Revitalisasi pramuka membawa dampak baik yang signifikan di dunia pendidikan. Peran sertanya berkontribusi cukup mencerahkan, apalagi di tengah geliat Kurikulum Merdeka.
Pramuka tidak lari di tempat, tidak lagi jumud, tidak juga kental dengan perpeloncoan dan sejenisnya. Apalagi sampai masuk ke zona perundungan. Metamorfosa aktivitasnya tak hanya terjebak dengan menyanyi, tepuk tangan, yel-yel, dan baris-berbaris belaka. Pramuka berkembang lebih jauh seiring berputarnya waktu, sehingga mampu menyedot cukup minat peserta didik.
Di tengah konsep Kurikulum Merdeka Belajar, Pramuka mengubah wajahnya dalam kemasan menarik yang lebih modern. Aktivitas ini menyesuaikan dengan zaman tapi tidak meninggalkan jiwanya yang termaktub dalam pendidikan dasar.
Jika menengok ke sejarah bangsa ini, gerakan pramuka berkontribusi besar dalam pembentukan karakter. Ia memberikan titik cerah yang menggembirakan dalam pembentukan manusia tak sebatas pengakuan.
Kurikulum Merdeka Belajar mengguncang pramuka
Namun belakangan, keraguan melanda langit Indonesia. Kabar yang beredar cenderung sumir dan kehilangan arah. Konon katanya, hadirnya Kurikulum Merdeka Belajar membuat pramuka tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib. Episode ini tentu membuat gelisah, apalagi jika kita mencermati Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Program P5 dalam Kurikulum Merdeka Belajar memandang pramuka bukan lagi bagian wajib bagi siswa. Menurut saya, cara menerjemahkan program tersebut tidak jelas dan tidak mempunyai dasar yang kuat. Terutama ketika menghubungkannya dengan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib.
Baca halaman selanjutnya: Dua hal yang sebetulnya berbeda…