4 Kuliner Khas Semarang yang Bikin Warga Lokal Angkat Tangan, Hanya Cocok untuk Wisatawan  

4 Kuliner Khas Semarang yang Bikin Warga Lokal Angkat Tangan, Hanya Cocok untuk Wisatawan  

4 Kuliner Khas Semarang yang Bikin Warga Lokal Angkat Tangan, Hanya Cocok untuk Wisatawan (unsplash.com)

Tak bisa ditampik, Semarang itu surganya para penjelajah kuliner. Dari lumpia, bandeng presto, sampai wingko babat, semua sukses bikin ketagihan dan kangen kalau sudah jauh dari kota dengan ikon Lawang Sewu ini. Pokoknya agenda utama kalau mampir Semarang pasti tak akan jauh dari mencicip segala panganan khas yang dijajakan.

Namun di balik deretan menu favorit yang selalu jadi incaran para pelancong tadi, ada sederet hidangan yang bikin warga lokal angkat tangan. Sebagai salah satu orang yang sudah puluhan tahun berdiam di Semarang, jujur saja, memang ada beberapa kuliner yang buat saya tidak perlu sering-sering disantap. Ini bukan soal rasa atau tidak bangga atas kekayaan kuliner sendiri. Tetapi memang terselip alasan tersembunyi yang mungkin tidak akan dipahami para wisatawan.

#1 Tahu pong enak, sih, tapi kalau niatnya jadi teman makan nasi bakalan gigit jari

Saya akui, gorengan tahu yang garing di luar dengan sensasi gurih dan asin ini memang lezat. Nggak heran, banyak turis yang kepincut membawa jajanan ini pulang untuk buah tangan. Namun, bagi warga Semarang sendiri, tahu pong bukan kuliner yang akan dikonsumsi setiap hari.

Pasalnya, kalau mau hitung-hitungan rupiah, kami akan merasa rugi. Tahu kopong atau kosong ini lebih pas buat ngemil sore-sore sambil nyeruput teh atau kopi. Makanya kalau mau menyumpal perut, warga lokal lebih memilih tahu padat biasa yang dinikmati bersama nasi. Kalaupun tidak, membeli tahu gimbal sekalian akan lebih mengenyangkan dan sepadan.

Baca halaman selanjutnya: Wedang ronde cuma cocok dinikmati kalau…

#2 Wedang ronde kuliner asli Semarang cuma cocok dinikmati kalau badan lagi nggak sehat

Bukannya nggak enak, tapi menurut saya, wedang ronde yang dijual di Semarang sepertinya memang dibuat khusus untuk momen tertentu. Saat meriang, misalnya. Sebab, unsur jahenya terlalu kuat. Kadang malah menyisakan rasa kurang nyegrak di tenggorokan setelahnya.

Sensasi hangat dari jahenya yang kuat tersebut memang ampuh untuk menghalau masuk angin atau sekadar menghangatkan badan. Sayangnya, kalau niatnya cuma cari minuman rekreasional di malam hari, kuliner khas Semarang ini jauh dari kata rileks. Kalau mau kuliner serupa yang lebih bersahabat, Wedang Ronde ala Jogja yang lebih light atau yang diberi campuran santan akan terasa lebih nyaman.

#3 Bandeng presto ini lauknya sultan, kaum mendang-mending pilih lauk lain untuk makan

Saking lezatnya, banyak yang merekomendasikan bandeng presto sebagai oleh-oleh kalau ke Kota Atlas. Namun kalau bertanya pada warga lokal, terutama kaum mendang-mending seperti saya, bandeng presto itu makanan mewah yang hanya sesuai untuk sultan. Alasannya jelas, harganya benar-benar menguras kantong.

Bandeng presto itu cukup dinikmati saat ada acara spesial saja. Kalau buat makan sehari-hari, warga lokal pasti berpikir dua kali. Toh, masih banyak ikan lain yang juga enak dan nggak kalah bergizi. Beda cerita dengan wisatawan yang tujuannya memang ke Semarang buat menghamburkan uang.

#4 Lumpia, kuliner Semarang istimewa, tapi cukup sesekali mencoba

Hampir semua wisatawan pasti mengincar lumpia bila mengunjungi Semarang. Betul, rasa lumpia yang autentik itu juara, apalagi lumpia goreng yang baru diangkat dari minyak panas. Kulitnya renyah dan harumnya menggoda. Sialnya, lumpia ini setali tiga uang dengan bandeng presto. Harganya termasuk mahal. Apalagi untuk ukuran camilan.

Makanya, jangan heran kalau kuliner Semarang satu ini umumnya cuma dijadikan sajian sewaktu ada tamu khusus yang dihormati tuan rumah. Kalau buat konsumsi sehari-hari, sudah tentu ditolak mentah-mentah oleh warga lokal. Misal pun ingin sekali mencicip, warga biasanya lebih memilih lumpia street food yang harganya tidak mencekik. Cita rasa mungkin berbeda, tetapi keamanan isi rekening jelas terjaga.

Begitulah, Semarang memang kota kuliner yang kaya raya. Ada yang jadi primadona sampai bikin wisatawan rela antre panjang, ada juga yang bikin warga lokal harus puas dengan sekali coba. Soalnya ujung-ujungnya eksplorasi kuliner itu perkara petualangan rasa.

Kalau lagi jadi wisatawan, memanjakan lidah itu suatu kewajiban. Sebaliknya, kalau sudah jadi warga lokal, ada banyak pertimbangan lain yang mesti dipikirkan. Termasuk soal tagihan bulanan.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Kuliner Semarang yang Sebaiknya Jangan Dibawa Pulang, Lebih Nikmat Disantap di Tempat.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version