Kota Malang Itu Bukan Kota Slow Living, tapi Slow Motion

Kota Malang Itu Bukan Kota Slow Living, tapi Slow Motion (Unslash)

Kota Malang Itu Bukan Kota Slow Living, tapi Slow Motion (Unslash)

Konten rekomendasi kota untuk slow living sedang ramai di media sosial. Salah satu kota yang masuk dalam daftar rekomendasi adalah Kota Malang. Menurut Wikipedia, slow living adalah gaya hidup yang mendorong pendekatan yang lebih lambat terhadap aspek kehidupan sehari-hari, yang melibatkan penyelesaian tugas dengan santai.

Saya tidak mendukung atau menolak gaya hidup seperti ini. Yang mengusik saya adalah ketika Kota Malang masuk dalam daftar kota yang cocok untuk slow living.

Katanya, Kota Malang cocok karena udaranya masih sejuk, harga masih murah, orangnya santai, dan punya banyak tempat wisata. Katanya, sih, begitu.

Bayangan orang tentang Kota Malang

Banyak orang suka menggambarkan Kota Malang dengan kalimat dan konten yang indah. Misalnya, konten Malang setelah hujan, romantisasi tempat wisata, estetika coffee shop, udara yang dingin nan syahdu, sampai kehidupan malam di sini.

Ah, sungguh indah dan menarik sekali. Sudah begitu, banyak konten yang menggambarkan nyamannya hidup di sini. Pokoknya hal-hal yang membuatnya bangga, serasa berada di dalam surga dunia.

Namun, melihat dengan mata sendiri, merasakan sendiri, segala hal yang “indah-indah” itu nggak sepenuhnya “indah”.

Baca halaman selanjutnya: Nggak cocok buat slow living, karena di sini slow motion.

Kota Malang yang sesungguhnya

Sebelumnya saya perlu menegaskan di sini. Bahwa tulisan ini adalah subjektivitas saya sendiri. Jadi mungkin berbeda dengan pendapat pembaca. Oya, saya sudah tinggal di Kota Malang selama 10 tahun. 

Mungkin, manusia seperti saya ini adalah bagian dari “oknum” yang turut serta menambah tingkat kepadatan penduduk Malang setiap tahunnya. Yah, pada titik tertentu, Malang memang bisa memberi kenyamanan. Hal ini tidak bisa kita tampik.

Namun, jika kamu mau membuka mata akan kondisi sebenarnya, banyak warga asli yang merasa resah akan perkembangan kota mereka. Misalnya, masalah kemacetan rasanya makin parah setiap tahunnya. Lalu ada soal banjir, kumuh, hingga kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Bagaimana mau slow living kalau kota yang kamu tuju tidak bisa memberikan rasa santai? Menurut saya, banyak hal yang membuat Kota Malang belum bisa masuk daftar tujuan kota untuk slow living.

Lebih cocok disebut kota slow motion

Ya, banyak hal yang membuat Kota Malang belum bisa masuk daftar tujuan kota untuk slow living. Mau jalan, langsung ketemu macet. Perjalanan yang seharusnya membutuhkan 10 sampai 15 menit, kini jadi 30 menit lebih. Makanya, bagi saya, status yang lebih pas untuk Kota Malang saat ini adalah kota slow motion. 

Nggak cuma karena meningkatnya jumlah kendaraan yang bikin macet. Masalah parkir juga jadi penyakit menahun tanpa solusi konkret. Bergerak saja sudah lambat, banyak hal bikin nggak nyaman, makanya Kota Malang butuh perubahan yang nyata.

Masih banyak kota, mungkin lebih tepatnya desa, yang cocok jadi tujuan slow living. Yang masih asri, dukungan sosial bagus, hingga terbuka dengan pendatang. Jadi tolong jangan FOMO tentang slow living di Kota Malang. Bagi saya, itu tidak sesuai fakta.

Penulis: Muhammad Labib Bara Ramadhan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 7 Tempat Wisata yang Overrated di Malang. Memangnya Masih Ada yang Spesial?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version