Pada trimester awal tahun 2019, di dunia maya sempat ramai kalimat sekaligus hastag “let’s confuse kids nowadays”. Banyak meme yang bermunculan, mulai dari ranah sehari-hari sampai dengan yang bersinggungan dengan hal politik. Dua diantaranya foto Gayus Tambunan dan foto Megawati dengan Prabowo Subianto dalam satu frame saat masih menjadi capres-cawapres pada tahun 2009.
Sedikit flashback dan nostalgia, Gayus Tambunan adalah seseorang yang terlibat langsung dalam kasus mafia pajak yang melibatkan banyak pejabat. Dan berita ini menjadi trending pada kisaran tahun 2010-2011. Jika ditanya kepada beberapa anak masa kini, mungkin akan acuh tak acuh karena betul-betul tidak familiar dengan nama tersebut—kecuali mereka betul-betul mencari tahu akan info terkait.
Dalam hal pendidikan, mungkin akan banyak anak sekarang yang tidak mengenal istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Yah, semacam UAN pada periode 1980-2000. Dilansir dari newsokezone.com, pada masa ini kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi hasil EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir—kini dikenal dengan istilah UAS) dan EBTANAS ditambah nilai ujian harian pada rapor. Siswa dinyatakan lulusan EBTANAS jika meraih nilai rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan enam meskipun ada nilai di bawah tiga.
Masih dari dunia pendidikan, sebelum adanya sistem semester saya sempat merasakan proses belajar mengajar dengan catur wulan. Ada catur wulan satu, kedua, dan ketiga. Dengan nilai akhir pada catur wulan ketiga sebagai penentu seorang siswa akan lulus—naik kelas—atau tidak. Kala itu, pembagian rapor dalam satu tahun tiga kali (per-empat bulan sekali).
Satu yang membuat saya gembira menjalani sistem catur wulan ini adalah jumlah hari libur yang secara otomatis lebih banyak—dibanding sistem semester yang hanya ada dua periode libur sekolah. Hehe. Selain itu semua, tentu yang tidak biasa adalah alat tulisnya. Penghapus darurat dari karet gelang, misalnya. Jika betul-betul digunakan, menghapus coretan nggak bikin kertas makin kotor iya.
Dari semuanya, yang betul-betul legendaris bagi saya pada akhirnya adalah RPUL, RPAL, juga kamus peribahasa — yang walaupun kini masih diproduksi, namun rasanya sudah tidak ringkas karena repot dan berat. Mengingat kesemuanya—sekitar 20 tahun lalu—masih berupa buku yang cukup tebal dan lumayan berat jika dibawa oleh anak seumuran SD. Perlu juga diingat, saat itu kami belum membawa atau fokus pada handphone beserta internetnya.
Itu kenapa, RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) menjadi salah satu buku pengetahuan yang wajib dimiliki karena terbilang cukup lengkap dalam merangkum pengetahuan umum seperti laiknya ensiklopedia IPS—Ilmu Pengetahuan Sosial. Saat SD saya pun sempat memiliki RPUL edisi 2002-2003 yang warna sampul depannya berwarna biru.
Jika saya tidak salah ingat, sampul belakangnya adalah bendera dari negara yang mengikuti gelaran Piala Dunia Korea-Jepang pada tahun 2002. Nggak percaya? Silakan googling sendiri. Pada masanya, RPUL betul-betul membantu saya dalam mengingat nama banyak ibu kota dari suatu negara. Maklum, setiap pulang sekolah sewaktu SD, guru saya selalu bertanya nama-nama ibu kota di seluruh dunia—agar mudah diingat.
Lalu, untuk RPAL (Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap) pun tidak kalah serunya. Sebagai ensiklopedia perihal Ilmu Pengetahuan Alam, RPAL banyak membahas materi yang berkaitan dan Biologi juga Fisika dasar—tergantung kategori dan tingkatnya.
Baik RPUL pun RPAL, perlahan dipaksa harus merasakan ganasnya disrupsi dalam era digital. Eksistensi mereka tanpa ampun tergantikan oleh mesin pencari di internet seperti google, juga oleh buku elektronik—e-book—yang mudah didapat dan terbilang murah karena tinggal download serta aksesnya semakin mudah dengan adanya internet. Ditambah, secara bobot tidak berat karena file dapat disimpan pada handphone.
Dalam pelajaran bahasa Indonesia, dahulu saya selalu diminta oleh guru wajib membawa kamus peribahasa. Anak sekarang mungkin tinggal searching di internet saja. Namun, percaya atau tidak, meski repot dan sulit ada kenikmatan tersendiri jika diberi tugas oleh guru mencari arti banyak peribahasa. Dan secara keseluruhan harus dicari satu per-satu, membalikan setiap halaman—pada kamus peribahasa — sampai akhirnya ketemu apa yang dicari.
Dan saat menemukan arti peribahasa yang dicari, ada kepuasan tersendiri yang tidak mungkin sama saat mencari dengan menggunakan beberapa kata kunci di internet. Kepuasan ini yang mungkin tidak dirasakan oleh kids nowadays.
Jadi, hal apa lagi yang bisa diceritakan dan akan membuat anak sekarang menjadi bingung? Mari berbagi cerita pada kolom komentar tanpa merasa sudah menjadi bagian dari generasi tua. (*)
BACA JUGA Mawang dan Jawaban Atas Penyampaian Rasa Sayang Kepada Orang Tua yang Seringkali Sulit Diungkapkan atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.