketir setengah mati karena rasanya negeri ini bisa berakhir seperti Wano menutup perbatasannya dari dunia. Padahal akhir tahun ini adalah waktu yang dijanjikan 20 tahun lalu. Bayangkan bagaimana caranya saya bisa kembali ke negeri Wano jika perbatasan negeri ini ditutup?
Belum lagi kegagalan saya mendekati pemerintah elite negeri ini untuk menjalin aliansi, meminjam kekuatan mereka untuk mengambil alih Wano dari tangan besi Shogun Kurozumi. Sampai saat ini saja saya masih susah melobi pemerintah ini untuk meminjamkan kekuatan militernya. Pernah sekali saya negosiasi dengan seorang Lord, salah seorang yang paling berkuasa di negeri ini tapi tidak mendapat titik temu.
Saya selalu mencoba bertemu langsung dengan seorang Lord negeri ini yang katanya pribadi terkuat dan panutan negeri. Namun karena susah bertemu langsung dengan beliau saya bernegosiasi oleh wakilnya. Negosiasi kami buntu karena belum apa-apa wakilnya sudah bertanya: Timbal balik yang kami dapatkan jika membantu kalian?
Sial. Mereka ini memang pebisnis bukan seorang kesatria, sedikit-sedikit minta timbal balik padahal mereka semua pensiunan militer. Tidak mungkin mengharapkan jiwa kesatria mereka bangkit untuk menuntaskan penjajahan di atas negeri. Lebih parah lagi dia mengatakan mau membantu menggulingkan pemerintahan korup Wano saat ini asalkan kami berjanji untuk memberikan senjata nuklir. Rupanya para Lord negeri sudah lama mengidam-idamkan senjata nuklir. Denger-denger alasannya biar negeri ini lebih dianggap dalam pergaulan internasional.
Begitu mendengar permintaannya saya langsung balik badan karena saya tahu dia tidak ada bedanya dengan Kaido seorang yang sebenarnya berkuasa di balik pemerintahan Kurozumi. Kaido yang sedang membangun kekuatan militer di dunia menggunakan tangan besi Kurozumi untuk memperbudak para rakyat sipil untuk membangun senjata nuklir yang bakal digunakan untuk meneror dunia. Padahal tujuan kami dikirim ke seluruh negeri untuk membangun aliansi dan menghentikan kejahatan Kaido dalam membangun senjata paling mengerikan ini.
Sampai saat ini aliansi yang berhasil saya bangun hanya pada preman pasar, ojek pengkolan, ojek online, dan para buruh harian. Mereka punya solidaritas tinggi, mau mendengar keluh kesah saya meski hanya untuk obrolan minum-minum pengantar tidur. Mereka berjanji jika waktunya tiba akan ikut saya ke Wano. Tapi mereka bisa apa? Untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Apalagi jika lockdown benar dilakukan bagaimana cara mereka dapat makan?
“Santai saja Bang Samu, pemerintah di sini baik-baik mereka berjanji akan memberikan berbagai kebutuhan pokok kita?”
Sobri salah seorang tetangga saya yang berprofesi sebagai driver ojek online menjelaskan. Dia menerangkan panjang lebar bahwa lockdown di sini tidak sama dengan di Wano. Pemerintah pro-aktif melindungi mereka yang paling rentan, mulai dari buruh harian, supir ojek, dan siapapun yang menggantungkan hidupnya dari upah harian.
Saya senang sekali mendengarnya karena teman-teman saya optimis. Saya bisa lebih tenang dengan nasib kawan-kawan saya yang solider ini. Saya berharap hal itu benar-benar terjadi sampai pada suatu ketika pemerintah mengumumkan untuk memberlakukan aturan pembatasan sosial berskala besar alias physical distancing yang lebih luas. Kebijakan ini akan dilanjutkan dengan kebijakan darurat sipil.
Tiba-tiba saya teringat ketika Shogun Kurozumi mengumumkan darurat sipil untuk memberantas musuh kasat mata, yakni para pendukung Lord Oden yang melakukan gerilya untuk membangun kekuatan. Kurozumi yang ketakutan menerapkan darurat sipil dan memerintahkan semua warga untuk berada di dalam rumah tanpa kebutuhan pokok. Siapapun yang tertangkap di luar akan digiring untuk menjadi budak di pertambangan uranium untuk membangun senjata nuklir.
Yang kaya dan memiliki simpanan makanan bisa selamat berada di dalam rumah. Yang miskin harus bergerilya untuk mencari makan buat keluarganya dan menghindari dari tertangkap. Yang miskin tapi terlalu takut bakal akhirnya mati kelaparan atau bunuh diri di rumah. Lamunan saya tentang nasib negeri saya terpotong dari sorak gembira teman-teman saya.
Teman-teman saya yang lugu ini loncat-loncat, mereka bernyanyi bahagia karena mereka berpikir darurat sipil ini akan menolong situasi susah mereka. Salah seorang teman saya Bang Anton, preman pasar yang juga berprofesi sebagai tukang parkir ini bahkan teriak kegirangan karena mengira darurat sipil adalah dominasi warga sipil atas militer.
“Sudah lama kita diinjak-injak. Beberapa pamanku dulu bahkan menjadi korban Petrus (penembakan misterius yang disinyalir dilakukan pihak militer untuk memberantas para preman). Sekaranglah saatnya kita menang, jayalah warga sipil.”
Saya hanya bisa menepuk jidat kelakuan teman-teman saya. Betapa pintar elite negeri ini menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami warganya tanpa sosialisasi. Belum lagi saya melihat rasanya ada saja tukang bakso keliling, pedagang obat, penjual main, dan penjual buah yang selalu memantau gerak-gerik saya. Penampilan mereka seperti intel yang menyamar. Saya jadi curiga apakah yang saya hanya mengalami déjà vu atau saya memang sedang berada di Wano?
BACA JUGA Lockdown Mandiri di Desa Bikin Sadar kalau Cuma Ketua RT yang Bisa Nyelametin Kita atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.