Krisis sampah di Jogja adalah cara Pemerintah agar Warga Jogja satset, nggak kakean nuntut, dan mandiri. Ngeri tenan, Bolo!
Orang Jawa itu dikenal selalu bersyukur. Bahkan ketika kecelakaan dan cacat permanen, masih saja bilang “untung nggak mati.” Apalagi orang Jogja, jagonya bersyukur di dunia. Pokoknya narimo ing pandum dalam ketimpangan. Dan sebagai orang Jogja dan Jawa tulen, saya juga ingin bersyukur. Terutama atas gagalnya pemerintah Jogja menanggulangi sampah. Tanpa kegagalan yang menyedihkan ini, mungkin warga Jogja tidak akan makin kreatif.
Jadi bersama dengan artikel ini, saya berterima kasih pada pemerintah Jogja, baik tingkat provinsi maupun daerah. Ternyata krisis sampah di Jogja ini adalah jalan bagi kami untuk terus kreatif, dan mampu menjalankan semangat DIY yaitu Do It Yourself. Alias tandangi dewe, kabeh beres diurus cah-cah.
Daftar Isi
Krisis sampah di Jogja yang tak kelar-kelar
Krisis sampah di Jogja memang kebangetan. Bayangkan, sampah masyarakat tidak bisa dibuang ke TPST Piyungan selama sebulan lebih. Meski sekarang mulai dibuka terbatas, tapi krisis belum selesai. Mau gimana lagi, setiap hari rumah tangga menghasilkan sampah. Sayangnya, sampah ini tidak bisa diromantisasi jadi sejenis Kjokkenmoddinger. Yang ada merusak keindahan dan mencemari lingkungan.
Tidak hanya itu, destinasi wisata juga kena dampaknya. Gunungan sampah bahkan muncul di Alun-alun Selatan. Memang tega betul, halaman Raja kok dikotori. Bukankah sebaiknya dibuat perda yang meminta wisatawan melakukan pemilahan sampah? Sehingga wisatawan bisa membawa sampah anorganik ke bank sampah, dan sampah organik ke Piyungan.
Solusi penampungan sementara terus digaungkan. Tapi tanpa kesepakatan warga sekitar lokasi. Akhirnya kisruh lagi dan lagi. Pokoknya ruwet sih kali ini. Dan seperti saya bilang, sampah tidak bisa menunggu barang satu hari saja. Apalagi lebih dari sebulan.
Dengan situasi ini, bagaimana warga Jogja menyikapi? Dengan satset dasdes tentunya!
Do It Yourself meskipun kepekso
Baru beberapa hari sampah mulai menumpuk, warga Jogja mulai ambil alih tanggung jawab Pemda ini. Jugangan alias lubang sampah mulai muncul di beberapa rumah warga. Tentu bukan di rumah subsidi minim halaman. Asap hitam mulai mengepul, hasil dari membakar sampah. Beberapa saling share info penampung sampah plastik. Sisanya tidak punya pilihan, dan tetap memenuhi tempat pembuangan sampah seperti game tetris.
Tapi tumpukan sampah tetap tampak di berbagai sudut. Terutama di dekat lokasi wisata. Tidak kurang akal, beberapa warga melukis kantong sampah itu. Minimal ketika dilihat wisatawan, sampah tadi dikira seni instalasi.
Ketika TPST Piyungan dibuka kembali dengan terbatas, warga makin kreatif. Ketika truk sampah lewat, mereka jadi atlit lempar sampah. Berusaha melempar kantong sampah ke dalam bak truk yang terus melaju. Mungkin ini bisa jadi daya tarik wisata baru. Tinggal kemas sampah dengan kantong yang dilukis, lalu dilempar sembari pakai baju adat. Perkara value, bisa diromantisasi!
Beruntung bagi daerah yang punya cukup kapital, kemauan, dan aparat yang bisa mikir. Seperti di Desa Panggungharjo yang sukses mengolah sampah secara independen. Sayang, tidak semua daerah mampu. Jangankan mau mengumpulkan sampah di satu lokasi, lahannya saja mahal!
Jangan salahkan solusi do it yourself tadi. Apalagi sok usul perkara bikin pupuk atau pembangkit listrik tenaga sampah. Yo jelas nggak mampu bosku. Apalagi bagi kampung padat penduduk yang jelas kekurangan ruang publik. Mau main voli saja susah, apalagi bikin pengolahan sampah. Tapi setidaknya warga Jogja terbiasa memutar otak mencari solusi yang mudah diakses.
Apa-apa bisa mandiri
Sudah berkali-kali warga Jogja membuktikan diri mampu untuk mengurus diri sendiri. Waktu pandemi menggila, muncul gerakan solidaritas pangan. Ketika klitih merajalela, muncul gerakan vigilante pemburu klitih. Waktu jalan berlubang tidak kunjung diperbaiki, muncul gerakan tambal jalan serta penanda lubang dengan cat semprot.
Sebentar. Lalu mana peran pemerintah?
Mungkin ini cara pemerintah Jogja mendidik rakyat. Melakukan pembiaran sehingga rakyat bisa independen dalam banyak hal. Seperti menjalankan semangat DIY alias do it yourself. Siapa tahu, tiba-tiba rakyat Jogja makin kreatif menghadapi pembiaran ini. Bisa bikin perumahan rakyat sendiri, bikin jaminan sosial sendiri, bahkan menaikkan UMR sendiri. Jangan-jangan nanti warga Jogja bisa bikin kraton sendiri. Pokoke opo-opo tandangi dewe! Istimewa og!
Dan siapa tahu, besok pemerintahan Jogja bakal diurusi cah-cah dewe. Daripada patah hati terus menanti aksi satset pemerintah. Toh sudah dilatih mandiri dan do it yourself!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya