Lagu Dino Liyane, Sebuah Ironi Sepasang Calon Pengantin di Tengah Pandemi

Menggugat Perusakan Alam Lewat Lagu-lagu Sisir Tanah terminal mojok.co

Menggugat Perusakan Alam Lewat Lagu-lagu Sisir Tanah terminal mojok.co

Musik masih menjadi salah satu media yang ampuh dalam merespons segala sesuatu. Di tengah pandemi seperti ini, ada beberapa musisi yang memilih untuk merespons situasi dengan membuat lagu. Mulai dari yang bagus dan serius, hingga yang jelek dan main-main. Salah satu yang berhasil adalah Haji Rhoma Irama, dengan lagu barunya yang berjudul Virus Corona. Sudah bisa ditebak, lagu ini tidak jauh-jauh dari urusan keganasan virus corona, lalu ketuhanan, dan anjuran ini-itu, khas Bang Haji.

Namun ini bukan anthem yang terbaik. Sepakat atau tidak, anthem terbaik dalam merespons situasi ini adalah lagu dari Hendra Kumbara yang berjudul, Dino Liyane. Saya sebelumnya tidak tahu siapa Hendra Kumbara dan apa saja lagu-lagunya. Maklum, saya punya sentimen yang kurang bagus dengan musik dangdut masa kini. Ternyata, Hendra Kumbara ini adalah musisi dangdut “solo” yang sudah cukup kondang, dan lagunya sudah dibawakan di mana-mana oleh banyak penyanyi. Ya, tipikal musik dangdut.

Kembali ke masalah lagu Dino Liyane, lagu ini memang pantas dijadikan anthem dalam situasi pandemi ini, meskipun secara isi lagu tidak semua orang mengalami. Namun, setidaknya lagu ini mewakili cukup banyak orang. Lagu Dino Liyane atau yang dalam bahasa Indonesia berarti hari lainnya atau hari yang lain, menceritakan tentang sepasang kekasih yang harus rela menunda, mengganti hari pernikahannya akibat pandemi corona ini. Dalam video musik yang sudah dirilis, kedua calon pengantin ini mau tidak mau harus membatalkan semua persiapan, seperti sewa gedung, dekorasi, katering, hingga penghulu.

“Nyuwun sewu bapak kalih ibu, Dinten niki mboten sios mantu.” (Mohon maaf bapak dan ibu, hari ini anakmu tidak jadi menikah). Baris pertama lagu ini juga sudah jelas menggambarkan situasi, meminta maaf kepada orang tua karena pernikahannya batal.

“Pancen kahanane angel, Wes ora bisa dieyel.” (Memang kenyataannya susah, sudah tidak bisa dipaksa). Baris kedua ini menunjukkan kepasrahan terhadap situasi pandemi,dan sudah tidak bisa memaksakan apa-apa lagi.

“Timbang coronane nyebar, dunyane san soyo ambyar.” (Daripada corona menyebar, dunia malah semakin hancur). Baris ketiga mencoba realistis, daripada virusnya semakin menyebar, ya lebih baik ditunda dulu saja.

Itu tadi baru bait pertama. Bait kedua lagu ini adalah favorit saya. Ironis, tapi agak lucu juga. Saya tertawa ketika pertama kali mendengarnya. “Nyuwun sewu kanca lan sedulur, Resepsiku kepekso tak undur.” (Mohon maaf teman dan saudara, resepsiku terpaksa ku undur). Baris pertama juga sudah cukup jelas arti dan maknanya.

“Senajan wis DP dekor, katering, lan kabeh vendor.” (Meskipun sudah DP/bayar di muka dekorasi, katering dan semua vendor). Ini yang paling nyesek sebenarnya, sudah bayar ini itu, eh resepsinya diundur atau bahkan dibatalkan karena pandemi virus. Ya mau gimana lagi.

“Akhire kudu tak cancel, Ketimbang aku kecekel.” (Akhirnya harus kubatalkan, daripada aku ditangkap). Ini mereka realistis dan taat aturan. Tidak seperti polisi yang tetap mengadakan resepsi ketika pandemi itu.

Masuk ke bagian reff, dan ini adalah klimaksnya. “Gusti kula salah nopo, rabine kok dibatalno. Wes kadung nyebar undangan, malah corona menyerang.” (Tuhan aku salah apa, nikahnya kok dibatalkan. Sudah terlanjur menyebar undangan, malah corona menyerang). Ini adalah wujud kekecewaan sepasang pengantin di situasi seperti ini. Mereka sampai di titik mempertanyakan nasib ini pada Tuhan.

“Gusti kula sampun ikhlas, keterak covid songolas. Yen pancen ngene dalane, tak golek dino liyane” (Tuhan aku sudah ikhlas, “tertabrak” covid-19. Kalau ini memang jalannya, aku akan cari hari yang lain). Sebuah kekecewaan yang akhirnya agak mereda. Dia sudah mulai mengikhlaskan apa yang menimpa dirinya. Tidak ada pilihan lain selain mencari hari lain untuk menikah.

Lagu ini ditutup oleh bait terakhir dari bagian reff yang cukup melegakan dan menenangkan. “Mugi o angsal hidayah, rabiku ra kudu mewah. Sing penting sakinah mawadah warahmah.” (Semoga dapat hidayah, nikahku tidak harus mewah. Yang penting sakinah mawadah warahmah). Sebuah kekecewaan yang ditutup dengan legawa dan sebuah doa, bahwa menikah tidak perlu mewah dan yang penting baik-baik sampai mati dengan pasangan.

Sudah cukup jelas bagaimana lagu ini menggambarkan potret pasangan calon pengantin yang dalam bulan Maret hingga Mei ini berencana melangsungkan pernikahan. Sudah bayar ini itu, eh karena penyebaran virus ini (pandemi), mau tidak mau harus dibatalkan. Saya cukup yakin banyak sekali kejadian-kejadian seperti ini. Dan saya juga cukup yakin bahwa lagu ini harusnya bisa “mengalahkan” lagu dari Bang Haji Rhoma Irama dalam urusan anthem pandemi.

BACA JUGA Mari Sambut Lagu ‘Virus Corona’ Bikinan Rhoma Irama atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version