Kota Malang Gampang Bikin Kangen Gara-gara UM dan Jalan Ijen

Kota Malang Gampang Bikin Kangen Gara-gara UM dan Jalan Ijen (Pexels)

Kota Malang Gampang Bikin Kangen Gara-gara UM dan Jalan Ijen (Pexels)

Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi Kota Malang untuk menghadiri wisuda. Saya resmi wisuda sebagai lulusan PPG Prajabatan Universitas Negeri Malang Gelombang 1 Tahun 2023. Bangga rasanya setelah digembleng selama satu tahun untuk menjadi guru profesional, akhirnya lulus juga. 

Di sisi lain, saya juga merasa sedih karena harus kembali berjauhan dengan teman-teman satu kelas yang begitu random karakternya namun tetap solid hingga akhir.

Rasa sedih juga terasa saat akan meninggalkan Kota Malang. Setiap sudut kota ini memiliki cerita suka dan duka, meski saya hanya satu tahun menetap. Kenangan tentang aktivitas di kampus, suasana kesejukan kota sehabis hujan, kehangatan masyarakat, dan penjelajahan tempat ngopi, semuanya masih indah untuk dikenang dan pantas diulang (kecuali ngerjain tugas kuliah).

Nostalgia di kampus UM

Kenangan tentang aktivitas kuliah kembali menyeruak ketika saya memasuki gedung A21 Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) untuk mengambil ijazah sesudah wisuda. Masih teringat jelas capeknya mencari kelas yang kosong dari lantai 2 sampai lantai 9. 

Saya paling senang jika mendapat kelas di lantai 8 atau 9. Dari kaca jendela, saya dapat melihat keindahan Malang Raya dengan latar belakang barisan gunung yang membentang. Gunung Kawi, Buthak, Panderman, dan Arjuno terlihat jelas bagaikan benteng alami yang melindungi Malang di sisi barat. Sementara deretan Gunung Bromo dan Semeru terlihat di sisi timur gedung dengan samar-samar.

Setelah mengambil Ijazah ditemani kawan, saya berkeliling kampus dengan motor Supra kebanggaan saya. Masih terlihat banyak mahasiswa duduk-duduk di bangku sepanjang lorong gedung teknik. 

Tempat itu memang menjadi favorit mahasiswa untuk mengerjakan tugas karena fasilitasnya mendukung. Wifi lancar, ada colokan, meja dan kursi yang banyak, serta tempat yang teduh.

Kami sering ngumpul di tempat itu dengan niat awal nugas. Tapi begitu kumpul, kegiatan berubah menjadi main Uno sampai larut malam. Bisa dibilang kegiatan kami 30% nugas, 70% main Uno.

Baca halaman selanjutnya: Sangat mudah mencintai dan merindukan Kota Malang.

Nostalgia dengan lingkungan kos-kosan di Kota Malang

Mumpung masih di Malang, saya mampir ke tempat ngekos dulu. Sebenarnya bukan sebuah kos, namun sebuah kamar yang berada di lantai 2 masjid di daerah Merjosari. 

Dulu, saya dan teman-teman kos merupakan marbot masjid. Kegiatan rutin kami ialah adzan dan bersih-bersih masjid jika sedang tidak kuliah. Yang begitu membuat kangen dari tempat ini adalah masyarakatnya yang hangat.

Setiap malam Senin, warga mengundang kami untuk rutinan istighosah. Sebagaimana umumnya anak kos, kami sangat menanti acara makan-makan. 

Makanan yang tersaji di rutinan menurut saya unik. Saya tidak menemukannya di Kediri, rumah saya. Salah satu makanan yang sering disajikan ialah mendol. Mendol merupakan makanan khas Malang. Ia terbuat dari tempe yang dikukus lalu digoreng.

Karena di area masjid, kami yang tinggal di sini sejumlah 4 orang sering mengalami surplus makanan. Selalu ada makanan dan jajanan sisa dalam jumlah banyak. Nah, sisaan itu biasanya diberikan kepada marbot. Memang, lingkungan masjid tersebut merupakan memiliki kultur NU yang kuat sehingga apa saja acaranya, makan-makan kegiatan intinya.

Nostalgia di Jalan Ijen Kota Malang

Hari semakin sore, saya memutuskan untuk pulang ke Kediri. sebelum pulang, saya berkeliling Kota Malang dengan Supra kebanggaan. Saya melintasi jalan paling ikonik di kota ini yakni Jalan Ijen

Terkenang suasana CFD di jalan ini setiap hari Minggu. Niat kami CFD memang bukan untuk jogging biar sehat. Kami hanya sekadar kulineran, jalan-jalan, dan menikmati suasana.

Udara sejuk, jalan yang lebar dengan deretan pohon palem, serta lampu bergaya klasik di kedua sisi. Ada taman yang indah di sepanjang bagian tengah sebagai pembatas jalur. Masih ada rumah-rumah bergaya kolonial di kedua sisi jalan menjadikan tempat ini terlalu indah.

Masih teringat, dulu saya pernah membeli cerutu seharga Rp10 ribu saat CFD. saya membelinya dari seorang kakek yang memang berjualan di situ tiap hari Minggu. Kakek itu menjual rokok, korek, pipa rokok, dan cerutu. Unik ya, jualan produk tembakau di tengah kegiatan orang-orang jogging.

Setelah meninggalkan kota tersebut, ada impian untuk menjadikan Malang sebagai tempat tinggal. Kehangatan dan kesejukan Malang memang bisa bertemu menjadi satu.

Penulis: Nurhadi Mubarok

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jangan Harap Bisa Slow Living di Malang kalau 4 Hal Ini Belum Diperbaiki

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version