Kontrakan di Jogja memang banyak, dan tak sedikit yang worth price to value-nya. Tapi, tak berarti ngontrak rumah di Jogja itu superior ketimbang ngekos
Lebih dari sepuluh tahun, saya sempat menetap di Kota Pelajar, bahkan sampai sempat punya KTP Jogja. Awalnya, hidup di sini cuma sebatas sewa kamar kos karena status saya masih mahasiswa rantau saat itu. Namun, setelah lulus kuliah dan mulai kerja, tinggal di kos-kosan jadi terasa mengganggu.
Kerja saya memang masih di seputaran area kampus. Jadi mayoritas penghuni kos adalah mahasiswa S1. Ada gap usia yang lumayan jauh antara saya dan mereka. Jujur saja, fakta ini membuat saya agak risih lantaran kadang saya merasa nggak nyambung sama mereka yang masih asyik menikmati masa muda.
Mau saya, kalau malam itu tidur tenang dan istirahat. Bukan malah dengar gosip tetangga kamar sebelah atau terusik sama suara motor keluar-masuk. Makanya, saya akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah di kawasan yang masih dekat dengan pusat kota. Tujuannya jelas, biar lebih leluasa tanpa aturan pemilik kosan dan tidur nyenyak.
Niatnya hemat dengan hidup di kontrakan di Jogja, malah bikin kantong sekarat
Saat itu tahun 2016, saya dapat dua opsi rumah kontrakan di Jogja, tepatnya di kawasan Condong Catur. Yang berlokasi di Jalan Anggajaya, pemiliknya mematok harga Rp40 juta per tahun. Sementara, yang berada di Manukan dan agak masuk gang, cuma minta Rp13 juta per tahun.
Mengingat anggaran yang terbatas, tentu saja saya langsung sikat opsi kedua. Apalagi rumahnya cukup luas dan masih terhitung di kota. Kontrakan kedua tadi punya dua kamar tidur dan area terbuka buat jemur atau parkir motor. Untuk mobil sendiri, tidak muat masuk gang sehingga harus parkir di lahan kosong yang beberapa meter jaraknya.
Sayangnya, niat mau irit itu ternyata salah besar. Yang saya kira pemilik rumah, ternyata cuma makelar yang katanya juga menjabat Ketua RW di sana waktu itu. Sedihnya, biaya makelar itu dibebankan ke penyewa tanpa saya tahu sebelumnya. Keluarlah beberapa ratus ribu tanpa ampun.
Kesialan tidak berhenti di situ. Baru seminggu pindah ke kontrakan, plafon jebol karena sudah lapuk. Saat musim hujan, jamur mulai timbul di dinding kamar, bikin bau apek. Pakai produk serap lembab pun, tak berdaya. Puncaknya, selang beberapa bulan pompa air rusak. Namun, si pemilik properti ogah menanggung biaya perbaikan. Akhirnya, saya yang harus beli dan pasang sendiri.
Asli, niatnya hemat dengan milih kontrakan di Jogja, malah bikin kantong sekarat karena harus nombok sana-sini. Pengalaman pahit itu bikin saya malas kalau harus kontrak rumah lagi. Dulu saat masih sewa kos, kerusakan apapun tinggal lapor ibu kos dan langsung beres tanpa banyak drama.
Dari adegan pesan makan antar yang nyasar sampai ketakutan karena dekat kebun pisang
Meski sudah lumayan lama tinggal di Jogja, urusan nama jalan di sisi lain kota itu memang bikin pusing. Nah, suatu kali, karena badan lagi kurang enak, saya coba pesan makan lewat jasa pengantaran. Semua sudah saya lakukan. Mulai dari bagi lokasi, tulis alamat lengkap, plus kasih ancer-ancer biar makin gampang dicari.
Kontrakan saya saat itu berada di Jalan Rajawali yang letaknya memang masuk gang. Apesnya, ternyata di Jogja itu ada juga tempat bernama Gang Rajawali di daerah Tegalrejo. Mungkin karena waktu itu teknologi belum secanggih sekarang dan driver juga belum familiar, petugas pengantar makanan itu tersasar ke sana.
Saya yang sudah demam dan lemas, masih harus berjuang keras menjelaskan posisi saya ke driver lewat telepon. Bukannya makin sehat, saya justru tambah lapar dan terkapar karena energi habis buat meladeni adegan nyasar itu. Momen kayak gini jelas nggak akan terjadi kalau saya masih tinggal di kos-kosan yang alamatnya sudah pasti sering didatangi driver. Atau setidaknya, saya bisa minta tolong teman satu hunian kos buat titip beli makanan.
Pengalaman mengontrak rumah di Jogja ini benar-benar membuka mata saya kalau kebebasan juga disertai serangkai kepelikan. Ditambah lagi, tidur malam saya di kontrakan ternyata juga tidak benar-benar lelap. Soalnya, terkadang rasa takut itu muncul tiba-tiba, terlebih sebelah rumah persis adalah kebun pisang. Kalau tinggal di kos, setidaknya masih merasa aman karena di sebelah ada tetangga kamar.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Alasan Tinggal di Kontrakan Jauh Lebih Enak ketimbang Ngekos di Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















