Korupsi dan Krisis Integritas Adalah Luka Lama Banten yang Belum Pulih

Korupsi Menjadi Luka Lama Banten yang Belum Pulih (Unsplash)

Korupsi Menjadi Luka Lama Banten yang Belum Pulih (Unsplash)

Korupsi merupakan penyakit akut di Banten. Menurut saya, provinsi ini masih jauh dari status tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Sejak era reformasi, daerah ini berulang kali tercoreng oleh praktik korupsi di level elite.

Salah satu catatan buruk dalam sejarah korupsi di Banten adalah Ratu Atut Chosiyah. Dia terjerat kasus suap terkait sengketa Pilkada Lebak yang menyeret juga Ketua MK Akil Mochtar. 

Bukan hanya Atut, adiknya yang bernama Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) juga terlibat dalam banyak kasus korupsi dan pencucian uang. Keluarga ini seperti representasi dari korupsi terstruktur di tingkat provinsi.

Kondisi ini menimbulkan luka kolektif di tengah masyarakat Banten. Seorang pemimpin bisa begitu terang-terangan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. 

Sistem yang lemah dan budaya permisif di Banten lahirkan budaya korupsi

Korupsi di Banten bukan semata soal individu yang serakah. Ini juga akibat dari lemahnya sistem pengawasan internal, lemahnya partai politik, serta kultur birokrasi yang permisif terhadap penyimpangan. Sistem yang tidak transparan membuka ruang bagi praktik manipulatif.

Secara hukum, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah tegas mengatur sanksi terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum masih belum mampu menciptakan efek jera. Banyak pejabat yang kembali maju sebagai calon kepala daerah meskipun pernah dipenjara atau diperiksa oleh KPK.

Dalam konteks Banten, sejumlah kepala daerah lain di luar Ratu Atut juga sempat tersandung kasus korupsi. Misalnya seperti mantan Wali Kota Cilegon dan Bupati Pandeglang. Ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya ada di tingkat provinsi, tapi juga di level kabupaten/kota yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan publik.

Lemahnya penolakan publik dan tantangan politik uang

Ironisnya, banyak pelaku korupsi masih mendapat dukungan elektoral dari masyarakat. Ini menandakan bahwa sebagian besar pemilih belum sepenuhnya memahami dampak sistemik dari korupsi terhadap kehidupan mereka. Jalan rusak, sekolah kumuh, pelayanan kesehatan buruk adalah hasil nyata dari dana publik yang dikorupsi.

Pendidikan politik dan literasi hukum harus menjadi agenda prioritas dalam pembangunan daerah. Tanpa kesadaran kolektif rakyat untuk menolak calon-calon yang bermasalah secara etika dan hukum, maka demokrasi lokal akan terus dikuasai oleh elite bermasalah.

Selain itu, partai politik sebagai pilar demokrasi harus berhenti menjadi kendaraan politik bagi kandidat yang hanya kuat secara finansial, tetapi lemah secara integritas. Rekrutmen calon kepala daerah harus berbasis pada rekam jejak, komitmen pada antikorupsi, dan keterbukaan terhadap publik Banten.

Reformasi tata kelola

Peran KPK, kejaksaan, dan kepolisian tidak cukup hanya menangkap pelaku. Perlu ada reformasi struktural dalam tata kelola anggaran daerah dan proyek-proyek strategis yang rentan disalahgunakan. Pengawasan anggaran Banten harus dibuka kepada publik melalui platform digital dan keterlibatan masyarakat sipil.

Transparansi pengelolaan APBD dan e-budgeting adalah langkah yang sudah dimulai oleh beberapa daerah maju. Banten perlu mencontoh dan menerapkan sistem digitalisasi anggaran agar publik bisa ikut serta dalam proses kontrol penggunaan dana publik.

Media lokal juga memiliki peran penting dalam mengungkap dugaan korupsi di daerah. Sayangnya, sebagian media masih terjebak dalam relasi patronase dengan elite lokal, sehingga pemberitaan menjadi bias atau tidak menyentuh akar persoalan.

Peran masyarakat Banten untuk melawan korupsi

Masyarakat sipil, termasuk LSM dan organisasi mahasiswa, harus tetap menjadi pengawas kritis terhadap jalannya pemerintahan. Penguatan gerakan antikorupsi di tingkat lokal akan memperkuat budaya politik yang sehat dan menjadi lawan dari praktik politik uang.

Jika persoalan korupsi di Banten tidak ditangani secara menyeluruh, daerah ini akan terus mengalami stagnasi pembangunan. Ketimpangan sosial dan rendahnya kualitas layanan publik hanyalah akibat dari penyakit lama yang belum diobati.

Momen-momen politik seperti Pilkada seharusnya menjadi peluang untuk memperbaiki arah kepemimpinan daerah. Namun, tanpa reformasi dalam sistem politik dan budaya pemilih, kita hanya akan mengulang siklus kekuasaan yang korup dan mengabaikan rakyat.

Korupsi bukan hanya soal hukum, tapi juga soal nilai, budaya, dan masa depan. Jika Banten ingin keluar dari bayang-bayang masa lalunya, maka dibutuhkan gerakan kolektif dari semua pihak untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan berpihak pada kepentingan publik.

Penulis: Depiyani

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bagaimana Warga Banten Bisa Bahagia kalau Kotanya Dicengkeram Korupsi dan Politik Dinasti?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version