Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Lahir di Lingkungan NU dan Tumbuh Dewasa di Lingkungan Muhammadiyah, Bikin Saya Jadi Krisis Identitas

Afitasari Mulyafi oleh Afitasari Mulyafi
8 Januari 2021
A A
Lahir di Lingkungan NU dan Tumbuh Dewasa di Lingkungan Muhammadiyah, Bikin Saya Jadi Krisis Identitas terminal mojok.co

Lahir di Lingkungan NU dan Tumbuh Dewasa di Lingkungan Muhammadiyah, Bikin Saya Jadi Krisis Identitas terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Menghabiskan masa kanak-kanak di lingkungan NU, sementara beranjak dewasa di lingkungan Muhammadiyah, membuat saya kadang-kadang merasa mengalami krisis identitas saat melakukan amalan-amalan ibadah.

Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), saya pernah ditanya seorang teman. Begini katanya, “Kamu NU atau Muhammadiyah?” Sebagai anak desa yang waktu itu mulai menginjakkan kaki di daerah perkotaan, saya merasa asing dengan pertanyaan itu. Saat itu, saya sempat berpikir kalau saya bodoh sekali tidak bisa mengerti pertanyaan semacam itu.

Lantaran saya penasaran, maka bertanyalah saya ke ibu. “Bu, kita NU atau Muhammadiyah?” Sialnya, ibu saya menjawab itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Ini justru membuat saya semakin tidak mengerti. Namun, alasan ibu menjawab demikian karena sejak mula ibu saya tidak menyematkan identitas dirinya kepada salah satu organisasi massa tersebut. Akhirnya selama di usia sekolah, saya juga tidak merasa jadi bagian dari salah satunya.

Barulah ketika memasuki dunia perkuliahan saya mulai menyadari bahwa selama itu saya tinggal di lingkungan NU. Salat Subuh pakai doa qunut, kalau malam Jumat ikut ngaji yasin bareng teman-teman, teman lelaki saya juga banyak yang menjadi penabuh hadroh, dan saya merapal doa iftitah pakai kabiro. Saya hanya sebatas mengerti bahwa begitu cara seorang muslim beribadah. Sampai ternyata ada di belahan dunia lain yang mengamalkannya dengan cara berbeda.

Saya berkuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan salah satu orientasi bagi mahasiswa baru adalah dengan mengikuti kegiatan pesantren pendek selama empat hari. Di sanalah saya mengamalkan Islam dengan cara Muhammadiyah secara kafah. Sekaligus menjadi titik saya menyadari kalau sebelumnya saya menjalani hidup dengan prinsip-prinsip NU, kendati ibu saya mengatakan keluarga kami tidak terafiliasi salah satunya.

Barangkali, itu menjadi bukti kesuksesan NU yang membudaya di masyarakat sehingga orang macam saya bisa menjadi bagian NU tanpa menyadari keberadaannya di kehidupan saya.

Di masa perkuliahan saya, satu persatu paham beribadah bergeser. Saya anggap hanya bergeser, tidak sampai menyerong atau malah melangkah ke depan maupun ke belakang. Sebab diberi tahu bahwa qunut tidak perlu, ya saya manut saja. Apalagi saya mengamalkan salat jamaah ala Muhammadiyah saat menjalani pesantren pendek. Maka setidaknya selama tiga hari, ketika salat Subuh, tepatnya sehabis membaca doa I’tidal tidak ada bunyi, “Allahummahdiini fiiman hadait….”

Ketika salat berjamaah dengan teman perempuan juga otomatis berbeda. Saya, sebagai makmum, menjadi setara karena berdiri bersebelahan dengan teman saya yang menjadi imam. Padahal dulu, kalau saya berjamaah dengan ibu saja, sudah tentu saya akan berada sedikit di belakang ibu saya. Saya juga jadi agak meragukan apa membaca yasin di malam Jumat masih diperlukan. Saya jadi mulai tidak rutin membaca yasin seperti dulu.

Baca Juga:

Cerita Kuliah di Universitas Siber Muhammadiyah, Universitas Terbuka Versi Muhammadiyah

Kuliah di UNU Yogyakarta: Senang dengan Fasilitasnya tapi Sedih karena Nama Gedungnya

Awalnya saya merasa baik-baik saja terhadap perubahan-perubahan itu selama di perantauan. Saya termasuk mahasiswa yang jarang pulang, jadi ada waktu lama membiasakan diri pada perubahan itu. Tetapi ketika saya di rumah, kebiasaan beribadah saya secara default berubah lagi menjadi NU. Ketika salat Subuh, saya jadi balik membaca qunut padahal selama di perantauan tidak melakukan itu.

Tak hanya sampai di situ, kebiasaan mengaji yasin jadi muncul kembali karena anggota keluarga yang lain akan membuka buku yasin dan membacanya di malam Jumat. Sudah tentu kalau saya tidak membaca itu akan dianggap tidak ikut mendoakan mendiang kakek dan nenek, serta kerabat lain yang telah berpulang. Dan yang lebih menggelikan, saya terkadang kebingungan ketika menggelar sajadah sewaktu akan berjamaah dengan ibu saja.

Haruskah saya menghamparkan sajadah tepat di sebelah ibu atau agak ke belakang? Saya pernah melakukan itu dengan cara yang Muhammadiyah ajarkan dan itu berujung dengan obrolan panjang sebelum salat bersama ibu. Beruntung, pandemi membuat bapak saya lebih memilih salat berjamaah di rumah, sehingga saya tidak banyak mengalami kebingungan tersebut.

Saya tetap mengamalkan keduanya secara tidak konsisten karena bagi saya di antara keduanya tidak ada yang lebih benar apalagi salah. Saya mengenal keduanya dengan cara masing-masing. NU melalui pendekatannya yang terkenal humanis, tepat dengan cara saya mengenalnya melalui kehidupan bersosial selama masa pertumbuhan saya. Sedangkan, melalui jalur intelektualitasnya, saya berkenalan dengan Muhammadiyah ketika pesantren pendek di kampus.

Namun, meski saya menghormati keduanya, tidak bisa saya pungkiri kalau saya merasa lebih condong ke NU. Berlebaran dengan cara Muhammadiyah itu terasa sepi sekali, tidak seperti NU yang musalanya akan bersahut-sahutan menggemakan takbir. Selain itu, Muhammadiyah tidak bisa membuat saya riang gembira seperti NU melalui kehadiran berkat-berkat tahlil yang dibawa pulang bapak. Lagipula, “Allahumma ba’id baini…,” tidak sekokoh “Kabiiro…,” di otak saya.

BACA JUGA Kenapa Tidak Ada Orang dengan Gelar Habib di Muhammadiyah? dan tulisan Afitasari Mulyafi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 7 Januari 2021 oleh

Tags: Muhammadiyahnu
Afitasari Mulyafi

Afitasari Mulyafi

Mahasiswa

ArtikelTerkait

Menyebut Muhammadiyah & NU Elitis Adalah Jokes Pandji Pragiwaksono yang Paling Ampas terminal mojok.co

Menyebut Muhammadiyah & NU Elitis Adalah Jokes Pandji Pragiwaksono yang Paling Ampas

24 Januari 2021
UIN Malang dan UIN Jogja, Saudara yang Perbedaannya Kelewat Kentara

UIN Malang dan UIN Jogja, Saudara yang Perbedaannya Kelewat Kentara

29 Agustus 2024
4 Barang yang Tidak Disangka NU Menjualnya, Nggak Mau Kalah dengan Muhammadiyah Mojok.co

4 Barang yang Tidak Disangka Nahdlatul Ulama Menjualnya

27 Januari 2025
nahdliyin garis lucu

Sekarang Bukan Cuma Warga Nahdliyin yang Bisa Bercanda

23 Mei 2019
Ketika Orang Aceh Tahlilan di Jakarta

Tipe-tipe Orang yang Hadir dalam Tahlilan

1 Desember 2020
Derita Lulusan S2 Jogja, Dikasihani dan Ditolak Puluhan Sekolah (Unsplash)

Lulusan S2 Kesulitan Cari Kerja di Jogja: Ditolak Puluhan Sekolah karena NU dan Tidak Punya KTA Muhammadiyah Sampai Nggak Tega Ngasih Gaji Kecil

3 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi (Unsplash)

Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi: Menolong Ribuan Perantau, tapi Menyengsarakan Warga Sendiri

22 Desember 2025
Daihatsu Gran Max, Si "Alphard Jawa" yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan Mojok.co

Daihatsu Gran Max, Si “Alphard Jawa” yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan

25 Desember 2025
Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

27 Desember 2025
4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

25 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.