Saya tersentak saat melihat postingan Instagram teman saya yang mempromosikan joki tugas. Andai saja teman saya yang membuat postingan bukan mahasiswa, saya akan biasa-biasa saja melihatnya. Bagaimana tidak mau biasa saja, kenyataan di lapangan banyak sekali orang membuka jasa joki tugas.
Yang akhirnya membuat saya tersentak, ketika melihat teman saya yang membuat postingan Instagram adalah seorang mahasiswa. Saya tersentak ketika dia seorang mahasiswa mempromosikan jasa joki tugas mahasiswa dengan kalimat manis. Seolah menormalkan kalau mahasiswa sudah biasa dan harus memakai jasa joki tugas.
Miris hati saya kala melihatnya. Bukan tentang kalimat manisnya saat mempromosikan, melainkan tentang identitas mahasiswanya. Mahasiswa yang konon sebagai agen perubahan, kok malah menjadi agen keburukan dengan mengajak mahasiswa untuk memakai jasa joki tugas.
Lebih miris lagi manakala teman kelompok yang juga seorang mahasiswa, menceritakan jika dirinya pernah menggunakan jasa joki tugas. Bukan hanya miris, melainkan pedih saat mengingat dirinya bercerita dengan bangga.
Ini bukan tentang hak individu menggunakan kebebasan hidupnya. Namun, lebih kepada tanggung jawab identitas sosial sebagai seorang mahasiswa. Bukankah sebagai seorang mahasiswa, sudah memiliki kesadaran kritis? Jika memang iya, saya tidak akan berlebihan mengatakan mahasiswa yang mempromosikan dan menggunakan jasa joki tugas, sudah kehilangan kesadaran kritisnya.
Lari dari tanggung jawab
Bukannya tanpa alasan. Pertama, jika mahasiswa memilih menggunakan jasa joki tugas, sama saja dia lari dari kewajibannya. Tugas seorang mahasiswa adalah menuntut ilmu pengetahuan. Memang benar ilmu pengetahuan bukan hanya dari bangku kuliah saat mengerjakan tugas. Kendati demikian, mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas sama saja menenggelamkan dirinya pada kemandegan menjelajahi pengetahuan.
Sebab, pola belajar mahasiswa di kuliah berbeda saat di bangku sekolah. Di kuliah, dosen sebagai pengajar, tidak akan membimbing mahasiswa secara penuh karena kesibukannya. Sehingga, mahasiswa harus mau belajar dengan mandiri. Dengan kata lain, dosen memberikan tugas pada mahasiswa, agar mahasiswa mencari sumber pengetahuan lain di luar kelas.
Dengan tugas dari dosen, mahasiswa otomatis akan membaca literatur lebih luas dari berbagai referensi. Mahasiswa juga mendapatkan pengetahuan dari data hasil penelitian ketika tugasnya berbentuk riset. Lah, kalau mahasiswa menggunakan jasa joki tugas, berarti dirinya tidak akan membaca banyak literatur dan tidak mendapatkan pengetahuan baru dari hasil risetnya.
Buang-buang duit
Kedua, apabila mahasiswa menggunakan jasa joki tugas, sama saja dia berkuliah hanya menghabiskan uang orang tua. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kalau menggunakan jasa joki tugas, berarti tidak akan mendapatkan pengetahuan dengan baik. Jika demikian, berkuliah hanya bertujuan menghabiskan uang orang tua.
Bukan hanya habis untuk keperluan makan dan jajan. Melainkan habis untuk membayar jasa joki tugas yang harganya terbilang mahal. Setelah saya menelisik di berbagai akun jasa joki tugas, harganya bukan main. Paling murah saja dengan penugasan sepele, misalnya membuat PPT, harga terendahnya lima puluh hingga seratus ribu. Sedangkan kalau penugasannya berbentuk laporan penelitian bisa seharga empat ratus ribu sampai jutaan, tergantung tingkat kesulitannya.
Maka rugilah mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas. Mereka rugi tidak bisa memperoleh pengetahuan dengan baik, sekaligus rugi dalam hal finansial. Apabila demikian, maka sama saja menghabiskan uang orang tua dengan sia-sia. Sedangkan, pengeluaran orang tua untuk biaya kuliah bisa menghabiskan jutaan rupiah. Betapa perihnya hati orang tua ketika mengetahui anaknya menggunakan jasa joki tugas.
Nggak mau susah karena tugas? Nggak usah kuliah sekalian
Ironisnya lagi, mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas, juga sama saja hanya ingin merasakan bahagianya saja saat berkuliah, tanpa mau menelan pahitnya. Padahal, tidak ada hidup yang dilalui tanpa penderitaan terlebih dahulu. Aristoteles saja mengatakan kalau pendidikan akarnya pahit, tetapi buahnya manis.
Jangan sampai berkuliah hanya ingin merasakan manisnya saja. Merasakan manisnya dengan metode berkuliah hanya menumpang duduk, kemudian saat wisuda datang awal. Lalu, mengunggah foto wisuda memegang toga dan ijazah di media sosial dengan caption seolah-olah berjuang hingga berdarah-darah selama berkuliah.
Kalau kuliah hanya mau mencari muka, lebih baik tidak usah kuliah. Mending menggunakan uang biaya kuliah untuk membeli skin care. Dan apabila kuliah orientasinya hanya untuk mengejar ijazah dan gelar, mending tidak perlu berkuliah. Toh, sekarang banyak sekali orang membeli gelar dan ijazah. Jadi tidak perlu susah payah harus sampai menunggu bertahun-tahun baru dapat gelar dan ijazah.
Dilema lainnya ketika mahasiswa menggunakan jasa joki tugas, mampukah dirinya memberikan sumbangsih bagi masyarakat? Saya risa tidak akan mampu. Sebab, memberikan sumbangsih bagi masyarakat, membutuhkan kompetensi dan keahlian sesuai bidangnya. Bagaimana bisa mahasiswa pengguna jasa joki tugas mampu membangun kompetensi dan keahliannya, sedangkan dirinya saja malas-malasan untuk mengerjakan tugas.
Kalau sudah begini, masih pantaskah kampus bertahan hingga sekarang? Sedangkan secara histori, keberadaan kampus diciptakan sebagai tempat untuk membangun intelektualitas. Namun itu dulu, sekarang kampus bukan lagi menjadi sarana menciptakan intelektualitas. Kampus sudah beralih fungsi menjadi ruang menggiurkan bagi para penyedia jasa joki tugas. Miris!
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mahasiswa Malas, Joki Skripsi Kipas-kipas