Les privat itu mestinya jadi tempat aman buat anak mengulang pelajaran, mengisi celah pemahaman yang bocor, atau sekadar bertanya hal-hal yang nggak sempat dibahas di kelas. Pokoknya, jadi ruang untuk memperlambat ritme sekolah yang penjelasan materinya kadang keburu-buru.
Tapi fakta di lapangan, peran itu pelan-pelan bergeser. Les privat makin mirip bengkel darurat. Bolehlah jika dikatakan tempat servis cepat untuk PR yang menumpuk atau tempat mengerjakan soal-soal LKS supaya dapat nilai top di kelas. Bukan lagi fokus pada pemahaman, tapi pada hasil instan.
Saya tahu ini karena saya sendiri guru les privat all mapel anak SD. Tiap anak berbeda-beda jadwalnya, ada yang seminggu dua kali, tiga kali, empat kali, hingga lima kali paling banyak. Tapi meski jadwalnya teratur, materi yang kami bahas mayoritas tetap berputar di seputar PR sekolah.
Kalau PR-nya Matematika, kami bahas bersama PR Matematikanya. Kalau PR-nya Bahasa Inggris, ya sudah, beralih ke Bahasa Inggris. Fokusnya bukan lagi pada membangun logika atau mengasah pemahaman, tapi memastikan semua tugas selesai tepat waktu.
Les privat jadi ajang permak rapor
Pernah suatu kali, wali murid mengirim pesan WhatsApp. Nada suaranya cukup mendesak, “Pemisi Bu, nilainya kemarin jelek. Soal-soal buku sekolah dibahas aja mbak, kasih tanda jawabannya, ya, biar pas di sekolah nilainya bagus.”
Saya melongo di depan layar. Waw. Jadi selain mengajar, saya juga diharapkan jadi penyedia “tanda sakti” yang bisa mengatrol nilai rapor. Soal-soal di buku LKS disuruh bantu kerjakan pake tanda titik gitu di samping abjad pilihan ganda, terus yang isian dijawab di buku les. Entar di sekolah dibawa buku lesnya buat jawab soal itu tadi. Kalau diterjemahkan bebas, pesan itu artinya: proses nggak penting, yang penting hasil.
Dan sayangnya, ini bukan kasus tunggal. Banyak orang tua yang menganggap les privat itu “paket cepat nilai bagus”. Mereka membayar guru les bukan untuk menuntun anak memahami, tapi untuk memastikan angka sempurna nangkring manis di rapor. Bagi mereka, nilai rapor adalah bukti keberhasilan. Masalah paham tidaknya, urusan belakangan. Aduh, miris.
Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, cara ini seperti membiasakan anak melakukan “korupsi prinsip” sejak dini. Bukan korupsi uang, tapi korupsi integritas belajar. Anak diajarkan bahwa memoles tampilan luar jauh lebih penting daripada memperbaiki isi kepala. Dan yang lebih bahaya, kebiasaan ini bisa-bisa terbawa sampai dewasa.
Bayangkan, kalau dari kecil sudah terbiasa mengakali ujian demi hasil bagus, nanti saat masuk dunia kerja mereka bisa saja menganggap “akal-akalan” sebagai bagian wajar dari strategi hidup. Beda tipis antara kreatif dan manipulatif.
Baca halaman selanjutnya: Serba salah…




















