Kue pancong lumer adalah salah satu makanan yang sedang populer di daerah saya, Kediri. Panganan ini sebenarnya inovasi variasi dari kue pancong, jajanan khas dari Betawi. Namun, variasi yang tengah viral di media sosial itu nyatanya menyalahi kodrat kue pancong pada umumnya.
Sebelum mencicipi kue pancong lumer, saya sempatkan untuk melakukan riset kecil-kecilan seputar kue pancong. Maklum saja, bagi saya yang orang desa, saya lebih akrab dengan jajanan pasar seperti nagasari, kue lapis, kue apem. Kue pancong hanya pernah saya lihat di media sosial.
Berdasar artikel yang saya baca, kue pancong adalah kue khas Betawi dengan bahan dasar tepung beras, tepung terigu, dan parutan kelapa. Seketika saya membayangkan kue pancong lumer yang dijual di Kediri tidak akan jauh-jauh dari deskripsi itu. Saya sudah membayangkan aroma kelapa gurih yang menusuk hidung.
Kue pancong lumer krisis identitas
Ketika bertandang ke kios kue pancong lumer, ekspektasi saya langsung menguap entah kemana. Hidung saya sama sekali tidak membau aroma kelapa. Seketika saya tahu saya keliru besar. Ternyata kue pancong dan kue pancong lumer berbeda. Alih-alih memiliki rasa kelapa yang kuat seperti kue pancong khas Betawi (yang juga disebut rangin/bandros di beberapa daerah), pancong lumer justru lebih mirip pukis, baik dari segi rasa maupun aroma ketika dimasak.
Memang, inovasi kue pancong lumer tidaklah salah. Saya yang ekspektasinya berlebihan. Saya kira inovasi baru sebuah kuliner berarti mempertahankan ciri khas makanan sambil dipadukan dengan hal baru dari sisi bentuk, bahan, maupun topping. Hanya saja, pada kejadian ini saya merasa sedikit tertipu. Panganan yang saya beli lebih cocok disebut pukis lumer daripada kue pancong lumer.
Makanan yang sangat manis
Dinilai dari segi rasa, kue pancong lumer sebenarnya tidak buruk. Fla yang ditawarkan memperkaya rasa dari jajanan itu. Kalua boleh meminjam kata andalan dari para influencer, “toppingnya nggak pelit”.
Akan tetapi, dibalik kenikmatan kue ini, saya bisa menduga kalau kandungan gulanya sangat tinggi. Bayangkan saja adonan dasar pacong lumer sudah manis, Lalu, setelah diangkat dari cetakan, kue tersebut masih ditambahkan susu kental manis. Terakhir, kue diberi fla yang manisnya minta ampun.
Dari rasa saya memang nggak ada masalah, hanya saja dari teksturnya terlalu lumer. Memang sih tekstur tersebut dibuat sesuai dengan namanya. Namun, bukan berarti dibuat tekstur lumer yang nggak nyaman ketika dimakan kan? Saran saya, kalau kalian pesan kue ini, lebih baik dibuat sedikit lebih matang dari yang biasa disajikan.
Harga yang menguras kantong
Harga pancong lumer bisa melambung hingga Rp8.000 per biji untuk variasi topping yang paling murah dan sederhana, meses. Itu sudah tergolong mahal karena harga kue orisinil hanya Rp2.000-Rp5.000, itupun sudah dapat 3 biji. Harga tersebut bisa berbeda ketika kita memilih ukuran jumbo, bisa naik Rp15.000-Rp17.000 satuannya. Bagi mahasiswa berkantong cekak, duit segitu lebih mending buat beli nasi yang bikin kenyang daripada buat beli pancong lumer yang hanya lewat kerongkongan.
Kue pancong lumer memang inovasi kuliner yang menarik. Rasanya pun enak. Saya hanya menyayangkan inovasi ini tidak mempertahankan ciri khas utama kue pancong. Selain itu, inovasi ini saya rasa tidak cocok diterapkan di berbagai daerah karena harganya yang cukup mahal. Setidaknya cukup menguras kantong untuk mahasiswa di Kediri seperti saya.
Penulis: Finaqurrota
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Geblek Kuliner Khas Kulon Progo yang Murah Meriah, Harganya Ada yang Cuma 100 Perak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.