Saya biasanya memulai pagi hari dengan berselancar di kanal Terminal Mojok. Membaca artikel ringan sambil menyeruput air hangat. Artikel di terminal Mojok adalah bagian dari pemanasan sekaligus selingan. Sebagai mahasiswa S2, otak saya perlu selingan dari rutinitas harian yang menjemukan. Otak saya perlu jeda dari jurnal ilmiah yang bikin pening, berita yang bikin overthinking, hingga novel yang bikin terjebak dalam dunia fantasi.
Dalam mode berselancar itu, saya menemukan satu tulisan yang membuat saya tersenyum kecut. Sebuah tulisan dari Mas Naufalul Ihya Ulumuddin yang menulis artikel tentang S2 dengan judul Kuliah S2 Beda dengan S1, Mahasiswa Jangan Kebanyakan Caper, Sudah Bukan Umur dan Tempatnya.
Setelah membaca tulisan tersebut, saya menyimpulkan bahwa beliau menulis dengan perspektif yang menyisakan celah. Maka dari itu, tulisan ini akan menguraikan bahwa menjadi caper ketika S2 itu wajib karena ada urgensinya. Saya bedah satu per satu ya.
Tidak ada pertanyaan yang receh
Pertama, tulisan itu, mempersoalkan perilaku caper melalui pertanyaan receh yang mengganggu. Pertanyaan receh yang dimaksud adalah materi atau hal-hal yang sebenarnya bisa dicari jawabannya sendiri. Ayolah, sereceh apapun itu, seorang S2 itu pemikir dan eksekutor, dan ruang kelas adalah sarana berdialektika dan berdebat.
Kita memang bisa mencari jawabannya sendiri. Bahkan, serumit apapun pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab tidak lebih dari semenit oleh AI macam ChatGpt. Tapi, kalau logikanya seperti itu, untuk apa S2? Mending uangnya buat kebutuhan yang lain kan?
Pertanyaan receh itu justru bisa jadi pemicu jawaban di luar konsensus pada umumnya, baik dari dosen sendiri atau bahkan dari sesama mahasiswa. Jadi seseorang bisa menemukan jawaban dari beragam perspektif dari satu pertanyaan receh.
Penting untuk diketahui, pembelajaran di pascasarjana itu dialog, bukan ceramah satu arah. Berangkat dari pertanyaan receh, bisa jadi memicu diskusi kritis sehingga mendorong kedalaman materi. Kelas S2 yang “sepi” justru merugikan semua, sebab “caper yang tepat” menaikkan mutu kelas.
Tapi keinginan seperti itu nggak akan dipikirkan sih bagi mereka yang kuliah S2-nya sekedar legitimasi gelar melalui ijazah. Pulang telat dikit karena ada temen yang nanya aja udah protes.
Baca halaman selanjutnya: Kuliah S2 memang …
Kuliah S2 memang sebaiknya tidak berorientasi pada nilai saja
Kemudian kedua, perkara kontribusi keaktifan terhadap proporsi nilai. Dalam tulisan tersebut dijelaskan kalau caper di kelas itu nggak perlu karena nggak punya bobot signifikan untuk nilai akhir. Aduh, yakin ini mahasiswa S2 punya pikiran polos kuliah untuk sekadar mengejar nilai? Kuliah yang berorientasi pada nilai seperti ini mencerminkan pola pikir mahasiswa S1. Sebaliknya, S2 itu bukan lagi ngejar nilai, tapi lebih dari itu. Tentang pola pikir, keilmuan, relasi, dan kesempatan luas lainnya.
Lagi pula, logikanya begini, kalau nggak berpengaruh signifikan ke nilai, justru bagus dong. Seseorang bisa mengeksplore dan bisa caper dengan model apapun selama itu berkaitan dengan perkuliahan. Kan nggak perlu khawatir dapat penilaian buruk. Lah wong nggak punya bobot yang signifikan terhadap nilai akhir kan?
Lebih dari itu, caper di kelas menurut saya adalah sarana untuk investasi reputasi dan koneksi. Sebab, S2 itu pasar reputasi, bukan sekadar nilai. Nilai mungkin bisa sama-sama A, tapi reputasi dan visibilitas. Dua hal ini membuat seseorang dipandang berbeda sehingga punya kesempatan dilirik pihak lain. Misal, diajak kolaborasi penelitian oleh dosen, dapat rekomendasi dana hibah penelitian dari pihak jurusan, diajak kerja sama conference atau diajak membangun bisnis oleh teman sekelas.
Nah, caper adalah salah satu caranya. Bayangkan kalau kamu hanya jadi kupu-kupu di kelas? Aduh kesempatan seperti itu sulit didapatkan. Dosen atau teman hanya mendekat ke orang yang “kelihatan”, bukan mereka yang diam sok cool di dalam kelas.
Di sisi lain, rekan-rekan di S2 itu nggak jarang berlatar belakang orang penting. Minimal, orang-orang yang punya koneksi ke pihak-pihak penting yang nggak kita duga. Boleh jadi karena sering kelihatan di kelas, kalian bisa mendapat kesempatan emas.
Tidak ada yang salah dengan latar belakang aktivis
Kemudian soal caper sok aktivis, saya rasa tulisannya terlalu tendensius menyindir personal. Setiap orang punya hak menyuarakan keresahan, mengajak yang lain berpartisipasi, atau menginisiasi gerakan. Ekosistem S2 itu berisi orang dari berbagai latar belakang. Ada yang latar belakangnya dari lembaga sosial, NGO, dan profesional. Kalau ada yang menggebu-gebu, bisa jadi datang dari orang-orang yang dulunya di NGO. Kita hormatilah.
Jangan kemudian sikap aktiivitis itu dipandang tak perlu di kehidupan S2 hanya karena satu orang bertingkah terlalu berlebihan.
Akhir kata saya ingin bilang begini, kesempatan bisa datang lewat banyak jalur. Dengan caper yang strategis, pintu peluang bisa terbuka. Yang tak kalah penting, caper membuat ekosistem pascasarjana tetap hidup, sebab diwarnai diskusi dan dialektika. Tinggal diarahkan saja, caper yang terukur, konkret, dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk kelas.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Dosa Jurusan Pendidikan yang Membuat Hidup Mahasiswanya Menderita.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
