Konsorsium 303 dan Usaha Menumpas Judi yang Sia-sia

Judi Slot: Lebih Seru Nonton Orang Main ketimbang Ikutan Main konsorsium 303

Judi Slot: Lebih Seru Nonton Orang Main ketimbang Ikutan Main (Pixabay.com)

“Ya karena pelarangannya justru menguntungkan, Kin.” Tukas Cak Narto sambil menggeser pionnya maju ke petak D4, memulai pertandingan yang entah ke berapa malam ini. Setelah berkali-kali gagal, pancingan Solikin untuk membahas ontran-ontran bisnis judi konsorsium 303 yang menyeret nama-nama pembesar itu dan kayaknya bikin jadi ada pembersihan besar-besaran, tampaknya kini mulai mendapat tanggapan di forum.

Konsorsium 303 ini mencuat, seiring dengan munculnya kejelasan tentang kasus paling heboh di negara kita. Disebut-sebut, konsorsium 303 ini menyeret banyak nama yang bisa bikin kita ternganga. Bisa jadi, konsorsium 303 adalah skandal paling mengerikan yang akan terkuak.

“Siapa yang diuntungkan, Cak?” celetuk Pardi seraya memajukan kudanya ke petak F6. Ia nampak ingin cepat menyerang.

“Yo, ndak tahu, kok tanya aku. Siapa kira-kira yang untung, Kin?” pion Cak Narto maju ke petak C4. Solikin yang sedang mencubiti layar gawai tergeragap. “Maksud Sampean orang-orang ini, Cak?” Ia membesarkan potret sebuah diagram yang berisi foto-foto orang yang diduga terlibat konsorsium perjudian itu dan memampangnya ke muka dua orang yang sedang masyuk main catur di depannya.

“Mungkin saja, Kin. Yang jelas bukan aku yang untung”, ujar Pardi terkekeh sambil menggeser pionnya maju ke petak G6.

Suasana hening. Solikin mecucu karena usahanya meramaikan forum kembali diabaikan.

“Gini lho, Kin…” pion Cak Narto digeser maju ke petak F3, “…Kamu kan tentu tahu kalau judi adalah salah satu aktivitas masyarakat yang usianya lebih tua dari republik ini, membasminya itu mustahil. Yang ada, pelarangan justru membuatnya menjadi semacam pasar gelap, yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.”

“Maksudnya pasar gelap, Cak?” sela Pardi seraya memajukan pionnya ke petak C5 bersitatap dengan pion Cak Narto di petak D4.

“Karena judi memang masih digemari, dan aktivitasnya ilegal maka yang terjadi ya pasar gelap, Di. Para penjudi jadi sembunyi-sembunyi main sabung ayam, main dadu, sampai seperti sekarang ini, situs-situs judi onlen yang promosinya militan-nggilani itu. Dan…”, Cak Narto memajukan pionnya ke petak D5. “…sama dengan pasar gelap lainnya, keadaan seperti itu memang dipertahankan karena akan menguntungkan pelaku bisnisnya.”

Solikin tercenung.

“Tapi, nggak mungkin juga judi dilegalkan oleh pemerintah, Cak? Wong undang-undangnya jelas melarang, Kok”, Pardi menghadang pion Cak Narto dengan pionnya di petak D6.

“Kata siapa ndak mungkin? Coba, Kin, gimana bunyi pasal larangan perjudian itu?” Cak Narto tersenyum, lantas memajukan pionnya ke petak E4. Solikin bergerak cepat mengetik pasal larangan perjudian di gawainya.

Sesaat kemudian Solikin menarik napas, memasang air muka penuh wibawa, mengambil jeda untuk membacakan sesuatu yang dianggapnya serius ke hadapan forum, “Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: a. dengan sengaja menawarkan atau memberikan…”

“Sik…” Sergap Cak Narto, “…setop dulu sampai situ, Kin.” Ia mengangkat dagunya ke arah Pardi, memintanya agar segera mengambil langkah berikutnya. Pardi dengan kikuk memajukan gajahnya ke petak G7.

Solikin tolah-toleh dengan mulut yang masih menganga.

“Nah, Ndes, menurutku pangkal ontran-ontran dunia perjudian dari dulu sampai sekarang itu, sebenarnya ada di frasa ‘barang siapa tanpa mendapatkan izin’ itu…” Ia memacu kudanya di sisi kanan pertahanan maju ke petak E2.

Pardi bersitatap dengan Solikin.

“Ooo, berarti yang dilarang bukan judinya ya, Cak? Tapi aktivitas judi yang ndak diberikan izin sama aparat? Gitu maksud Sampean?” seolah menemukan strategi mengalahkan lawan, mata Pardi membelalak, lantas melukir raja dengan benteng, kini rajanya ada di petak g8.

“Persissss…” Cak Narto mendesis diiringi gerakan kudanya dari petak e2 ke c3.

“Tapi…” Solikin menyela, mengiling kopinya yang mengepulkan asap ke lepek, “…rasanya tetep nggak mungkin pemerintah ngasih izin buat usaha perjudian, Cak?”

“Iya, Cak. Ndak mungkin dikasih izin sama aparat.” Pardi mengafirmasi Solikin seraya memajukan kudanya dari F6 ke petak H5.

“Ha kenapa ndak mungkin? Wong Gubernur Ali Sadikin aja pernah ngasih izin perjudian dan tempat hiburan malam untuk beroperasi di Jakarta, kok. Dan pajaknya terbukti bermanfaat bagi pembangunan Ibu Kota waktu itu.” Ujar Cak Narto mantap. Gajah yang telah terbuka jalannya melesat ke petak G5.

Suasana hening sejenak. Solikin tercenung membaca berita di gawainya tentang prestasi Gubernur Ali Sadikin saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) yang berhasil mendongkrak pendapatan daerah dari hanya Rp66 juta per tahun menjadi Rp122 miliar pada 1977, lewat pajak judi, pelacuran, bar, dan panti pijat.

“Tapi kalau dilegalkan, Cak, yang rugi kan ya masyarakat sendiri, to. Wong sekarang masih ilegal saja banyak yang kebulet utang buat main slot gitu, kok. Judi itu candu, Cak.” Gajah Pardi maju menghadang di petak F6.

“Lho ya ndak papa, to…” dengan cepat gajah Cak Narto memakan gajah Pardi, “…daripada seperti sekarang, yang main judi banyak, yang rugi karena kalah juga banyak, tapi keuntungan bisnisnya cuma dinikmati segelintir orang. Ha mending dilegalkan, diatur tempatnya, penyelenggaranya, terus dikumpulkan pajaknya. Nah, nanti duit pajaknya ‘kan bisa dimanfaatkan buat kepentingan masyarakat.”

“Halah nanti pajaknya juga dikorupsi lagi, Cak…” pion Pardi memakan gajah Cak Narto.

“Memajaki sesuatu itu satu hal dan korupsi atas uang pajak yang terkumpul, itu persoalan lain lagi, Ndes.” Menteri Cak Narto dimajukan ke petak D2.

“Tapi memang angkanya gila juga sih, Mas Di…” Solikin menyela dengan pandangan masih ke arah layar gawainya, menyitir berita di dunia maya “…pada 2012, hanya dari dua resor yang terintegrasi, Marina Bay Sand (MBS) dan Resor World Sentosa (RWS) yang bergerak di sektor perjudian dan hiburan, Singapura meraup penghasilan bersih sebesar Rp56,8 triliun.”

“Biyuuuh…duit semua itu?” Pardi terkekeh seraya memajukan pion ke petak F5.

Suasana tiba-tiba hening. Cak Narto tampak serius menekuri papan catur. Pionnya di e4 memakan pion Pardi di f5. Pardi merespon cepat dengan memakan pion itu dengan gajahnya dari petak pertahan c8. Kini pion Cak Narto melompat ke g4.

“Skak!” Pardi memecah hening. Ia mengancam raja Cak Narto di ujung papan dengan benteng yang digeser ke petak E8. Cak Narto terlihat masih tenang.

“Tapi, Ndes, meskipun demikian, aku setuju bahwa hal ini, legalisasi perjudian itu, memang sulit terjadi di sini,” suara Cak Narto terdengar bestari diiringi gerak menghindar rajanya ke petak D1.

“Kenapa gitu, Cak?”gajah Pardi melesat menghantam kuda Cak Narto di petak B1.

“Ya, sebab bagi mereka, pihak-pihak yang diuntungkan itu tadi, perjudian harus tetap menjadi pasar yang gelap, ilegal dan pelakunya sembunyi-sembunyi. Jika terang benderang dan legal, mereka akan kehilangan sumber pendapatan bermiliar-triliun itu tadi. Nggak ada konsorsium 303 segala.” Jawabnya pendek sambil mendepak gajah Pardi menggunakan bentengnya.

“Judi itu amoral, Cak. Candu! Menjanjikan kemenangan semu! Merugikan masyarakat! Sudah benar dilarang sama pemerintah!” Pardi mulai menyerang argumen diiringi menteri yang melesat diagonal ke petak F6.

“Sampean kok ngomongin moralitas bangsa ini, Mas Di. Wong geger konsorsium judi ini kan justru telah memperlihatkan amoralitas yang paripurna,” timpal Solikin ketus.

“Akur, Kin…” pion Cak Narto memakan kuda di H5 diiringi senyum simpul.

“Dengan pertimbangan yang sama berarti sektor prostitusi juga bisa dilegalkan? Gitu maksud Sampean, Cak?” Menteri Pardi digerakkan lurus memakan pion di F3, mengancam raja yang sedang bersembunyi di petak D1.

“Kalau perlu boleh juga, Di. Sebab, aku juga yakin di sektor itu ada pihak yang ambil untung dengan status ilegal, hehehe.” Cak Narto terkekeh, rajanya melipir ke C2.

“Kalau alasannya hanya pendapatan negara, Cak, melegalkan kemaksiatan itu bentuk kemunduran bagi peradaban luhur bangsa ini,” menteri Pardi merobohkan benteng di sudut H1. Cak Narto terdesak, tapi seringai aneh menggantung di wajahnya.

“Gini lho, Di, maksudku daripada kita meributkan dunia gelap perjudian yang dibekingi para pembesar, kayak konsorsium 303 ini, yang keuntungannya hanya bisa dinikmati mereka, solusinya ya legalisasi. Toh peraturannya memberikan peluang untuk itu, kok. Urusan moralitas biar kita cari sendiri-sendiri, lah. Lagipula…”

Cak Narto menjeda, menggeser menteri ke F2,“…Sejarah telah mencatat bahwa perjudian sudah ada sejak dulu. Memberantasnya itu mustahil. Sama dengan mustahilnya kamu ngalahin aku di babak ini, hehehe”

Pardi terkesiap, menerka strategi apa yang ada di kelapa lawannya. Solikin ikut memelototi papan catur. Cak Narto sibuk mengupas lipatan kertas bungkus kreteknya.

Pardi memajukan kuda dari B8 ke A6. Cak Narto merespon cepat dengan memajukan gajah di F1 ke D3, membuka ancaman kepada menteri di sudut H1. Kuda Pardi merangsek ke petak B4, mengancam raja di C2. Raja Cak Narto beringsut ke D2. Pardi menyepak gajah di D3 dengan kuda di B4, mengancam menteri di F2. Raja Cak Narto memakan kuda di D3, membuat menteri Pardi di sudut terancam oleh bentengnya di petak B1.

Cak Narto tiba-tiba berdiri. Merogoh kunci motor di sakunya.

“Jadi kesimpulannya, Kin…” Ia telah duduk di atas motor, siap berlalu, “…usaha membasmi judi itu perbuatan sia-sia. Sama dengan usaha Cah ini untuk menang tanpa menterinya. Yang untung tetap aku. Hehehe.”

Solikin hanya menahan tawa, sementara Pardi masih memelototi papan catur, seolah masih ada peluang menang di pertandingan itu.

Menteri Pardi tak dapat lagi bergerak menyingkirkan gajah di f1. Bergerak lurus tertutup oleh pion putih di h2. Keduanya terlindungi oleh keberadaan menteri Cak Narto di f2. Bergerak diagonal pun terkunci oleh menteri dan raja.

“Ojo lali, sing kalah mbayari kopiiiii….” Weeeeerr… motor butut itu melesat meninggalkan asap putih pekat.

Di teras warung Pardi membereskan buah catur dengan malas. Ia sadar bahwa baru saja kalah judi, meski hanya dengan taruhan segelas kopi.

Catatan: Pola permainan catur terinspirasi dari pertandingan antara Viswanathan Anand melawan Boris Gelfand pada game ke-8 gelaran The World Chess Championship 2012.

Penulis: Suwatno
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Judi Online Itu Masalah Struktural, Nggak Akan Kelar Hanya dengan Blokir Situs

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version