Pembicaraan mengenai buzzer mungkin sudah sering mondar-mandir di timeline kita dan karenanya agak menjenuhkan. Namun, apabila orang-orang kayak Abu Janda atau Denny Siregar masih eksis, rasanya ghibahin mereka memang enggak bakal ada habisnya.
Kamu tahu kan rasanya stalking akun mantan, ngepoin apakah dia bahagia sekarang, sudah punya penggantimu atau belum? Iya. Persis sekali rasanya. Dibuka ya nyakitin. Enggak dibuka ya bikin penasaran. Lihat buzzer ya bikin gemes. Enggak dilihat kok ada yang kurang gitu asupan baku hantam sehari-harinya. Eh…
Lagian, kenapa sih si Permadi Arya itu kudu pakai nama panggung “Abu Janda”? Sumpah. Sebagai seseorang dengan nama asli yang ada “Abu”-nya, saya jadi korban ledek-ledekan teman.
Meski tak semua “Abu’ buruk, ambillah Abu Bakar atau Imam Abu Hanifah, yang disematkan pada saya pasti yang jelek. Kehadiran Abu Janda menambah daftar ledekan “Abu”. Dari yang awalnya konsisten “Abu Jahal” atau “abu gosok”, sekarang jadi ada nama panggung pria sialan yang ngaku aktivitas itu.
Meskipun kejahatan Abu Jahal lebih melegenda, kadang kala saya malah memilih dipanggil itu daripada Abu Janda. Geli.
Barangkali inilah yang dirasakan orang-orang bermarga “Sinaga” beberapa waktu lalu. Tosss…
Tapi okelah, itu urusan paling sentimentil yang berhubungan dengan nama saya. Yang paling meresahkan adalah: kok bisa sih masih ada yang percaya sama cecunguk-cecunguk kayak Abu Janda atau Denny Siregar?
Saya enggak (hanya) bicara soal buzzeRp saja lho, ya. Mau buzzeRp kek, buzzeR$ kek, pokoknya yang setipe kayak mereka berdua. Fix. Titik.
Ada beberapa masalah dasar yang ada pada mereka. Pertama, mereka tak pernah berargumentasi secara saintifik. Kedua, mereka cuma ngandelin emosi kolektif massa. Ketiga, mereka menjebak orang-orang dalam fanatisme buta tanpa ampun.
Tarik napas panjang dan, oke, mari kita bahas yang pertama.
Ada siapa pun di sini yang pernah lihat Abu Janda, Denny Siregar, atau Neno Warisman dan Hanum Rais bikin argumentasi saintifik? Saya acungi jempol kalau ada. Sebab selama ini, saya tak pernah mereka—meskipun telah jadi figur publik—memberikan analisis-analisis berdasar.
Yang satu cuma bisa bilang segala hal akan baik pada waktunya karena langkah catur Pak Dhe dan kita hanya perlu taat dan siapa pun yang tak setuju berarti musuh negara. Yang satunya lagi apa pun topik yang sedang diperdebatkan, khilafah adalah solusinya!
Perilaku semacam ini tentu amat memuakkan. Menyambung langsung ke poin kedua, kapasitas otak para buzzer mungkin hanya mampu membangun narasi dengan kalimat-kalimat konyol, potongan berita, atau pesan siaran enggak jelas di Grup Whatsapp.
Kalau nggak percaya, langsung saja cek di akun-akun atau laman-laman buzzer.
Soal ini, sesungguhnya saya agak miris melihat bagaimana orang-orang bisa percaya dengan narasi-narasi tampol-able yang dikeluarkan buzzer-buzzer itu. Lha gimana, ya, masa iya katanya Jokowi merupakan presiden terbaik soal pengatasan pandemi, juga punya tenaga dalam untuk mengatasi semua masalah. Ini kan lucu sekali.
Saya sampai tak bisa berkata-kata melihat ini. Salah satu kawan Facebook, namanya Keenan Nasution, bahkan sampai membuat album foto khusus berisi screenshot-an tingkah aneh para buzzer. Judulnya: WHAT A WONDERFUL WORLD.
Kalau sudah begini, yang muncul emosinya secara kolektif bukan hanya para pendukung kelompok tertentu. Orang-orang macam saya atau Keenan pun ikutan darah tinggi. Virus Corona pun mungkin akan marah-marah kalau lihat kelakuan mereka.
Biasanya kalau udah berhasil bikin narasi-aneh-tapi-dipercaya dan mengaduk-aduk emosi warganet, buzzer bakal dengan mudah bikin pembacanya jatuh ke poin ketiga, yakni fanatisme buta. Sejak kapan pun, sikap ini memang bermasalah.
Bagaimana tidak, orang yang nalarnya udah partisan biasanya bakal tak mau menerima kritik, suka memvonis siapa pun di luar lingkarannya salah—bahkan menganggap mereka sebagai musuh mutlak yang harus dibasmi.
Kalau si A sudah dipakem benar, pokoknya kentutnya pun mengandung segala macam hikmah kehidupan. Sebaliknya, kalau si B sudah dijatuhi stempel salah, maka apa pun yang dilakukan akan tampak sebagai ancaman.
Oke, oke, barangkali ada yang bilang: bukannya sah-sah saja ya mendukung seseorang?
Iya, Dik, benar sekali. Namun apa yang hendak ditampilkan dari dukungan yang membabi buta, kecuali bahwa yang pertama kamu bodoh dan kedua kamu bodoh sekali?
Mendukung seseorang bukan berarti mengkultuskan dan menganggap suci—bahkan nabi saja berbuat salah, lho! Dalam jangka waktu pendek mungkin terasa biasa saja. Namun dalam jangka waktu panjang, sikap tersebut akan membuat orang yang kita dukung semena-mena karena tak biasa mendengar kritik.
Lagipula, tiap orang punya subjektivitas masing-masing kok. Mendukung seseorang itu hal wajar. Mengkritiknya saat melakukan hal salah adalah sikap ksatria.
Masalahnya, dari golongan pendukung kelas atas, tradisi semacam ini tak dibiasakan. Padahal akibatnya terpampang jelas sekali, termasuk dalam penanganan Covid-19 yang hingga kini belum mencapai performa terbaik.
IDI bilang data pemerintah miss dibilang kadrun. Kritis terhadap pemerintah malah disuruh nyalain lilin. Menteri-menteri yang omongannya ngawur dan sekarang hilang pun dibela-bela matian. Mon maap nih, itu menteri apa temen yang lagi ditagih utang?
Dengan berbagai hal di atas, konyol saya rasa kalau masih ada yang percaya Abu Janda atau Denny Siregar cs.
Benar kata salah satu pepatah Thailand: Mị̀ chạdcen lūkchāy k̄hxng s̄unạk̄h tạwmeīy!
Artinya: enggak jelas, bangsat!
BACA JUGA Para Buzzer Pemerintah yang Terlahir di Luar Istana atau tulisan Ahmad Abu Rifai lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.