Kurama sudah mati. Kini pertanyaannya tinggal satu: Naruto kapan?
Dalam dunia perwibuan, pembunuhan karakter bukanlah sesuatu yang bakal disambut dengan tangan terbuka oleh penggemar. Yang saya maksud, tentu saja, bukanlah dalih para pejabat jika sedang terbentur kritik. Maksud saya adalah pembunuhan yang sebenar-benarnya, literal: darah, nafas melemah, dan kata-kata perpisahan yang manis.
Contoh yang paling saya ingat adalah ketika saya menikmati serial Gundam: Seed Destiny yang dulu tayang setiap Minggu pukul setengah enam pagi di Indosiar. Penggemar dibuat terkejut dengan keputusan Studio Sunrise untuk meledakkan ZGMF-X10A Freedom Gundam bersama dengan Kira Yamato di kokpitnya. Para penggemar Kira juga ikut-ikutan meledak sebagai simbol belasungkawa.
Singkat cerita, karena tidak kuat menangani tekanan publik, naskah Gundam: Seed Destiny direvisi. Tidak cukup dengan gagal mati, peran protagonis yang semula diemban oleh Shinn Asuka, selanjutnya digondol juga sama Kira Yamato. Kalau Anda tidak sengaja menemukan meme God-Kira di internet, ya itulah yang jadi penyebabnya.
Dalam urusan membabat tokoh anime sampai tidak tersisa barang sebatang tulang pun, Studio Sunrise semestinya belajar dari Koyoharu Gotoge, pengarang Kimetsu no Yaiba. Spoiler alert, caranya membunuh Shinobu Kocho itu pintar sekali. Tensi dinaikkan dan fokus cerita berpindah-pindah: pertarungan tidak hanya berpusat pada tokoh ara-ara yang satu ini. Kematiannya tidak diletakkan di puncak konflik tapi ditaruh di bagian awal sehingga penggemar dibuat lebih ke arah penasaran ketimbang mempedulikan kematian Shinobu. Selain itu, Gotoge-sensei juga biasa membunuh lebih dari satu karakter dalam sekali waktu.
Kesulitan untuk membunuh karakter anime tidak hanya datang dari penggemar, tapi juga bisa datang dari “atasan”. Pengarang gim Fate/Grand Order, Nasu Kinoko, pernah bercerita kalau butuh waktu enam bulan untuk meyakinkan produsernya agar diizinkan membunuh salah satu karakter favorit, Musashi Miyamoto.
Produser FGO merasa karakter Musashi masih punya nilai jual yang sangat tinggi sehingga membunuhnya dianggap sebagai keputusan yang kontraproduktif dari sudut pandang bisnis. Namun, Kinoko-sensei kekeuh pada pendiriannya karena menurutnya itu adalah satu-satunya cara untuk menggerakkan cerita Fate/Grand Order.
Sebagai wibu, kematian karakter favorit memang meninggalkan rasa trauma tersendiri pada diri saya. Pengalaman patah hati ditinggal mati sama Yuzuriha Inori (Guilty Crown) bikin saya rajin mengecek kolom status di laman wiki karena takut terjadi apa-apa sama waifu baru saya, Vladilena Milize dari serial Eighty Six.
Akan tetapi, ini adalah sebuah dilema. Jika di sisi lain saya nggak pengen karakter tercinta saya mati, saya juga paham bahwa kadang membunuh karakter adalah satu-satunya cara agar cerita bisa maju. Kematian tokoh bisa menggenjot motif tokoh utama, bisa memutarbalikkan keberpihakan tokoh-tokoh lain, dan bisa mengubah tokoh “The Chosen One” jadi Darth Vader.
Selain itu, tokoh-tokoh sampingan, jika terlalu bersinar justu berpotensi membuat tokoh utamanya meredup. Ehm, benar sekali, saya sedang menyindir Boruto. Meskipun saya ogah Naruto dan atau Sasuke modar, namun selama masih berjalan di bawah bayang-bayang bapaknya, bocil milenial asal Konoha itu saya yakin nggak akan kemana-mana.
Keputusan membunuh Kurama merupakan opsi yang paling “aman” bagi Ukyo Kodachi dan kolega. Dengan melemahnya kekuatan Naruto karena ditinggal Kurama, Boruto akan dipaksa untuk menyelesaikan konflik tanpa intervensi bapaknya lagi. Akan tetapi, pertanyaannya: Apakah Naruto dicintai fans karena ada Kurama di dalam tubuhnya? Apakah membunuh Kurama sudah cukup untuk menghapus pesona Naruto? Saya pikir Anda tahu jawabannya.
Oh iya, turut berduka cita sama Sasuke yang baru kehilangan Rinnegan-nya.
Sumber gambar: Akun Twitter @Maki123Hakdog