Komentar (beberapa) orang Indonesia terhadap Rohingya adalah contoh bahwa Hitler dan Netanyahu nggak keliatan jahat-jahat amat
Jika ingat-ingat masa kecil, ada satu fragmen yang begitu membekas di kenangan saya: Bapak senang nampung orang di rumah. Beragam orang yang biasanya Bapak tampung di rumah. Ada cowok mokondo, suami dari kakak sepupu saya, ada supir trayek Depok Timur, ada juga yang coba-coba peruntungan di Pasar Inpres Lenteng Agung. Bermacam orang dari latar berbeda. Tapi, ada satu kesamaan dari orang-orang yang Bapak tampung. Mereka adalah orang-orang yang ingin memulai kehidupan, tapi pemerintah nggak kasih garis start-nya.
Fragmen kenangan itu muncul lagi bulan lalu waktu saya tertarik dan tersenyum simpul membaca komentar di X (transformasi nama yang jelek dari twitter) tentang pengungsi Rohingya. “Tampung aja di rumah kalian kalo kasian!”, begitu komentarnya. Oke, tanda seru itu tambahan dari saya biar ada efek dramatis. Tapi, substansinya masih sama, si pengkomentar keberatan kalau pemerintah membantu pengungsi Rohingya.
Menurut saya, itu ide brilian sekali. Apalagi, setelah saya beralih ke Instagram, dan makin tenggelam ke dalam komentar-komentar di situ, ada satu komentar yang tidak kalah brilian. Katanya, “hati-hati, jangan sampai Indonesia menjadi Palestina kedua.” Wow! Itu berarti, daripada dibantu pemerintah, sebaiknya ditampung saja di rumah-rumah warga (yang kasihan). Itu dilakukan agar ada pengawasan. Takutnya pengungsi Rohingya yang jumlahnya sekitar 1000-an orang saat ini mencoba mengambil alih Indonesia yang berpenduduk menuju 300 juta orang. Persis yang dilakukan warga Israel terhadap Palestina pada 1948.
Daftar Isi
1000 Rohingya bisa menaklukkan Indonesia? Ajaib
Yang kontra tentu akan menjawab, “Logika dong, gimana caranya pengungsi yang jumlahnya cuma 1000 orang bisa menjajah 300 juta orang?!”. Lha, menurut Anda gimana caranya warga DePeEr yang cuma 500-an orang bisa ngeprank orang se-Indonesia? Ya pake kekuasaan, dong. Pasti ada cara orang-orang pengungsian yang jumlahnya satu batalion itu menguasai kejulidan netizen Indonesia yang bikin gentar Israel.
Untuk kalian yang pro Rohingya, nih dengerin ya, pengungsi Rohingya juga menimbulkan berbagai keresahan sosial. Misalnya, kasus pengrusakan rusun di Sidoarjo yang dijadiin konten oleh akun @hamzali_abradinezad (Ali Hamza) dan banyak dikomentari oleh akun-akun berekor angka. Meskipun pada akhirnya disanggah oleh petugas di rusun kalau itu bukan kerjaan pengungsi Rohingya, tapi, saya yakin kejadian itu pasti dipengaruhi oleh mereka. Buktinya, sampai sekarang kontennya belum di-take down sama pengunggahnya. Berarti bener, kan?!
Tanya orang Myanmar langsung
Oke, kalau Anda nggak percaya juga sama kontennya @hamzali_abradinezad, ada juga selebgram, namanya Buk @Aishamaharaniquote. Belio dulu sempat peduli dan bahkan menggalang dana kemanusiaan untuk Rohingya. Plus, Beliau ini pakar kehalalan produk. Berarti argumen-argumennya valid dong.
Belio pernah tanya langsung ke orang Myanmar, bernama Than. Saya ulang lagi ya, ke orang Myanmar, bernama Than. Buk Icha tanya apa sih yang sebenarnya terjadi di Myanmar. Lalu, orang Myanmar, bernama Than itu menjawab—dan dijelaskan seperti yang diposting oleh Buk Icha:
“Awal terjadinya pembantaian, dimulai dari perebutan wilayah oleh Rohingya terhadap Rakha dengan melakukan kekerasan pada Rakha, dan tentu saja pemerintah Myanmar membela suku aslinya dan mengusir Rohingya. Sehingga sampai saat ini mereka menolak adanya Rohingya.”
Metodologi yang dipakai Buk Icha dalam memverifikasi fakta begitu out of the box. Bahkan bisa dibilang jump outside the box. Belio bertanya langsung kepada orang Myanmar, bernama Than tentang apa yang terjadi kepada etnis Rohingya. Ini seperti orang Indonesia bertanya kepada warga Israel tentang apa yang terjadi kepada orang-orang Palestina. Norman Finkelstein bisa jadi geleng-geleng kepala sama fact check gaya Buk Icha.
Definisi genosida yang diubah semau gue
Barangkali ada pembaca tidak percaya dengan para outsider seperti Ali Hamza dan Buk Icha yang mengatasnamakan warga Aceh. Sehingga bertanya-tanya “can’t the subaltern speak?” seperti yang pernah digemakan oleh Pak Gunawan Mohamad, yang berumah dalam kekaburan (kata Roy Murtadho). Maka, Cut Anggi lah yang dituju.
Videonya banyak bertebaran di TikTok. sedang menceramahi pakar hukum tata negara, the one and only, Pak Mahfud MD. Menurut the Special One, Pak Mahfud MD, dunia pernah menunjukkan solidaritas kepada Aceh saat dilanda Tsunami tahun 2004. Sehingga sepatutnya Aceh juga perlu tunjukkan solidaritas kepada pengungsi Rohingya. Namun, Cut Anggi menjawab dengan sangat brilian:
“Kalau mereka (etnis Rohingya) sekarang bukan lagi korban genosida, dan bukan korban bencana alam, tapi mereka lari dari kamp di Bangladesh, dan ini bukanlah sebuah bencana tapi pilihan mereka datang ke Aceh. Jangan disamakan!”
Apa yang dilakukan Cut Anggi adalah mendobrak pakem lama definisi dari korban genosida. Baginya, seseorang atau sekelompok orang nggak bisa lagi disebut korban genosida kalau kabur dari kamp pengungsian.
Definisi baru yang dibuat oleh mbak-mbak dari suatu tempat di Aceh ini sangat berimplikasi luas terhadap peta politik keamanan internasional. Misalnya, Israel dapat berdalih bahwa orang-orang Palestina bukanlah korban genosida jika mereka lari dari kamp pengungsian yang dibombardir siang malam.
Rohingya adalah pengungsi ilegal
Tetapi, dari sekian ide-ide brilian tadi, ada satu yang paripurna. Yaitu ide dari seorang yang mewakili generasi muda. Siapa lagi kalau bukan Gibran Rakabuming Raka. Rumah bagi pelawak-pelawak dark jokes. Person of The Year (versi saya) yang merobohkan kekolotan MK. Gibran membuat pernyataan kalau pengungsi Rohingya masuk secara ilegal. Ya, Anda tidak salah baca. Menurut Mas Gibran, mereka adalah PENGUNGSI ILEGAL.
Meskipun itu adalah sebuah pernyataan, bukan ide, tetapi, ada ide yang dapat ditarik keluar dari pernyataan itu. Yaitu setiap pengungsi harus mengurus visa jika ingin masuk suatu wilayah. Bayangkan, berapa devisa yang diterima negara dari jalur perlakuan terhadap pengungsi. Kedua belah pihak—Rohingya vis a vis Negara—saling untung. Jarang-jarang ada politikus yang memiliki kualitas pemikiran seperti itu. Selain humanis, juga ekonomis.
Orang-orang anti-Rohingya yang saya sampaikan tadi memiliki latar belakang berbeda. Dan setelah membaca cukup panjang, saya yakin para pembaca punya kesimpulan yang sama dengan saya. Ya, betul. Hitler dan Netanyahu ternyata nggak jahat-jahat amat.
Penulis: Mohammad Ali Dosti
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kelakuan Biadab Mahasiswa yang Mengusir Pengungsi Rohingya di Aceh