LKS Bukan Barang Haram dan Guru Bukan Penipu, Guru Nggak Perlu Takut dengan Ancaman LSM Sok Pahlawan!

LKS Bukan Barang Haram dan Guru Bukan Penipu, Guru Nggak Perlu Takut dengan Ancaman LSM Sok Pahlawan!

LKS Bukan Barang Haram dan Guru Bukan Penipu, Guru Nggak Perlu Takut dengan Ancaman LSM Sok Pahlawan! (Pixabay.com)

Para LSM sok pahlawan itu nggak tahu kalau LKS itu amat penting bagi guru, dan nggak kepikiran untuk menjadikan itu sebagai ladang bisnis!

Beberapa tahun terakhir, profesi guru semakin nggak ada harga dirinya. Guru telah menjadi kalangan rentan yang mudah terkena masalah hukum, keamanan diri, dan masalah sosial. Tahun lalu, banyak kasus kelam yang menimpa guru. Mulai dari guru yang dilaporkan wali murid karena menegur anaknya sholat, sampai ada guru yang dibacok lehernya oleh siswanya, karena cekcok masalah nilai ulangan. Ironis sekali.

Belum lagi masalah guru yang sering mendapat ancaman LSM. Lembaga ini mengaku membela masyarakat atas ketidakadilan, tapi sering menekan guru yang juga merupakan bagian dari masyarakat. Berdasarkan pengalaman di lapangan, orang-orang yang mengaku LSM sering nyelonong masuk ke sekolah untuk mencari-cari kesalahan sekolah dan guru yang nantinya jadi ancaman. Lalu kemudian, ancaman-ancaman itu ditukar dengan uang dari kepala sekolah.

Salah satu masalah yang paling memuakkan adalah ancaman dalam urusan pengadaan LKS (Lembar Kerja Siswa). LKS selalu menjadi senjata kalangan LSM untuk mengancam sekolah dan guru. Menurut mereka, guru nggak seharusnya berbisnis di sekolah dengan menjual LKS kepada siswa. Sebab kata mereka, siswa sudah memiliki hak buku yang diberikan pemerintah ke perpustakaan sekolah.

Pengadaan buku yang tidak ideal

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan kepada para LSM sok pahlawan ini. Pertama, pengadaan buku di sekolah-sekolah itu jauh dari kata ideal. Misalnya, siswa butuhnya buku apa, pemerintah ngasih bukunya apa. Nggak nyambung.

Saya melihat di perpustakaan sekolah tempat saya mengajar banyak sekali buku yang tidak relevan dengan kebutuhan siswa. Salah satunya adalah buku antropologi. Di sekolah tempat saya mengajar tidak ada mata pelajaran antropologi, lah kok pemerintah malah mengirim buku antropologi. Ngirimnya 4 dus besar lagi. Kan nggak nyambung.

Lantas, saya coba tanyakan pada kepala perpustakaan. Jawabannya cukup mengejutkan. Ternyata, kepala perpustakaan dan pihak sekolah memang tidak pernah dilibatkan dalam proses pengadaan buku. Sehingga, buku yang datang sering kali banyak tidak sesuai. Andai kepala perpustakaannya dilibatkan, pasti ada koordinasi dengan guru-guru mapel agar memilih buku yang sesuai kebutuhan siswa di sekolah.

Kedua, buku di perpustakaan itu sifatnya pinjaman, bukan hak milik siswa. Karena demikian, maka siswa tidak bisa mencoret-coretnya. Sedangkan dalam proses belajar sering kali membutuhkan coretan langsung di bukunya. Maka dari itu, LKS menjadi jalan keluar kalangan guru agar dapat mengoptimalkan proses belajar di kelas. Sebab, LKS itu ketika dibeli, jadi hak milik. Bukan diambil gurunya lagi. Ngerti nggak nih, para LSM yang sering mempermasalahkan LKS?

Buku, termasuk LKS, adalah kebutuhan vital siswa

Melihat kenyataan kalau pengadaan LKS oleh guru mapel sering dipermasalahkan, saya sebagai guru makin pesimis dengan budaya literasi pelajar kita. Sebab, buku LKS yang relatif murah seakan menjadi barang haram untuk ditawarkan pada siswa. Bagaimana dengan buku bacaan yang harganya jauh lebih mahal?

Buku, LKS, dan alat tulis yang menunjang proses belajar siswa itu adalah barang vital yang sudah seharusnya dimiliki siswa. Jadi untuk para LSM yang ngaku peduli pendidikan, mending kita membangun visi yang sama agar budaya literasi siswa terus meningkat. Salah satu caranya adalah membangun budaya punya buku. Dengan cara apa? Ya nabung dan nyicil untuk peradaban. Buku itu ilmu. Jadi memang harus diperjuangkan, meski sulit. Kalau siswa beli buku selalu dianggap pemerasan, lalu kapan angka minat baca kita akan meningkat?

Sering kali para LSM ini bawa-bawa keterbatasan ekonomi siswa. Fakta di lapangan, banyak siswa yang mampu beli skincare, tapi mengeluh ketika diminta beli LKS. Itu hal wajar, sebab ilmu memang rasanya berat dan pahit. Jadi membeli buku LKS memang terasa agak berat.

Baca halaman selanjutnya

Guru nggak bikin LKS sebagai ladang cuan!

Guru nggak menjadikan LKS ladang bisnis

Selain itu, saya yakin guru nggak segegabah itu menjadikan penjualan LKS sebagai ladang bisnis. Malahan, beberapa guru sering rugi, karena harus membantu siswa yang kurang mampu. Ada teman guru saya yang menggratiskan LKS pelajarannya untuk siswa kurang mampu. Ada yang keuntungan dari penjualan LKSnya dialokasikan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan belajar lainnya, seperti media pembelajaran.

Bahkan, ada guru yang nggak ambil untung sama sekali, karena keuntungannya dibagi ke LSM yang sering mengancam pelaporan. Mirisnya, ketika diberi uang, mereka tidak jadi melaporkan. Ini kan terlalu jelas kalau mereka hanya menjadi lembaga UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Bukan benar-benar memperjuangkan kesejahteraan pendidikan.

Mungkin ada oknum yang menjadikan itu sebagai ladang bisnis. Tapi, ayolah, oknum segelintir tak bisa jadi gambaran utuh kan?

Tidak pernah wajib, tapi lebih efektif

Bagi kebanyakan guru, LKS tidak pernah diwajibkan pada siswa, tapi efektif dalam proses belajar. Ada yang tidak mewajibkan, tapi menawarkan. Banyak siswa yang merasa tidak keberatan, selama LKS yang dibeli benar-benar terpakai dalam proses belajar. Saya hampir tidak pernah menemukan ada guru yang meminta siswanya membeli LKS, tapi tidak dipakai. Saya yakin, semua guru punya tujuan mulia dalam mengarahkan siswa dalam membeli bahan bacaan.

Mengapa LKS lebih efektif? Sebab, di dalam LKS tersaji soal-soal terbaru yang sangat membantu guru dalam mengevaluasi siswa selama proses belajar. Apakah guru tidak bisa membuat sendiri? Bisa, tapi biaya print, jauh lebih mahal. Saya sudah mencobanya. Saya meminta siswa ngeprint modul buatan saya sendiri sekitar 100 an halaman, menghabiskan uang sekitar 40-50 ribu. Sedangkan harga LKS sekitar 20-25 ribu.

Kenapa nggak digital saja? Saya rasa kurang afdol, kecuali digitalnya pakai iPad. Lebih mahal mana, hayo?

Sebagai guru, saya hakkul yakin dan menjamin kalau nggak ada sedikitpun niatan guru memeras siswa dari penjualan LKS. Guru hanya ingin proses belajar mengajar di kelas efektif dan siswa dapat menyerap ilmu sebanyak mungkin. Melalui apa? Ya melalui buku dan bahan bacaan. Jadi sekali lagi, LKS bukan barang haram untuk siswa dan bukan bisnis untuk guru.

Solusi jangka panjang

Jika memang siswa membeli LKS dianggap sebagai masalah, dinas pendidikan atau kementerian harus segera memperbaiki proses pengadaan buku di sekolah. Lakukan komunikasi tahuanan dengan para guru mata pelajaran di sekolah-sekolah, agar buku yang dikirimkan sesuai kebutuhan sekolah berdasarkan rekomendasi guru mapelnya masing-masing. Dengan begitu, tidak akan ada lagi buku yang terbuang percuma, karena nggak relevan dengan kebutuhan siswa.

Lebih dari itu, pemerintah bisa bekerjasama dengan penerbit LKS yang menjadi pilihan guru mata pelajaran di masing-masing sekolah. Sehingga, setiap siswa bisa mendapatkan LKS gratis dari anggaran khusus. Itu kalau mau ideal.

Kalau begini-begini terus, para guru jangan takut merekomendasikan LKS pada siswa. Selama ada kesepakatan dan tanpa paksaan, maka lanjutkan. LKS bukan barang haram dan guru bukan penipu. LSM gadungan sok pahlawan yang terus mempermasalahkan LKS di sekolah harus dilawan dan dimusnahkan segera.

Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Perpustakaan Sekolah Sepi Bukan karena Minat Baca Rendah, tetapi (Dibikin) Nggak Bisa ke Perpustakaan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version