Kuliah magister bagi sebagian orang menjadi sebuah impian. Dari beberapa kawan yang saya tanyakan tentang alasannya melanjutkan studi magister, setidaknya ada tiga faktor yang menjadikannya melanjutkan studi magister. Yakni, untuk menambah pengetahuan, menjadi alternatif mengisi kekosongan setelah lulus sarjana akibat belum mendapatkan pekerjaan, dan dorongan dari orang tua.
Meski kuliah magister menjadi impian bagi banyak orang, tetapi tidak selamanya kuliah magister itu indah. Kalian harus paham bahwa kuliah magister tidak seindah dengan kuliah sarjana. Dari pengalaman pribadi, justru kuliah magister jauh dari kata romantis. Malah sebaliknya, kuliah magister membuat kita harus rela lebih meluangkan waktu istirahat dan bermain. Sebab, kemandirian menjadi hal utama.
Mandiri adalah kunci
Jika di jenjang sarjana, dosen masih memberikan pengetahuan dengan mendalam. Tetapi, saat jenjang magister, dosen tidak akan memberikan pengetahuan secara implisit. Saya merasakan perbedaannya dengan membandingkan mata kuliah teori sosiologi saat di sarjana dan magister. Saat di sarjana, dosen akan membedah satu konsep teori hingga ke akar-akarnya. Dan terkadang akan melanjutkannya pada pertemuan selanjutnya.
Sedangkan saat di magister, dosen tidak menerangkan teori sampai ke akarnya, melainkan sekadar pengantar saja. Itu sebabnya, mahasiswa memang dituntut untuk bisa belajar secara mandiri.
Maka, hal utama yang diperhatikan saat mau melanjutkan kuliah magister adalah kesiapan diri untuk mau belajar secara mandiri. Yakni, dengan konsisten membaca berbagai referensi yang menunjang pengetahuan. Jika merasa tidak mampu membangun konsistensi belajar secara mandiri, sudah barang tentu hanya akan sia-sia melanjutkan kuliah magister.
Solidaritasnya nggak sekental sarjana
“Walau dosen menuntut untuk tidak bergantung padanya, kan masih bisa bergantung kepada teman?” tanya teman saya. Seketika saya tertawa. Mengingat, kondisi pertemanan di magister, tidak seindah saat di sarjana. Tingkat solidaritas dan kepedulian pertemanan masih tinggi di jenjang sarjana daripada di magister.
Rendahnya solidaritas dan kepedulian pertemanan di jenjang magister bisa terjadi akibat masing-masing individu sudah punya kesibukan sendiri. Orang yang berkuliah di magister tidak seperti anak sarjana yang mayoritas baru saja lulus SMA. Kalau di magister, sudah ada yang bekerja, menikah, dan memiliki anak. Jadi, mereka sudah punya kesibukan sendiri, sehingga tidak akan mungkin memikirkan kondisi temannya secara penuh.
Meski pertemanan di magister tidak terlalu solid, tetap masih ada proses bertukar cerita dan canda tawa dengan teman. Tetapi, perihal masalah akademik berupa tugas mata kuliah, ujian, dan tesis, semuanya kembali lagi pada diri sendiri untuk belajar dan berjuang secara mandiri.
Jadi memang mau tidak mau, pada dasarnya hal yang esensial sebelum melanjutkan magister adalah mempersiapkan mental untuk mandiri. Selain mempersiapkan mental untuk mandiri, hal lainnya yang patut dipersiapkan adalah menentukan tujuan melanjutkan magister.
Tujuan utama kuliah magister harus jelas
Setidaknya, ada dua tujuan utama seseorang melanjutkan magister, yakni memperdalam keilmuannya atau mencari pengetahuan baru. Kalau mau memperdalam keilmuan, maka lebih baik untuk meneruskan orientasi keilmuan pada saat sarjana. Jadi, kalau di jenjang sarjana mengambil keilmuan sosiologi, maka di magister juga mengambil sosiologi.
Beda lagi kalau tujuannya untuk mencari pengetahuan baru, bisa mengambil keilmuan berbeda dari sarjana. Meski demikian, pengambilannya tetap pada satu rumpun, jika di sarjana rumpun sosial humaniora, di magister juga mengambil keilmuan rumpun sosial humaniora. Jangan sekali-kali mengambil rumpun saintek, lantaran paradigma keilmuannya sudah berbeda. Bisa-bisa bukan mendapatkan ilmu baru, melainkan kepala menjadi pusing tidak karuan.
Dan yang terpenting, saat menentukan tujuan kuliah magister adalah jangan terpengaruh dari orang lain. Biarkan diri sendiri yang memutuskan tujuannya. Sebab, yang menjalankan kuliah ialah diri sendiri, bukan orang lain. Bisa-bisa kalau mengikuti omongan orang lain, dan tidak sesuai dengan keinginan, akan menyebabkan rasa tidak nyaman saat berkuliah.
Rasa tidak nyaman saat berkuliah akan menyebabkan tidak betah nantinya, hingga menyebabkan keputusan untuk tidak melanjutkan kuliah di tengah jalan. Saya teringat dengan teman bermain yang melanjutkan magister karena mengikuti perkataan temannya untuk mencari ilmu baru saja. Sehingga, teman saya memilih keilmuan berbeda di magister dengan keilmuannya saat di sarjana. Alhasil, dirinya sukar menerima materi kuliah, sehingga tidak betah dan keluar.
Dan kita akan bicarain hal paling esensial: biaya.
Biayanya nggak ngotak