Mimpi kota pensiun tidak lebih dari kampanye bisnis properti. Bukan untuk memanjakan dan memanusiakan kelompok pensiun, namun menguras kantong mereka untuk terus konsumtif
“Aku mau pensiun di Jogja,” ujar kawan saya. Sambil mengernyitkan dahi, saya hanya geleng-geleng kepala. Untuk apa pensiun di Jogja? Apakah untuk pensiun kita harus bermigrasi? Apakah kita tidak bisa pensiun di tempat tinggal saat ini? Ataukah ini hanya promosi semata?
Otak yang sudah penuh dengan urusan pekerjaan, jadi makin riuh. Konsep kota pensiun hari ini tidak masuk akal. Lebih dari itu, saya melihat ancaman. Sebuah bom waktu yang pada saatnya menjadi kekacauan. Mungkin malah sudah meledak diam-diam di balik mimpi slow living dan masa tua bahagia.
Sudah sewajarnya kita menikmati successful aging. Tapi bukan dengan migrasi dan membawa potensi bahaya ke sebuah tempat. Setiap orang berhak bahagia saat pensiun di mana saja!
Kampanye kota pensiun dan bisnis properti
Tidak perlu teori konspirasi untuk mengetahui proyek di balik kota pensiun. Sudah pasti ini urusan bisnis properti. Iming-iming menikmati masa tua di surga dunia akan berlanjut dengan tawaran properti.
Bisnis kota pensiun memang menguntungkan bagi dunia properti. Pada usia senja, orang cenderung sudah kenyang dengan nilai fungsional. Estetika dan budaya menjadi nilai yang dicari. Untuk bisnis properti, nilai ini jelas mendatangkan profit besar.
Hunian tidak lagi dinilai dari harga per meter. Tidak lagi dihitung dari biaya material dan pengerjaan. Konstruksi bangunan tidak lagi menentukan harga. Namun kecocokan dan emosional konsumen. Apabila sebuah komoditas mulai menyematkan value tambahan ini, sudah pasti harganya meroket.
Maka wajar jika konsep kota pensiun makin riuh. Setiap daerah menawarkan diri untuk menemani masa tua Anda. Terutama daerah “murah” dan asri. Sebut saja Jogja, Solo, Purwokerto, dan lain sebagainya.
Tapi apa ancaman dari kampanye kota pensiun? Maaf, tapi saya akan membuka mata Anda. Jangan menyesal ketika realitas tidak seindah mimpi yang fana.
Bom gentrifikasi dan segregasi
Anda jangan bosan menemukan kata “gentrifikasi” dalam artikel saya, karena isu ini adalah masalah nyata. Apalagi kota pensiun adalah daya tarik besar masuknya kelompok ekonomi makmur.
Karena kota pensiun cenderung suburban, maka akan kontras dengan pendatang yang masuk. Untuk bisa memutuskan tinggal di kota pensiun, maka ekonomi orang itu harus lebih tinggi dari daerah tujuan. Apalagi properti yang ada lebih mahal dari daya beli warga lokal.
Masuknya kelompok makmur akhirnya mendorong pembangunan fasilitas umum dan masuknya investasi lain. Sialnya, semua bukan untuk diakses warga lokal. Tapi untuk dinikmati kelompok makmur yang kini menguasai properti.
Selain gentrifikasi, segregasi sosial menjadi masalah yang ikut menyertai kota pensiun. Datangnya kelompok pensiun (dan makmur) tadi cenderung lebih eksklusif. Potensi gesekan budaya mungkin bisa diatasi. Tapi akan muncul pagar antara warga lokal dan pendatang ini. Baik pagar imajiner atau pagar nyata pemisah pemukiman.
Segregasi ini bisa berdampak pada ketidakstabilan sosial. Diawali dari gegar budaya, berakhir dengan hilangnya identitas lokal. Belum lagi potensi warga lokal yang makin tersudut. Bahkan demonisasi warga lokal akibat kelompok baru yang lebih dominan dalam hierarki sosial.
Seperti ini skenarionya: warga pendatang akan masuk sebagai kelompok eksklusif. Anggap saja dalam satu perumahan. Mereka punya budaya yang senada, sebagai pensiunan dengan ekonomi lebih baik dari warga lokal. Belum lagi pendidikan dan jabatan profesonal.
Kultur yang mereka bawa sebelumnya akan berbenturan dengan budaya lokal. Terutama benturan budaya kota dengan pedesaan. Maka muncul kesan, “warga lokal udik dan tidak terpelajar.” Berlanjut dengan stigma negatif lain yang akhirnya diamini bersama.
Baca halaman selanjutnya
Beban sumber daya yang ditanggung warga lokal
Beban sumber daya yang ditanggung warga lokal
Selain isu yang sudah jadi perdebatan di atas, ada hal yang sering terlewat. Yaitu masalah sumber daya. Sedikit berhubungan dengan gentrifikasi, akan banyak fasilitas yang ditujukan untuk pendatang ini. Sebab, mereka lebih menguntungkan secara investasi.
Kelompok pensiunan cenderung konsumtif. Mereka menghabiskan dana untuk mendapatkan successful aging (menua yang berhasil/sempurna). Maka, investasi pendukung gaya hidup ini akan ikut bertumbuh. Ketika pertumbuhan makin cepat, ada sumber daya yang digunakan.
Sumber daya ini termasuk ruang hijau, akses jalan, sampai air tanah. Warga lokal tidak lagi jadi fokus pembangunan. Sehingga sumber daya ini dialihkan untuk kepentingan kelompok pensiun. Maka tidak kaget jika kota pensiun akan memiliki fasilitas umum premium.
Akan ada pembelian, bahkan perebutan, properti secara ugal-ugalan. Akan ada fasilitas yang eksklusif bagi pendatang. Belum lagi hajat warga lokal yang harus dikesampingkan.
Warga lokal akan makin terpinggirkan. Hanya mampu mengakses fasilitas lokal seperti puskesmas dan pasar tradisional. Nilai properti makin tidak terjangkau, dan ruang publik makin tersekat. Akhirnya sumber daya yang awalnya diakses bersama ikut menjadi eksklusif.
Sialnya, kelompok pensiun bukanlah kelompok produktif. Sehingga mereka akan fokus pada konsumsi. Ketika konsumsi ini dimonopoli, maka warga lokal makin sulit mengaksesnya. Mungkin bukan monopoli langsung, tapi pemisahan berdasarkan kemampuan ekonomi.
Ini bukan skenario khayalan. Ini sudah terjadi di Jogja. Kemungkinan, akan terjadi di destinasi pensiun lain.
Semua berhak pensiun tanpa harus migrasi ke kota pensiun
Sekarang mari kita mundur lagi. Pada alasan mengapa orang membutuhkan kota pensiun. Pertama adalah kebutuhan untuk akses fasilitas umum yang lebih mudah. Kedua adalah berpindah dari suasana padat menuju suasana lebih damai. Ketiga adalah faktor emosional, yang biasanya memang terpengaruh kampanye kota pensiun.
Sebenarnya kita tidak perlu kota khusus untuk pensiun. Karena setiap orang berhak menikmati masa tua dengan nyaman dan aman. Tanpa harus migrasi dan menduduki wilayah asing. Kuncinya adalah pada pemerataan fasum dan tata kota yang tepat.
Bukankah kampanye kota pensiun menawarkan itu semua? Mengapa tidak membentuk setiap daerah senyaman kota pensiun yang viral itu? Ketika semua orang bisa merasakan successful aging tanpa harus berpindah.
Tapi kelompok pensiun bukanlah perhatian pembangunan. Kecuali untuk dieksploitasi tingkat konsumtif dan belanja mereka. Maka kebijakan untuk kelompok pensiun tidak jadi prioritas utama. Ceruk inilah yang dimanfaatkan kampanye kota pensiun.
Maaf, tapi inilah realitas. Mimpi kota pensiun tidak lebih dari kampanye bisnis. Bukan untuk memanjakan dan memanusiakan kelompok pensiun, namun menguras kantong mereka untuk terus konsumtif. Anda benci dengan ini? Maaf, semua sudah terjadi. Tinggal menanti kapan bom waktu di tiap destinasi pensiun meledak.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sisi Gelap Purwokerto yang Harus Kalian Pahami sebelum Memutuskan Hijrah dan Pensiun di Kota Satria
