Semenjak diumumkannya pandemi Covid-19 di Indonesia dan pemerintah memberlakukan PSBB, sejak itu pulalah pemerintah membatasi setiap kegiatan sosial yang dapat menyebabkan kerumunan massa. Berbagai penganut agama terkena dampak dari pandemi. Mulai dari masjid, gereja, pura, wihara, klenteng, ditutup untuk sementara. Akibatnya sangat terasa bagi umat Islam. Idul Fitri kali ini jadi sangat berbeda karena mudik dilarang pemerintah. Dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, mungkin kita bisa bercermin dari Lebaran ala Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang merayakan Lebaran secara sederhana.
Alkisah pada hari raya Idul Fitri seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali. Lantas ia mendapati Sayyidina Ali sedang memakan roti yang keras. Ia pun berkata, “Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”
“Sesungguhnya hari ini adalah Id (Lebaran) orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya, dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Lebaran bagi kami, demikian juga esok. Bahkan setiap hari pun engkau juga bisa Lebaran seperti ini,” ucap Sayyidina Ali.
“Bagaimana bisa aku Lebaran setiap hari?”
“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah di hari itu, sesungguhnya ia sedang berlebaran.”
Di lain kesempatan, Sayyidina Ali juga pernah berkata: “Laisal-id liman labisa-l-jadid, innama-l-id liman tho’atuhu tazid. Wa-laisal-id liman tajammala bil-libas wal-markub, innama-l-id liman ghufirot lahu-d-dzunub.” Hari raya bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mempunyai pakaian baru, namun bagi orang yang ketaatannya bertambah. Hari raya bukan pula diperuntukkan bagi orang yang bersolek dengan pakaian maupun kendaraan, akan tetapi bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.
Demikianlah semangat Lebaran yang diajarkan Sayyidina Ali. Lantas pertanyaannya, apakah Sayyidina Ali tidak mampu menghidangkan berbagai makanan dan membeli baju baru untuk Lebaran? Bukan begitu. Beliau tidak hanya melihat realitas Lebaran secara eksplisit, namun juga implisit.
Idul Fitri seharusnya menjadi perjalanan transendental bagi kita; sarana agar ghirah atau gairah keagamaan umat Islam dalam menjalani kehidupannya kembali ke fitrah atau semangat awalnya. Karena makna Idul Fitri sendiri berarti kembali ke fitri, suci. Nabi pun menganalogikannya seperti bayi yang terlahir kembali dari rahim ibunya.
Oleh karena itu, Idul Fitri bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, tapi justru awal perjalanan selanjutnya. Jika selama Ramadan kita ditempa, dididik, dilatih, serta dibimbing menjadi pribadi yang mulia, untuk menjadi manusia paripurna, insan kamil, maka kemudian liburan (Lebaran) adalah kompensasi agar kita rehat sejenak dan bersiap kembali meneruskan perjalanan.
BACA JUGA Tipe-tipe Orang saat Menunggu Lebaran Datang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.