Setelah sekian lama pacaran via telepon genggam, akhirnya kemarin saya bisa bertemu dengan pasangan. Berbekal kerinduan, saya menemuinya di Surabaya. Selain cerita menyebalkan soal orang-orang di Terminal Purabaya, ada cerita lain yang tidak kalah menarik bagi saya. Karena itulah, saya akan membagikannya kepada kalian semua. Saya yakin bahwa kami bukan satu-satunya pasangan yang terus digelisahkan oleh kerinduan.
Selayaknya pertemuan lain, dua bibir kami yang bertemu, tidak luput dari gibah dan obrolan-obrolan berfaedah. Kami membicarakan apa yang tak sempat dibicarakan lewat telepon genggam. Meskipun sudah sering bicara, bertemu langsung dengannya ternyata membuat saya grogi juga. Kami canggung seperti pasangan baru dalam prosesi ta’arufan. Padahal, saya sudah merencanakan banyak hal untuk dilakukan bersama atau sekadar dibicarakan berdua.
Di antara obrolan-obrolan tersebut, muncul satu wacana yang menarik bagi saya. Pacar saya bilang kalau banyak teman-teman selingkaran yang sering ngguyoni, tapi tidak lucu sama sekali. Misalnya, ketika sedang berkumpul dan saling cerita, pacar saya bilang kalau sedang LDR-an. Sontak, teman-temannya yang hobi iseng, lantas dengan mudah memberondongnya dengan mitos-mitos universal.
“Kamu yakin kalau pacarmu di sana tidak selingkuh?”
“Kalian jauh, lho. Kamu tidak mungkin tahu kalau diam-diam pacarmu itu sudah ada gandengan di sana. Kamu bukan apa-apa.”
“Inget, lho. Yang namanya manusia mah butuhnya kehadiran, bukan cuma suara sayang-sayangan.”
“Di sini kamu dilanda kerinduan dan kedinginan, di sana pacarmu malam mingguan sambil makan di hotel berbintang. Hati-hati, lho, yha.”
“….”
Kalian bisa melanjutkannya dengan mengisi titik-titik di atas sesuai dengan pengalaman masing-masing. Kalau belum ada pengalaman sama sekali, kamu tidak perlu pusing-pusing memikrkannya. Langsung saja melanjutkan bacaan di bawah ini. ehehe
Kalau tidak salah ingat, respon saya pertama kali adalah senyum, nyengir, dan tertawa sebentar. Setelahnya, berusaha meyakinkan pacar saya. Untunglah, kami saling percaya. Jadi, kata-kata di atas dan semacamnya, tidak lagi mempan untuk menggoyahkan keyakinan.
Saya terbayang-bayang sesi curhat kami di atas. Saya tidak habis pikir, kok bisa ya seseorang malah menakut-nakuti temannya sendiri? Padahal, orang-orang seperti kami kan butuh dukungan untuk tetap berjuang melawan kerinduan dan tiket pesawat yang membuat kami kembali menundukkan kepala setiap kali ingin berjumpa.
Kami akui, LDR memang tidak mudah, tapi jangan menyerah. Saya ingat kata-kata seorang teman, kerinduan yang nyata, lebih baik daripada kehadiran yang ilusif. Kata-kata tersebut tentu saja saya senyam-senyumi. Pasalnya, begitulah yang sering saya rasakan, kerinduan yang nyata kepada seorang perempuan di seberang sana. Lagipula, benar juga kata teman saya itu. Kehadiran yang ilusif memang menyebalkan. Betapa menyedihkan kalau sebuah pertemuan hanya disibukkan dengan memegang telepon genggam dan sama-sama tenggelam dalam Instagram.
Kunci penting dalam sebuah LDR adalah kepercayaan dan tanggung jawab. Ketika seorang pelaku LDR sudah percaya dan mampu menjaga kepercayaan pasangannya, aman sejahteralah hubungan mereka. Kesetiaan akan lahir sebagai implementasi tanggung jawab menjaga kepercayaan pasangan. Dengan begitu, rasa saling curiga dan berlomba untuk saling menciderai perasaan akan hilang.
Yang tidak kalah penting, LDR mestinya dibarengi dengan komunikasi yang sewajarnya. Komunikasi ini akan membuat rasa saling percaya menjadi lebih kuat. Ketika komunikasinya saja kurang baik, bagaimana dengan kepercayaan masing-masing? Bisa jadi, disenggol sedikit saja dengan guyonan teman-teman seperti pacar saya di atas, langsung goyah dan menjadi pokok masalah. Ancur dong, bor!
Pacar saya pernah bilang, suara mampu menggantikan kehadiran. Kami jadi sering telponan dan menganggapnya sebagai sebuah pertemuan. Selayaknya kencan, kami pun membuat kesepakatan pada pukul berapa dan dalam kondisi seperti apa akan telponan. Bukan hanya asal telpon dan berbicara ngalor-ngidul. Dengan seperti ini, kami merasa menjadi lebih dekat dan “ada” untuk pasangan.
Pun kami akui, meski sudah melakukan siasat-siasat seperti di atas, tidak lantas membuat kerinduan kami tuntas. Malahan, suara-suara yang terdengar di telinga, seolah mengajak kami beranjak untuk saling mengunjungi. Kerinduan yang lama diperam dalam jarak dan waktu, berontak menuntut temu. Kalau keadaannya belum begitu mendukung, pada telepon genggamlah kami kembali bergantung. Kami mencoba mengelabui kerinduan dengan saling berkirim gambar atau videocall-an.
Jangan takut dan jangan menakut-nakuti! Pelaku LDR itu yang jauh jaraknya, bukan hati dan kesetiaannya. Jadi, para pelaku LDR di Terminal Mojok semua, bersatulah untuk berontak pada sangkaan-sangkaan tidak mengenakkan lainnya! Kita para pelaku LDR juga berhak pacaran dan berbahagia. Iya, kan, guys?