Suatu ketika di masa SMA sekira tahun 2008, saya bersama dengan 13 orang teman merencanakan untuk berlibur dan menginap di suatu vila yang berlokasi di kawasan Ciawi, Puncak, Bogor. Tujuan kami sederhana, ingin menggunakan liburan sekolah dengan sebaik-baiknya. Dan akhirnya kami sepakat, destinasi liburan bersama adalah ke Puncak. Selain mudah dijangkau, untuk sewa vila pun terjangkau—apalagi jika patungan. Ditambah, bisa mendapat pemandangan yang asri juga sejuk, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Tidak lama kami menginap, rencananya hanya 2 hari 1 malam. Kami berangkat Kamis pagi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di vila yang sudah kami pesan sebelumnya, hanya sekitar satu jam.
Setibanya di vila kami bersantai sejenak sambil merapikan barang bawaan, beberapa teman yang lain melihat isi dan sekitaran vila yang terbilang cukup luas dan memiliki dua lantai, ditambah satu rumah terpisah—masih ada dalam satu wilayah. Namun, entah kenapa sejak awal penjaga vila mewanti-wanti agar tidak terlalu berisik jika kami sedang berada di rumah yang terpisah itu tanpa memberi tahu alasannya.
Setelah penjaga vila meninggalkan kami dan memberikan beberapa kunci, dengan bermodal sok tahu kami langsung bergegas melihat satu rumah yang terpisah tersebut. Meski hawanya terasa beda, isi rumah ini terbilang cukup nyaman. Hanya saja, di puncak yang pada siang hari pun terasa sejuk, entah kenapa di dalam rumah yang terpisah ini terasa pengap dan cukup panas. Pikir kami, mungkin karena sering ditutup dan tidak dihuni. Untuk kenyamanan bersama, kami memutuskan untuk tidak menggunakan area ini, sesuai petunjuk penjaga vila.
Malam pun tiba, memasuki pukul 21.00 diselingi canda juga tawa yang besar dan terbahak-bahak, kami sepakat berbagi cerita mistis untuk mendapatkan sensasi yang berbeda, ditambah, vila yang kami tempati berada di kawasan pedesaan terbilang sepi. Agar lebih menghayati cerita mistis dari setiap orang, kami sepakat untuk memutar lagu Lingsir Wengi. Di luar dari perdebatan lagu ini sebetulnya tidak ada unsur horornya sama sekali, banyak diantara kami selalu takut dan merinding jika mendengar lagu Lingsir Wengi yang ada pada MP3 player salah satu teman.
Hal mistis dimulai setelahnya dan seakan menjadi satu kesatuan dengan lagu Lingsir Wengi.
Cerita berlanjut dan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tiba-tiba saja kami mendengar suara delman lengkap dengan hentakan kaki kuda persis melalui jalan depan di vila yang kami tempati, setelah kami cek di sepanjang jalan dan sejauh mata memandang tidak ada satu pun delman yang melintas, padahal jalanan terbentang lurus—seharusnya terlihat.
Salah satu teman mulai mematikan lagu Lingsir Wengi pada handphone-nya karena merasa mulai ada yang tidak beres. Kami semua sepakat mengunci pintu dan menutup gorden. Pada waktu bersamaan, saya beserta teman lain melihat ada sepasang mata yang sedang memandang ke arah ruangan kami dari balik jendela rumah terpisah yang memang tidak memiliki penerangan cukup.
Khawatir ada orang berniat jahat, kami beramai-ramai menuju rumah tersebut. Sesampainya di sana, kami tidak menemukan apa pun. Sampai akhirnya, kami dikejutkan oleh sosok kuntilanak yang muncul persis di belakang jendela tembus pandang itu. Tanpa pikir panjang dan dalam keadaan takut, kami langsung lari menuju rumah asal.
Setibanya di ruang tengah, kami sepakat untuk tidur bersama dan saling menjaga, juga melupakan sesuatu yang baru saja terjadi. Dalam kondisi ruangan yang gelap karena lampu dimatikan, satu per satu kami tertidur lelap. Tak lama setelahnya, entah bagaimana caranya, lagu Lingsir Wengi terdengar kembali oleh kami dari handphone teman yang ada di salah satu kamar. Tidak ada yang dengan sengaja menyalakan lagu tersebut.
Kami semua membangunkan satu sama lain dan menuju kamar di mana lagu Lingsir Wengi terdengar. Lagu itu memang betul dalam keadaan “play” pada MP3 player. Tidak ada yang menyangka juga tidak diharapkan sama sekali, yang jelas langsung dimatikan. Saat kembali ke ruang tengah, entah bagaimana caranya dan siapa yang mengundang, ada beberapa sosok kuntilanak sedang berdiri pasif menatap kami seram dengan mata merahnya.
Tanpa disangka, salah satu kuntilanak melayang dengan cepat menuju ke arah saya. Sewaktu kuntilanak sudah berada tepat di hadapan saya, di saat yang bersamaan saya terkaget-kaget mendengar suara Ibu mengetuk pintu. Tanda bahwa saya sudah bangun kesiangan dan harus segera bergegas karena ada janji untuk menemani Ibu pergi ke pasar. (*)
BACA JUGA Orang Lain Menyebutnya Pembunuh atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.