Kukusan bambu makin ditinggalkan seiring waktu. Padahal, ia punya keunggulan tersendiri yang tak main-main
Sebagai orang yang tinggal di pelosok desa di Gunungkidul, sejak kecil saya sudah terbiasa mengonsumsi nasi tiwul. Makanan khas tanah kelahiran saya itu, berbahan dasar gaplek (singkong kering) yang ditumbuk hingga menjadi glepung (tepung). Nantinya, tepung singkong itu akan dicampur dengan sedikit air, lalu diuleni di atas tampah hingga berbentuk butiran seperti beras.
Setelah berbentuk butiran kecil-kecil, tiwul akan dikukus menggunakan kukusan bambu hingga matang. Kukusan bambu sendiri merupakan alat dapur tradisional berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu. Biasanya, kukusan akan diletakkan di atas dandang berisi air yang mendidih, kemudian atasnya akan ditutup dengan kekep (tutup terbuat dari tanah liat).
Selain untuk memasak atau mengukus tiwul dan nasi putih, dulunya kukusan juga biasa digunakan untuk menanak makanan tradisional seperti ketela rambat, singkong, dan jenis umbi-umbian lainnya.
Seiring berjalannya waktu, kini penggunaan kukusan semakin jarang ditemukan. Umumnya, masyarakat di desa saya menggunakan alat dapur tradisional ini untuk mengukus nasi pada acara-acara tertentu saja, seperti pesta pernikahan, mitoni, sunatan, dan acara hajatan lainnya.
Saat ini, mayoritas masyarakat di desa saya, Gunungkidul, lebih memilih menggunakan magic com atau rice cooker. Sementara, untuk mengukus makanan seperti nasi tiwul, nasi putih, singkong, dan lainnya, menggunakan panci soblok. Jenis panci ini lebih dipilih oleh masyarakat karena dinilai lebih praktis dan barangnya mudah ditemukan di pasaran.
Banyaknya produk peralatan dapur modern di pasaran, pengrajin kukusan bambu pun semakin langka. Di desa saya sendiri, hanya ada satu orang yang menekuni profesi ini, Partiyem (51). Warga Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Gunungkidul itu, sehari-hari membuat kerajinan kukusan bambu di rumahnya.
Perempuan yang akrab disapa Bu Parti ini, sudah menekuni profesinya sejak 1996. Biasanya, Bu Parti hanya akan membuat kukusan jika ada orang yang memesan saja. Adapun harga kukusan akan disesuaikan dengan jenis dan ukurannya. Untuk ukuran kecil biasanya dihargai Rp3.000, sementara untuk ukuran besar berkisar Rp7.000-Rp25.000 per biji.
“Nek riyen katah tiang mendet terus disade teng peken. Nek sak niki damel kukusan nek wonten tiyang pesan mawon, kados nek onten tangga tiyang ajeng hajatan niku, kadang nggih suk pesen mriki (Kalau dulu banyak yang ngambil terus dijual di pasar. Sekarang, bikin kukusan cuma kalau ada orang pesan saja, seperti jika ada tetangga yang mau hajatan biasanya pesan di sini,” tutur Bu Parti.
Bu Parti mengakui, bahwa permintaan kukusan bambu semakin hari semakin menurun. Selain maraknya pengukus modern yang mudah ditemukan di pasaran, saat ini warga yang menggunakan kukusan bambu juga semakin berkurang. Hal ini yang kemudian membuat permintaan kerajinannya juga semakin menurun.
Kukusan untuk kesehatan
Di desa saya sendiri penggunaan kukusan bambu untuk memasak sehari-hari, memang sudah jarang. Meski begitu, ada salah seorang tetangga yang masih tetap menggunakannya, Sami (68). Menurut perempuan yang akrab disapa Mbok Sami itu, memasak nasi putih atau tiwul menggunakan kukusan bambu akan menghasilkan nasi lebih pulen dan mekar.
“Yo, nek misale masak sega nganggo kukusan bambu ki, sing jelas sega luwih awet karo ambune seger wangi, Mas (Ya, misalnya memasak nasi pakai kukusan bambu itu, yang jelas nasi lebih awet dan aromanya harum, Mas),” tutur Mbok Sami.
Mbok Sami juga tidak menampik bahwa warga sekitar sudah jarang memasak nasi menggunakan kukusan karena sudah ada peralatan dapur yang lebih modern dan praktis. Menurutnya, menanak nasi menggunakan peralatan modern, seperti rice cooker, prosesnya lebih cepat dan praktis. Hal ini yang kemudian membuat kukusan hanya digunakan saat acara-acara tertentu.
“Saiki kukusan mbok menawi wis kuno to, Mas, lha wong wis ono magic com sing luwih cepet masake. Nek aku milih tetep nganggo kukusan mergo isih suk masak tiwul, terus segane luwih pulen, terus jare luwih sehat (Sekarang, mungkin kukusan sudah dianggap ketinggalan zaman, Mas, sudah ada magic com yang lebih cepat proses memasaknya. Kalau saya tetap menggunakan kukusan karena masih sering memasak nasi tiwul, nasi lebih pulen, terus katanya lebih sehat,” tutur Mbok Sami.
Apa yang disampaikan Mbok Sami tersebut memang benar adanya. Menanak nasi menggunakan kukusan memang dinilai lebih sehat dibandingkan dengan memasak menggunakan rice cooker. Pasalnya, nasi yang dimasak menggunakan kukusan memiliki kadar gula lebih rendah dibandingkan dengan rice cooker.
Dikutip dari Jurnal Bidan Komunitas, pengolahan beras menjadi nasi sebelum dikonsumsi dapat memengaruhi karakteristik yang dimasak. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan menemukan bahwa nasi yang dimasak menggunakan kukusan bambu, akan menghilangkan racun kimia yang terkandung dalam pestisida dan pupuk urea sehingga jauh lebih aman dikonsumsi.
Mengingat nasi yang dimasak menggunakan kukusan bambu lebih rendah kadar gula di dalamnya, tentu ini sangat baik dikonsumsi para penderita diabetes melitus. Selain itu, kukusan ini juga berfungsi sebagai penyaring agar nasi matangnya merata, tidak gosong, dan tidak menjadi intip (kerak). Berbeda dengan memasak nasi yang menggunakan panci, biasanya akan meninggalkan kerak di bawahnya.
Kukusan bambu yang semakin terpinggirkan
Kukusan bambu menjadi salah satu alat dapur konvensional yang sudah ada sejak zaman dahulu. Konon, alat masak yang mirip topi penyihir ini dulunya ditemukan oleh nenek moyang saat melakukan perjalanan melewati hutan rimba. Agar kebutuhan para pejalan terpenuhi, mereka kerap memanfaatkan kekayaan alam yang ada di sekitarnya, salah satunya pohon bambu.
Melihat banyaknya bambu di sekitar, kemudian para pejalan berinisiatif untuk membuat alat masak menggunakan anyaman bambu, yang kini dikenal dengan nama kukusan. Konon, pada zaman dahulu alat ini digunakan untuk mengukus berbagai bahan makanan, seperti singkong, ubi jalar, dan umbi-umbi lainnya.
Tidak hanya sarat akan nilai-nilai sejarah, kukusan bambu juga memiliki makna dan filosofi yang cukup mendalam. Menurut sesepuh di desa saya, Arjo Suroto (67), nasi sendiri diibaratkan gejolak jiwa atau perasaan manusia. Jika gejolak jiwa tidak dikontrol akan meluap dan memunculkan sikap berlebihan yang tidak baik.
Pria yang akrab disapa Mbah Arjo itu menambahkan, bahwa rongga-rongga yang ada pada kukusan diasumsikan sebagai penyaring atau filter nafsu manusia. Apabila nafsu ini tidak dikontrol dan dikelola dengan baik, akan menimbulkan angkara murka. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran agama mana saja, di mana setiap manusia harus memiliki sikap kontrol diri atau yang dalam agama Islam disebut mujahadah an nafs.
Sayangnya, kini masyarakat di pedesaan sudah mulai meninggalkan peralatan dapur tradisional dan menggantinya dengan alat-alat yang modern. Padahal, kukusan bambu merupakan peninggalan nenek moyang yang harus tetap dijaga kelestariannya.
Tidak hanya sarat akan nilai-nilai sejarah, tradisi dan budaya, serta baik untuk kesehatan, kukusan bambu juga memiliki nilai ekonomis bagi para pengrajin bambu. Untuk itu, sudah seyogyanya semua lapisan masyarakat, terutama pihak-pihak terkait, untuk selalu mengampanyekan penggunaan kukusan yang kian terpinggirkan ini.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Plang Tempik Gundul dan Salah Kaprah Lainnya tentang Gunungkidul