Beberapa hari yang lalu, lewat Instagram pribadinya, Kang Emil memamerkan pembangunan flyover Kopo dengan tetek bengek “estetik” dan banyolan anehnya yang digadang-gadang akan mengurai kemacetan di daerah Kopo yang memang terkenal macet. Pembangunan flyover Kopo menjadi yang kesekian kalinya dilakukan pemerintah setempat, setelah beberapa tahun yang lalu Kota Bandung gencar melakukan pembangunan jembatan layang atau biasa disebut flyover.
Mulai dari flyover Antapani, Supratman, Laswi, sampai Kopo. Masih ada beberapa wacana pembangunan Flyover lain yang akan dibangun dari Jl. Buah Batu-Kiaracondong untuk mengurai kemacetan yang diakibatkan lampu merah Buah Batu yang terkenal lama dan mungkin bisa saja di jalan-jalan lain yang akan dan sering menimbulkan kemacetan lainnya.
Namun, apakah flyover di Kota Bandung benar-benar ampuh mengatasi kemacetan, jika titik kemacetan semakin hari semakin bertambah banyak?
Sejarah flyover Kota Bandung
Saya akan mulai dari perspektif saya sebagai warga Kota Bandung.
Sebelum menjadi fetish pemerintah, flyover di Kota Bandung hanya ada dua. Yang pertama adalah Jalan Layang Pasupati (Kini berubah nama menjadi Jl. Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja) yang menjadi “ikon” Kota Bandung. Flyover ini menyambungkan Dago sampai Pasteur.
Mengutip Hardjasaputra (2000) secara historis, flyover ini sebenarnya sudah dirancang oleh arsitek Ir. Karsten pada era 1920-an yang menyimpan dasar rancangan Kota Bandung dan obsesi jalan layang tersebut berlangsung hingga 10 tahun selanjutnya.
Obsesi tersebut tercantum dalam program Autostrada yang ingin menghubungkan missing link Jalan Pasteur dan Dago. Pembangunan flyover ini sendiri baru terlaksana setelah reformasi dan baru diuji coba pada 2005.
Meskipun bisa diakui cukup efektif mengurai kemacetan dan mempercepat akses jalan, namun semakin hari, flyover Pasupati ini tidak benar-benar bisa mengurai kemacetan 100%. Apalagi jika weekend tiba dan pada jam-jam pergi pulang kerja atau sekolah. Alih-alih mengurai, kemacetan justru mengular di flyover itu sendiri.
Saya sering mengalami kemacetan di jembatan layang ini, ditambah ketika dulu saya sekolah di Pasteur. Agaknya saya hafal betul betapa menyebalkannya terjebak kemacetan di atas flyover yang digadang-gadang mampu mengurai kemacetan.
Flyover kedua yang dimiliki Kota Bandung adalah flyover Kiaracondong. Flyover ini menghubungkan Jl. Kiaracondong dan Ibrahim Adjie yang melintasi jalur kereta api dekat Stasiun Kiaracondong. Dibanding Pasupati, flyover ini lebih kecil dan sebenarnya juga bisa dibilang lebih efektif mengurai kemacetan, khusus di atas flyovernya. Sebab, kehidupan di bawah flyover Kiaracondong tetap saja macet. Ditambah ada kehidupan pasar, pabrik, dan juga stasiun. Alih-alih memecah kemacetan, flyover Kircon ini justru memindahkan kemacetan ke bawah jembatan yang semakin parah dan menambah kepengapan.
Hobi membangun flyover
Selama beberapa belas tahun setelahnya, seolah tak kapok, pemerintah Kota Bandung kembali membangun flyover. Kali ini lebih pendek dan kecil dari Pasupati dan Kiaracondong.
Flyover itu berwarna-warni dan terletak di kawasan perempatan Antapani yang memang juga terkenal macet karena lampu merah yang lama dan perputaran arus kendaraan yang banyak. Antapani sendiri bisa dibilang adalah kawasan permukiman penduduk yang cukup ramai.
Beberapa tahun berselang, flyover sepanjang 2 kilometer kembali dibangun dari Flyover Antapani. Flyover ini menghubungkan Jl. Ahmad Yani ke Supratman. Lagi-lagi karena perempatan dan lampu merah.
Beberapa bulan setelah pembangunan flyover pendek itu, secara singkat, memang cukup efektif mengurai kemacetan. Apalagi bagi orang-orang Antapani yang ingin pergi ke tengah Kota Bandung untuk sekolah, bekerja, atau sekadar main. Namun, sama seperti flyover-flyover yang dibangun sebelumnya, semakin hari, kemacetan tetap ada dan justru malah berlipat ganda. Rasa-rasanya flyover hanya memberikan kelancaraan yang sementara, kemacetan abadi.
Kritik atas hobi aneh ini
Kritik atas hobi Kota Bandung membangun flyover sebenarnya sudah dilontarkan oleh seorang Arsitek dari Amerika bernama Lawrence Halprin. Menurut Halprin (1966) dalam Sukma Larastiti di laman transportologi.org, jalan layang, alih-alih mengurai kemacetan, justru hanya akan mendistribusikan kemacetan ke kawasan sekitarnya dan memberi dampak buruk secara ekologis.
Misalnya, menghalangi cahaya dan udara, kerusakan kota, semakin banyaknya tempat kumuh dan pembuangan sampah. Elemen tersebut justru akan memperburuk Kota Bandung itu sendiri. Kritik tersebut sejalan dengan studi dan temuan belasan tahun setelahnya yang mengungkapkan bahwa pembangunan flyover memang tidak benar-benar bisa menyelesaikan masalah kemacetan.
Ketidakefektifan flyover dalam mengurai kemacetan ini juga disadari oleh beberapa negara maju, seperti Korea Selatan. Masih dalam Sukma Larastiti mengutip Joon-Ho Ko (2015) mengatakan bahwa di Korea Selatan, selama periode 1994 sampai 2014 telah tercatat sebanyak 18 flyover yang dibongkar.
Alasannya, Korea Selatan menganggap flyover tidak benar-benar efektif mengurai kemacetan dan justru malah merusak estetika kota. Korea Selatan juga mengubah orientasi kebijakan yang lebih berfokus pada angkutan umum. Oleh sebab itu, anggaran yang tadinya dialokasikan untuk pembangunan flyover dipindahkan pada angkutan umum.
Pola pikir pemerintah Kota Bandung
Hal ini sangat amat berbanding terbalik jika kita melihat pola pikir pemerintah Kota Bandung (dan mungkin pemerintah daerah lainnya) yang menganggap jembatan layang adalah hal yang paling estetik dengan lampu-lampunya yang seakan bisa membantu mengurai kemacetan dan “mempercantik kota”, meskipun pada akhirnya ya toh macet juga. Sebab kendaraan makin tumpah ruah, manusia makin banyak, dan jalan raya hanya begitu-begitu saja.
Dengan menambah kapasitas jalan raya dengan flyover atau sejenisnya, pemerintah seolah-olah memberikan solusi cepat atas masalah kemacetan. Masalahnya, ini bukan solusi jangka panjang. Pemerintah Kota Bandung seharusnya sadar. Bukan saya saja yang merasakan dampak negatifnya.
Tentu saja, menurut saya, orientasi kebijakan tersebut keblinger. Alih-alih berfokus pada pergerakan manusia yang semakin banyak, pemerintah Kota Bandung justru lebih fokus pada pergerakan kendaraan. Bagaimana caranya agar jalan selalu lancar, tak peduli berapa isi orang yang ada di dalam kendaraan, bukan berfokus pada pergerakan manusia.
Jika fokus pemerintah Kota Bandung akhirnya beralih pada pergerakan manusia dengan menambah variasi kendaraan khususnya transportasi umum, sedikit demi sedikit, kepadatan lalu lintas agaknya bisa saja lebih lega. Yap, betul, memperbaiki dan meningkatkan fasilitas transportasi umum adalah solusi andalan ketimbang jor-joran membangun flyover malang-melintang yang lebih banyak mudharatnya.
Angkutan umum perlu dipikirkan
Sebenarnya, Kota Bandung sendiri selain membangun flyover juga pernah mewacanakan berbagai pilihan angkutan umum, yang sayangnya malah gagal dan tidak ada kejelasan. Mulai dari BRT, Metro Kapsul, Cable Car, dan halte-halte kendaraan umum yang akhirnya terbengkalai seperti kandang singa.
Angkot, sebagai transportasi yang kerap ditumbalkan atas masalah kemacetan Kota Bandung karena sering ngetem seenaknya juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Ya karena sistemnya membuat para angkot diharuskan seperti itu, belum lagi kejar setoran dan seterusnya.
Jakarta, sebenarnya bisa menjadi contoh pengembangan transportasi publik yang cukup baik. Terlebih Jaklingo yang sempat viral dan diapresiasi oleh warganet di Twitter. Salah satu efek yang paling terasa dari pesatnya transportasi publik di Jakarta adalah fenomena Citayam Fashion Week yang sepertinya juga sudah banyak dibahas. Akses transportasi publik di Jakarta memang sudah selangkah lebih maju dalam mengakses berbagai tempat-tempat strategis.
Mengubah pola pikir
Namun, tentu saja orientasi kebijakan kota-kota besar selain Jakarta pada transportasi publik agaknya memang sulit dilakukan secara merata. Meskipun saya yakin, bisa aja sedikit demi sedikit dilakukan, jika memang pemerintah Kota Bandung mau melakukan itu. Mungkin dimulai dari pembenaran halte yang terbengkalai sehingga bisa mengakses seluruh wilayah meskipun tentu saja tidak semua dan perlahan memperbaiki fasilitas transportasi publik.
Saya pikir, mindset masyarakat untuk beralih ke transportasi publik mah pasti bisa berubah. Tentu kalau fasilitasnya juga ikut berbenah. Lagi-lagi Jakarta adalah salah satu contohnya.
Masalahnya, apakah pemerintah Kota Bandung dan Jawa Barat mau mengubah mindsetnya? Lebih pilih mana, Bandung Lautan Flyover dengan estetika semu yang dipoles Kang Emil dengan kata-katanya yang seolah “gaul” dan riding the wave tapi kemacetan makin parah atau Bandung Lautan Transportasi Publik tapi bebas macet?
Penulis: Ananda Bintang
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kehidupan Rakyat Jawa Barat Tidak Seindah Postingan Ridwan Kamil.