Bagi sebagian dari kita, dosen killer barangkali suatu momok menyeramkan. Seperti gelarnya, mereka seolah memiliki insting “pembunuh” berdarah dingin; tak segan-segan memarahi jika mahasiswanya salah, tanpa ragu memberikan nilai buruk saat yudisium jika memang begitulah keadaannya dan tak khawatir dicap buruk oleh orang lain.
Dosen killer sudah menjadi semacam legenda di tiap kampus—bahkan tiap jurusan. Tidak ada yang tidak. No dosen killer no party.
Karena terkenal dengan imej menakutkan, banyak mahasiswa yang tak mau bersinggungan apalagi berurusan dengan mereka. Dosen killer tak pernah jadi digosipkan cukup jauh. Mentok-mentok ya hanya dijadikan guyonan soal kegalakannya. Cuma sampai di sana.
Namun, sebagai manusia biasa, dosen killer tentu punya sisi lain dari yang biasa mereka perlihatkan. Pada titik tertentu, mereka bisa jadi lucu bahkan konyol. Salah satu kisah yang membuat saya berpikir bahwa mereka sebetulnya tidak perlu ditakut-takuti amat datang dari kawan saya di Jogja. Dia bercerita salah satu dosen killer di kampus pernah berdebat dengan hantu.
Yap. Anda tak salah baca. H A N T U. Dosen killer kawan saya berdebat dengan dedemit. Hebat, kan?
Apakah dosen kawan saya itu kawannya Ki Soleh Pati dan sering ikut jalan-jalan Tukul? Tidak.
Apakah dia titisan Jon Snow? Tidak juga.
Apakah dia maha benar? Kalau ini, sih, bisa jadi. ehehe
Tanpa menunda-nunda lagi, inilah kisah yang sebelumnya dikisahkan kawan saya:
Suatu sore, seorang mahasiswa bimbingan skripsi sedang menunggu dosen dosbingnya di depan ruang dosen. Sebenarnya saat itu sudah bukan sore lagi, melainkan petang mendekati waktu Maghrib. Jam-jam segitu sebetulnya bukanlah jam bimbingan yang lazim. Hanya saja, karena sang dosen yang begitu sibuk dan hanya punya waktu bimbingan saat itu, maka tak ada pilihan lain. Si mahasiswa—sebut saja Bobby—pun menunggu dengan setia karena sudah janjian.
Menit demi menit berlalu, tapi sang dosen belum juga datang. Kebetulan, kala itu malam Jumat. Dan gedung jurusan Bobby terkenal angker di kampus terbesar Jogja itu. Saat menunggunya, sang dosen killer (bukan dosbing Bobby, selanjutnya panggil Pak Adam) keluar dari kantor. Ia kebetulan ada beberapa pekerjaan dan baru selesai menjelang maghrib.
Melihat Bobby duduk sendiri di depan ruang dosen, Pak Adam pun menyapa.
“Nunggu siapa kamu jam segini?”
Bobby hanya diam.
“Kenapa kamu ditanya cuma diam?”
Bobby mendongak—memandang wajah sang dosen. Ia menyeringai.
“Kamu ini tidak sopan ya! Sudah tidak jawab pertanyaan saya, sekarang menatap saya seperti itu!” Pak Adam mulai muntab.
Mata Bobby kian melotot. Ia berdiri memandang Pak Adam. Tak gentar sama sekali. Merasa diremehkan, Pak Adam akhirnya membentak-bentaknya. Biasanya tiap mahasiswa yang ia bentak langsung ngacir, tetapi Bobby tidak. Ia menjawab segala perkataan sang dosen killer tanpa tedheng aling-aling.
Baku hantam hampir saja terjadi jika dosbing Bobby tak segera datang. Melihat ada yang tak beres dengan Bobby yang bertengkar dengan Pak Adam, ia segera melerai. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya tahu jika yang berdebat dengan Pak Adam bukanlah Bobby.
“Dia kesurupan, Pak. Maaf,” jelasnya. Saya tak perlu menjelaskan ekspresi atau perasaan sang dosen killer; kita semua tahu
Dosbing Bobby pun segera menjelaskan itu dan meminta bantuan TU untuk menyadarkannya.
Konyol, bukan?
Jika saya berada di tempat kejadian perkara, saya pasti akan bingung. Bingung mau tertawa atau takut. Yang jelas, peristiwa ini menegaskan jika dosen killer tidak selalu membuat urat kita tegang. Ada sisi-sisi berbeda yang jarang atau tak pernah kita lihat. Bahkan dalam kegalakannya itu, barangkali kita bisa tertawa terpingkal-pingkal.
Bagi saya, sebetulnya dosen galak itu juga baik. Kita tahu, kadang-kadang kita memang harus dibentak agar sadar. Cara-cara sopan kadang membuat kita terlena. Kita tak perlu takut pada dosen, kita hanya harus menghormatinya, menaruh kemuliaan pada mereka. Sebab bagaimanapun, merekalah yang memberikan ilmu. Lhoh, kok jadi serius, sih?
Yah, begitulah. Dosen killer juga manusia~