Saya tidak terlalu menyukai makan di restoran mewah. Tidak suka bukan berarti tidak mau, ya. Ini murni karena ketahanan ekonomi saya masih belum cukup untuk melakukannya. Kalaupun saya bisa makan di restoran mewah, paling-paling itu karena ikut acara makan-makan dari kantor. Sejak bekerja saya memang jadi lumayan sering makan di restoran yang mewah. Atasan saya kerap mengajak karyawannya makan di restoran mewah yang ada di Kota Pekalongan.
Bagi saya makan di restoran elite adalah mukjizat. Maklum, UMR Kota Pekalongan yang terbilang rendah, menurut saya, tak memenuhi prasyarat untuk makan di restoran yang mewah. Apalagi di tengah kebutuhan hidup yang kian mahal.
Walaupun UMR-nya kecil—Rp2,3 juta—restoran mewah menjamur di Kota Pekalongan, lho. Hal itu memaksa saya merenung. Kok banyak restoran mahal di Kota Pekalongan sementara UMR-nya saja kecil? Kegelisahan ini saya utarakan kepada rekan kerja saya. Dan akhirnya, dari hasil perenungan yang dalam, saya menemukan alasannya.
Target restoran mahal bukan cuma warga lokal
Awalnya, saya ingin memasukkan alasan bahwa di Kota Pekalongan, hotel dan restoran pajaknya bisa menunggak. Tapi, saya urung menyebut itu alasan karena sulit untuk tahu bahwa pengusaha restoran dan hotel bisa menunggak bayar pajak seenak perut.
Memang betul pada sepanjang tahun 2014-2015, banyak pengusaha restoran dan hotel di Kota Pekalongan yang menunggak pajak. Dilansir dari Kontan, jumlah tunggakannya mencapai Rp400 juta. Meski begitu, saya rasa nggak perlu kita mengungkit hal itu lagi. Saya percaya, sekarang ini para pengusaha restoran dan hotel di Kota Pekalongan sudah taat pajak.
Kembali ke persoalan awal, kenapa banyak restoran mewah di Kota Pekalongan padahal UMR-nya kecil, seorang teman berusaha menjawab kegelisahan saya. Ia mengatakan, restoran mewah yang buka di Kota Pekalongan tak lantas pembelinya orang lokal. Bisa jadi targetnya memang bukan hanya warga Kota Pekalongan.
Setelah meresapi hal itu, saya rasa perkataan kawan saya itu benar. Apalagi mengingat Kota Pekalongan bukan tujuan wisata, melainkan kota singgah. Jadi, pelancong datang hanya untuk mampir di Kota Pekalongan. Itulah yang mungkin jadi alasan mengapa restoran atau kafe mewah menjamur di Kota Pekalongan.
Saya jadi teringat pernah melakukan wawancara dengan seorang pemilik rumah makan yang elite. Waktu itu restorannya ingin diulas oleh website lokal yang saya kelola bersama sejawat. Saya agak lupa namanya. Namun, saya ingat betul apa yang pemilik restoran itu sampaikan. Ia bercerita soal restorannya, mulai dari menu, sejarah berdirinya, sampai ke tata letak baik interior maupun eksterior.
Ketika saya bertanya apakah banyak pembeli lokal datang, sang pemilik restoran mengatakan ada tapi tidak banyak. Bahkan, katanya jumlah pembeli dari luar kota jauh mendominasi. Lebih lanjut blio bilang memang target pasarnya bukan hanya penduduk lokal, malah blio lebih memprioritaskan pelancong. Maka dari itu, ia menata sedemikian rupa restorannya. Ada rumbai-rumbai tumbuhan di dinding dan langit-langit. Usut punya usut, pemilik restoran itu tahu Kota Pekalongan punya tempat wisata baru, dan ia mengincar wisatawan dari luar kota.
Jualan tempat
Teman yang mendengar kegelisahan saya menjelaskan secara lugas mengapa harga makanan dan minuman di restoran mewah itu mahal. Singkatnya, karena yang dijual adalah tempatnya, bukan makanan atau minumannya. Begitu pula kafe dan restoran mewah di Kota Pekalongan.
Ini memang alasan yang klise. Saya sering mendengar alasan ini, tapi barangkali memang seperti itulah keadaannya.
Ketika diamati, banyak restoran mewah di Kota Pekalongan yang tampilannya cukup menawan. Dindingnya bersih, kacanya apalagi, dan yang paling penting penataan interiornya sering kali bervariatif, ada semacam tema yang diambil. Jadi, setiap restoran memang memiliki temanya masing-masing. Intinya ya cuma satu, biar cozy abis.
Saya cermati, segala detail yang menyangkut estetika diperhatikan betul oleh si pemilik restoran. Bahkan sampai ke pemilihan jenis piring, sendok, garpu, gelas, sampai penampan. Asumsi itu saya konfirmasikan ke salah satu pemilik kafe di Kota Pekalongan. Dan benar, blio mengatakan bahwa di kafenya yang jadi barang jualan adalah tempatnya. Tapi mengapa?
Gengsi orang Pekalongan tinggi
Teman saya kembali memberi jawaban. Katanya, restoran mewah itu nuruti gengsi warga Kota Pekalongan yang tinggi. Tapi, apa benar begitu? Bisa jadi benar, dan kemungkinannya cuma itu.
Buat apa pemilik restoran mendesain restorannya sebagus dan semenawan itu kalau tidak untuk latar foto? Salah satu pemilik restoran yang saya wawancarai juga secara tidak langsung berkata demikian.
Katanya, blio sengaja menata interior dan eksterior restorannya dengan tema hutan memang untuk jadi objek foto. Malah dia menyediakan spot foto khusus. Dengan begitu orang tidak sekadar datang untuk makan, tapi juga datang untuk nyetok foto.
Foto di restoran mewah, meski itu hanya sekali dan untuk ke sana nabungnya setengah mampus, bisa menaikkan derajat setiap insan di Kota Pekalongan. Artinya, gengsi terpenuhi.
Apalagi di era post truth seperti sekarang ini. Tidak pernah ke restoran mewah sering dianggap cupu, mati gaya, atau ya paling tidak norak. Tapi soal itu, saya tidak masalah, sih. Menuruti gengsi, berfoto bersama atau swafoto dengan latar restoran mewah bisa jadi langkah ampuh untuk menyembunyikan betapa menderitanya warga Kota Pekalongan.
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Kreatif, Pembangunan Terbaik, dan Kebohongan Lain tentang Kota Pekalongan yang Harus Diluruskan.