Membahas Kota Malang tidak akan pernah ada habisnya. Apalagi ketika mengungkit transportasi publiknya. Kota Apel ini benar-benar bisa dikuliti habis-habisan. Bagaimana tidak, sudah lama warganya menanti transportasi publik yang memadai, tapi pemerintah kotanya nggak sat-set. Mereka malah menjalankan proyek-proyek lain yang nggak begitu mendesak.Â
Masalah kemacetan dan transportasi publik sudah lama menghantui Malang, tapi pemkot seolah tidak pernah menggubris. Warga diminta berpikir sendiri terkait mobilitasnya di kota yang mungil itu. Syukur-syukur kalau punya kendaraan pribadi, kalau tidak? Ya mau tidak mau naik angkot butut ke sana kemari. Kalau punya uang saku lebih bisa naik taksi atau ojek online.Â
Padahal, kalau dipikir-pikir, warga yang mobilitasnya ke sana ke mari inilah yang menggerakkan perekonomian Malang dan sekitarnya. Warga bepergian untuk bekerja, ke pasar, berbisnis, ke sekolah, wisata. Pokoknya setiap langkahnya menyumbang perekonomian bagi Kota Apel tercinta, kok ya nggak difasilitasi mobilitasnya.Â
Saya membayangkan Malang yang kian padat ini punya transportasi yang mumpuni dan terintegrasi seperti di Jakarta. Perihal transportasi publik, Jakarta memangselalu lebih maju. Transjakarta saja sudah ada sejak 19 tahun silam.Â
Belasan tahun berlalu dan Malang masih belum bisa mencontoh transportasi Jakarta sedikit pun, tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain. Jogja pada 2008 sudah punya Trans Jakarta. Semarang menyusul dengan Trans Semarang. Pada 2018 muncul Suroboyo Bus dan pada 2022 baru lahir Trans Jatim di kawasan aglomerasi Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).
Malang butuh transportasi publik memadai
Melansir berbagai berita, pada November tahun lalu Sekretaris Daerah Kota Malang mengungkapkan, perbaikan transportasi publik adalah salah satu solusi kemacetan di Malang. Saya heran kok solusinya baru dirumuskan sekarang padahal persoalan kemacetan Malang sudah menghantui beberapa tahun terakhir.Â
Semakin terheran-heran ketika Pemkot lebih mengutamakan estetika kawasan tertentu daripada kemacetan Malang maupun transportasi publiknya yang bobrok. Niatnya sih bagus, meningkatkan kunjungan wisatawan Kota Malang. Namun, banyak yang menilai eksekusinya tidak begitu memuaskan. Sudah menelan dana tidak sedikit, proyeknya tidak terlalu genting, belum lagi eksekusinya yang buruk. Benar-benar mengecewakan.Â
Saya tambah nggak paham ketika beliau menyarankan masyarakat harus diedukasi terlebih dahulu agar tertarik menggunakan transportasi publik. Lho, sepertinya terbalik. Pemerintah yang kudu diedukasi bahwa problem lalu lintas di Malang sudah sebesar itu.Â
Saya yakin betul, kalau armada transportasi publik di Malang sudah beroperasi, banyak warga akan langsung menggunakannya. Tidak perlu edukasi ini-itu karena warga Malang memang sebutuh itu akan transportasi publik yang memadai.Â
Kalau mau diingat-ingat, ada ancang-ancang pengadaan transportasi publik berbasis listrik yang sempat mencuat di pertengahan 2023. Pemkot sudah melakukan audiensi dengan para konseptor. Hanya saja, yang jadi masalah adalah penyiapan regulasi dari moda transportasi konvensional (BBM) ke listrik.Â
Duh, bahasanya khas pemerintah sekali. Penyiapan regulasi. Gak sekalian sosialisasi? Pembenahan administrasi? Evaluasi? Monitoring? Apalagi? Nggak perlu jauh-jauh ke kendaraan listrik dulu, Pak. Yang penting ada dulu. Nyatanya sekarang sudah tahun baru, hasilnya nihil.
Sebatas angan-angan
Imajinasi warga Kota Malang tentang transportasi publik itu nggak muluk-muluk kok. Kami tidak ingin trem seperti negara-negara di Eropa atau SBS Transit di Singapura. Malang hanya ingin punya transportasi publik seperti Trans Jatim, Trans Jogja, atau Trans Jatim.
Saya membayangkan ada terminal khusus di Arjosari sebagai hub utama. Nanti akan ada beberapa koridor. Semisal, koridor 1 mengarah ke Stasiun Kota Baru Malang. Rute itu akan melewati beberapa titik aktivitas dan perumahan warga, semisal Araya, Sulfat, Sanan, hingga ke Klojen. Koridor 2 ke arah barat, Lowokwaru sampai Landungsari melewati kampus-kampus seperti Universitas Brawijaya, Universitas Malang, UIN Malang, Universitas Islam Malang, sampai Univeritas Muhammadiyah Malang. Rute ini akan mengantarkan mahasiswa-mahasiswi pergi kuliah dengan nyaman. Koridor 3 bisa mengarah ke pusat-pusat perkantoran dan ekonomi mulai sepanjang Jalan. Ahmad Yani, Kayutangan, terus sampai ke Pasar Besar.Â
Membayangkan Kota Malang punya transportasi nyaman, aman, murah, dan halte yang tersebar di mana-mana benar-benar membuat saya berdebar. Belum lagi kemacetan Malang yang perlahan akan terurai karena warganya mulai menggunakan transportasi publik. Betapa nyamannya hidup di Malang. Sah-sah aja kan untuk berimajinasi?
Menyediakan transportasi publik yang memadai adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam mengelola wilayahnya. Sayangnya, hal ini sepertinya kurang diperhatikan oleh Pemkot Malang. Padahal warganya sudah sejak lama mendambakannya. Benar-benar warga Malang yang malang.Â
Penulis: Dimas Bagus
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Malang, Bandung, Jogja: Tiga Kota Potensial yang Bernasib SialÂ
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.