Kue kembang waru bisa jadi oleh-oleh khas Jogja menggeser bakpia yang mulai ngaco.
Bakpia sudah menjadi top mind oleh-oleh khas Jogja. Nggak heran banyak sekali toko bakpia yang ada di Jogja. Saking banyaknya merek bakpia di pasaran, wisatawan terkadang dibuat bingung dengan bakpia yang paling orisinil dan paling enak. Nggak sedikit wisatawan yang malah membeli bakpia yang “ngaco” atau bakpia yang keluar dari pakemnya.
Asal tahu saja, di balik kepopulerannya, bakpia memang punya sisi-sisi lain yang patut diwaspadai oleh pembeli. Saya pernah menuliskannya di Sisi Gelap Bakpia Jogja yang Bikin Orang Mikir Dua Kali Sebelum Beli. Itu mengapa, di tulisan ini saya coba tawarkan alternatif oleh-oleh khas Jogja selain bakpia yakni kue kembang waru. Secara popularitas kue ini memang jauh di bawah bakpia. Namun, panganan ini nggak kalah autentik dibanding bakpia.
Daftar Isi
Kue kembang waru yang hampir punah
Anak muda Jogja kemungkinan besar nggak kenal kue ini. Beda cerita dengan mereka yang sudah berumur, saya yakin mereka akan bernostalgia ketika nama panganan ini disebutkan. Kue kembang waru yang berasal dari Kotagede adalah panganan khas yang hampir punah. Itu mengapa banyak orang Jogja sendiri yang nggak tahu panganan yang sudah ada dari masa Kesultanan Mataram Islam ini.
Bagi yang nggak tahu, kembang waru adalah bunga dari pohon waru. Secara bentuk, kue ini memang mirip sama bunga waru yang sedang merekah dengan warna coklat kemerahan. Kenapa bunga waru karena bentuknya lebih mudah dibuat daripada bunga yang lain. Tekstur kuenya sendiri lembut dan manis mirip bolu, jadi cocok banget untuk teman ngopi atau ngeteh di pagi dan sore.
Bahan pembuatannya sederhana saja, terdiri dari tepung terigu, gula, telur, dan susu. Kemudian dicetak pakai cetakan dari logam berbentuk bunga. Proses bikinnya sendiri masih manual dan dipanggang pakai oven yang juga sederhana. Kue ini jadi terlihat simple tapi sangat nikmat.
Terinpirasi dari pohon
Selain rasanya yang enak, kue ini ternyata punya sejarah yang panjang. Sebenarnya nggak diketahui siapa persisnya yang pertama bikin kue ini. Hanya saja soal asal-usul bentuknya, panganan ini terinspirasi dari pohon-pohon yang ada di sekitar Kraton Kotagede. Salah satu pohon yang ada di sana adalah pohon waru yang bentuk daunnya seperti sekop di permainan kartu itu. Pohon tersebut punya bunga yang berwarna coklat kemerahan, maka dibuatlah kue yang terinspirasi dari bunga waru dengan bentuk bulat dengan delapan kelopak. Dulunya kue ini jadi salah satu hidangan favorit di hajatan atau acara adat.
Bentuknya dengan delapan kelopak ini nggak dibuat tanpa alasan. Jogja dan jawa selalu menyisipkan nilai dalam berbagai hal termasuk di kue ini. Delapan kelopak bermakna delapan konsep asta brata yaitu konsep laku kepemimpinan yang merupakan personifikasi dari delapan elemen alam yaitu tanah, air, angin, api, matahari, bulan, bintang, dan langit. Jika seseorang pemimpin dapat menerapkan delapan laku tersebut, maka dia akan menjadi pemimpin yang berwibawa dan dapat mengayomi rakyatnya.
Panganan yang kaya nilai sejarah dan moral
Makan kue ini nggak hanya bisa memanjakan lidah dan bikin perut kenyang, tapi juga dapat belajar dan tahu dengan nilai yang rasanya sangat dibutuhkan sama pemimpin-pemimpin kita sekarang. Tahu sendiri sekarang kriteria jadi pemimpin agak ngaco. Modal terkenal aja bisa dicalonkan jadi kepala daerah, padahal nggak punya cukup bekal buat mimpin dan nggak punya laku kepemimpinan astabrata ini blas.
Kalau ke Jogja bisa banget beli kue kembang waru buat oleh-oleh. Kue jadul ini bahkan sudah mulai dijual bahkan sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Biasanya, panganan ini ada di kawasan Kotagede dan dijual secara satuan dengan harga yang terjangkau. Tapi, sekarang juga tersedia versi travel pack-nya dengan harga mulai dari 40.000 per kotak dan kayaknya sudah banyak toko oleh-oleh yang menyediakannya. Cukup terjangkau bukan? Cus beli. Hitung-hitung juga turut melestarikan kuliner Jogja legendaris yang mulai langka ini.
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Edit: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.