Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Kritik Harus Sopan Itu Aturan dari Mana?

Raihan Rizkuloh Gantiar Putra oleh Raihan Rizkuloh Gantiar Putra
17 Maret 2023
A A
Mengkritik Pemerintah Itu Mudah dan Banyak Manfaatnya

Mengkritik Pemerintah Itu Mudah dan Banyak Manfaatnya (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Mereka yang ribut soal cara penyampaian dalam kritik ya cuma raja atau Soeharto wannabe

Namanya Atep. Tanya tiap mahasiswa FIB Unpad, sebagian besar pasti mengenalnya atau paling tidak pernah mendengar sang legenda ini. Sebelum tulisan ini mengalir lebih jauh, Atep yang saya maksud bukanlah legenda Persib yang pensiun, nyaleg, dan gagal. Ini adalah Atep Sastra si pedagang yang penuh gairah hidup, punya pengaruh besar di FIB, dan digemari banyak mahasiswa (serta dosen). 

Saya tak mengenalnya secara personal, tapi dari satu obrolan saja (atau tepatnya mendengarkan dia mengobrol), saya mengira dia seperti Pak Tua yang siap menjadi kawan dan mendengarkan segala keluh kesahmu kapan pun. Hemat saya, satu alasan kenapa dia digemari adalah karena Atep tak mengambil jarak. Mahasiswa, yang berbeda puluhan tahun darinya, memanggilnya “Atep” atau “Tep” belaka, “aing” hingga “maneh” berlembing ke dirinya, kata-kata binatang diucapkan tanpa sungkan. Obrolan mengalir seperti sahabat pada umumnya, tapi tetap didasari rasa saling menghargai.

Atep tentu tak mempermasalahkan sopan santun atau ((budaya ketimuran)) ini. Ia jelas tak pernah mengontak ketua program studi mahasiswa yang bilang “maneh” pada dirinya dan berkata “Tidak pantas mahasiswa seperti itu.” Ia tak menghiraukan rambu-rambu sopan santun yang cenderung melanggengkan kultur feodal. Sederhananya, relasi yang dibangun Atep dengan mahasiswa bukanlah antara raja dan kawula, si tua dan si muda, tapi sesama manusia yang setara. 

Feodalisme yang dilanggengkan

Jelas yang dialami Ridwan Kamil adalah kebalikannya. Kang Emil melanggengkan feodalisme, kendati mempersunting diri sebagai “representasi anak muda” gaul lewat medsosnya. Mengaku ingin dekat dengan rakyat, tapi perkara kritik dengan menyebut “maneh” oleh rakyat saja tak terima. Padahal, “maneh”, selain dianggap kasar, juga menunjukkan kesetaraan (di Cirebon sendiri, “maneh” bukan termasuk bahasa yang kasar). Kalo dia marah, jelas dia tidak mau “disetarakan” dengan rakyat. Seolah ingin bilang, “Cik nyaho posisi maneh, teh!”

Suka atau tidak, apa yang dilakukan Kang Emil justru memperlebar gap antara dia dan rakyatnya sendiri. Dan sependek pemikiran saya, jika seorang pejabat sudah tak mau menganggap konstituennya itu setara dengan dirinya, lebih-lebih dalam konteks kritik, ada yang salah dari cara dia memimpin. Dia sudah tidak “mengakar” lagi. Dengan kata lain, sudah menjadi paduka raja dalam arti yang (mungkin) sebenarnya. 

Kalo kata Rocky Gerung, sopan santun itu hanya berlaku antarmanusia, bukan antar pengkritik dan yang dikritik. Maksudnya, dalam konteks politik, sopan santun itu tidak diperlukan. Kritik ya kritik saja. Masuk akal, karena dalam kritik yang penting adalah esensi yang dipermasalahkan. Soal “cara penyampaian” itu lain persoalan. Mereka yang ribut soal cara penyampaian dalam kritik ya cuma raja, atau Soeharto. 

Kritik yang sopan, “budaya” kita(?)

Barangkali benar bahwa sikap kritis tak mungkin tumbuh di kultur yang feodalistik. Ia tembok yang senantiasa dibangun terus-menerus dan disemen di mana-mana oleh wakil rakyat, oleh sistem pendidikan, birokrasi, oleh organisasi mahasiswa, dan sebagainya dan sebagainya. Ia penyakit yang menghinggapi masyarakat kita dari dulu.   

Baca Juga:

Kampus Bukan Kerajaan, Dosen Bukan Sultan, dan Mahasiswa Bukan Rakyat yang Pantas Diinjak-injak

ASN Bisa Bersuara, Bisa “Mati” Maksudnya

Kang Emil, Jokowi, dan pejabat-pejabat lainnya masih ada dalam satu tarikan napas yang sama dengan Soeharto. Mereka sama-sama memperbolehkan kritik asalkan enak didengar dan sesuai dengan “kebudayaan Indonesia”. Namun yang terjadi, kita sama-sama tahu, substansi kritiknya tak akan ditanggapi.

Lebih jauh, dalam konteks Kang Emil yang gemar betul menyematkan para pengkritiknya di kolom komentar, para pengkritiknya akan sengaja diumpankan kepada masyarakat untuk dijadikan samsak yang bisa dihajar, ditendang, dan diludahi.

Jika kebudayaan Indonesia soal kesopanan memang seperti itu, rasa-rasanya pernyataan “jika tak suka budaya di sini, silahkan cari negara lain” akan dengan senang hati saya lakukan.

Penulis: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jangan Pernah Kritik Ridwan Kamil, jika Nggak Siap dengan Konsekuensinya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 17 Maret 2023 oleh

Tags: kritikNormasoehartosopan santun
Raihan Rizkuloh Gantiar Putra

Raihan Rizkuloh Gantiar Putra

Duh, lieur kieu euy.

ArtikelTerkait

Kampus Bukan Kerajaan, Dosen Bukan Sultan, dan Mahasiswa Bukan Rakyat yang Pantas Diinjak-injak

Kampus Bukan Kerajaan, Dosen Bukan Sultan, dan Mahasiswa Bukan Rakyat yang Pantas Diinjak-injak

18 Juni 2025
Mafalda

Komik Mafalda: Ketika Anak-anak Menyindir Negara

25 September 2021
baper

Fenomena Sejak Ada Kata Baper, Kata Maaf Semakin Susah Diucapkan

14 Juli 2019
Pengambil Alihan TMII dari Yayasan Harapan Kita Adalah Tindakan Pemerintah Paling Gegabah terminal mojok.co

Pengambil Alihan TMII dari Yayasan Harapan Kita Adalah Tindakan Pemerintah Paling Gegabah

9 April 2021
Saya Kecewa Berat dengan Kang Emil (Pixabay.com)

Saya Kecewa Berat dengan Kang Emil

5 Januari 2023
mural represi residu orde baru mojok

Orde Baru di Mata Anak Muda: Benarkah Mereka Ingin Orde Baru Bangkit?

17 Desember 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan

Gresik Utara, Tempat Orang-orang Bermental Baja dan Skill Berkendara di Atas Rata-rata, sebab Tiap Hari Harus Lawan Truk Segede Optimus!

30 November 2025
Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.