Kalau Anda pernah jadi warga Magelang sekitarnya atau paling tidak pernah lewat di kawasan Canguk, maka Anda pasti tahu seperti apa getirnya ujian hidup yang satu ini: lampu merah Canguk. Ia bukan sekadar lampu lalu lintas, tapi semacam tempat tafakur massal. Sebuah wahana spiritual di mana pengendara—dari ojek, bapak-bapak pulang kerja, sampai anak sekolah yang buru-buru upacara—dipaksa merenung di bawah guyuran sinar merah yang entah kapan berganti hijau.
Banyak yang bilang, kalau bisa sabar di lampu merah Canguk, berarti sudah lulus jadi manusia. Ada juga yang berteori bahwa waktu tunggu di lampu merah ini bisa dipakai buat ngafal tabel periodik, atau setidaknya mendamaikan pertengkaran batin antara “cepetan lah!” dan “ya udah ikhlasin aja.”.
Namun seperti pepatah lama yang sudah dimodifikasi gen Z, “semua penderitaan ada akhirnya, kecuali cicilan.” Maka penderitaan di lampu merah Canguk pun kini resmi berakhir. Adalah sepasang infrastruktur bernama flyover dan semi underpass yang jadi penebus dosa masa lalu. Kini, Canguk bukan lagi tempat untuk menguji iman kesabaran, tapi tempat untuk melejitkan kendaraan dengan percaya diri, seolah-olah kita sedang memerankan tokoh utama dalam iklan motor matic.
Flyover Canguk Magelang adalah penyelamat
Flyover Canguk ini bukan flyover sembarangan. Ia adalah bentuk cinta Pemerintah terhadap warganya yang sabarnya udah terlalu sering diuji. Dengan struktur kokoh membentang, flyover ini jadi semacam “jembatan surga” yang membawa pengendara langsung dari titik kemacetan menuju titik lega—dalam waktu kurang dari satu menit. Sebuah rekor yang dulu mustahil dicapai tanpa rasa mangkel di hati karena kesabaran diuji.
Di sisi lain, hadir pula semi underpass, solusi elegan untuk arus kendaraan dari arah lain yang selama ini merasa seperti anak tiri dalam sistem lalu lintas Canguk. Tidak benar-benar masuk ke dunia bawah, tapi cukup rendah untuk membuat pengendara merasa sedang menjalani hidup dari sudut pandang yang berbeda.
Transformasi Canguk Magelang ini bukan cuma soal beton dan aspal. Ini tentang bagaimana sebuah tempat yang dulunya jadi titik lelah kolektif, kini bertransformasi jadi simbol perubahan. Anak-anak sekolah yang dulu sering terlambat gara-gara nyangkut di Canguk, sekarang bisa berangkat lima menit lebih siang. Ibu-ibu yang dulu ngedumel di jok belakang motor sekarang bisa fokus nyusun rencana belanja tanpa terganggu rem tangan.
Tentu saja proyek sebesar ini sempat memantik komentar klasik netizen: “Kenapa baru sekarang?” atau “Kalau dari dulu dibikin gini, kan hidup saya bisa lebih tenang.” Tapi ya namanya pembangunan, datangnya memang sering telat tapi tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.
Era baru
Proyek ini juga jadi bukti bahwa Pemerintah mendengar keluh kesah rakyatnya. Dan lebih penting lagi, mereka (kadang) bisa menyelesaikan sesuatu dengan hasil yang bisa dinikmati langsung. Tidak semua proyek harus berakhir jadi meme. Ada juga yang jadi inspirasi.
Kini, Canguk Magelang bukan lagi cerita getir bagi pengendara. Ia sudah bertransformasi jadi monumen modernitas. Di mana arus lalu lintas berseliweran tanpa hambatan, dan orang-orang bisa menikmati perjalanan tanpa dibayang-bayangi trauma merah berkepanjangan. Generasi baru pengendara mungkin tak akan pernah tahu betapa getirnya dulu Canguk. Tapi tak apa. Biarlah itu jadi bagian dari sejarah lisan, yang diceritakan sambil senyum-senyum getir di atas flyover.
Karena pada akhirnya, Canguk yang dulu membuat kita sabar, kini memberi kita lega. Dan di tengah jalan-jalan yang semakin ramai ini, itu adalah anugerah yang pantas kita rayakan.
Selamat datang, Canguk era baru.
Penulis: Imam Dwi Widiantoro
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Angkot Malang yang Bikin Perantau Newbie Bingung
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















