Saya terkenal sebagai orang yang sabar. Bukan klaim sepihak, tapi memang itulah yang diamini teman-teman saya. Mereka membuktikannya dengan menguji saya. Dari hal paling sepele misal menyebut nama orang tua saya (macam olok-olok anak kecil), mengejek rambut saya yang keriting, sampai dengan menyebut saya anak haram dan semacamnya. Tapi, tetap tidak membuat pertahanan emosi saya jebol. Hal yang sama juga terjadi ketika ada teman yang berbicara menyerempet hal-hal mengenai pacaran, kisah cinta, pilihan untuk menikah atau tidak, sampai pada hal yang lebih menjurus, yaitu orientasi seksual.
Semuanya tidak lantas membuat saya murka. Bukan, bukan karena saya tidak punya prioritas atas itu. Saya punya banyak pertimbangan terhadap masalah satu ini, tentu saja yang membuat saya menjadi sangat hati-hati dan tidak asal njeplak.
Ada banyak pertimbangan seperti yang pernah saya tuliskan dalam artikel “Saya Bukannya Antimenikah, tapi Punya Pertimbangan yang Kompleks”. Satu dari sekian alasan sudah saya tuangkan di artikel tersebut. Masih banyak lainnya. Tapi, mari saya ceritakan satu lagi kisah cinta yang membuat saya memenuhi ekspektasi untuk lebih baik menjalani cinta platonis saja daripada terjebak cinta yang tidak memberikan manfaat sama sekali itu. Menikah, nanti bakal menyesal, tidak menikah juga sama saja bakal menyesal.
Saya pernah menjalani sebuah kisah cinta dengan seorang wanita (tentu pujaan) selama kurang lebih 3 tahun. Waktu yang relatif lama jika kami menganggap itu hanya main-main. Lha wong pas nembak dia aja saya bilangnya gini, kok, “Maukah kamu menjadi istriku?” Sebuah ajakan berpacaran (baca:menikah) yang tentu tidak ada unsur main-mainnya sama sekali.
Tapi, itu juga akan terkesan main-main jika saya ceritakan detail kami berpacarannya. Saya yang di Surabaya dan doi yang di Jogja membuat kami menjalani kisah jarak jauh (LDR). Masih normal karena orang juga menjalani hal yang sama. Sampai pada suatu waktu ketika si doi memblokir saya yang sebelum itu menjelaskan panjang lebar tujuannya. Tentu saja tidak akan saya bongkar di sini semua isi pembicaraan kami. Yang pasti setelah itu, kami berkomunikasi dengan satu aturan main, menulis surat lalu dikirim melalui email. Cara yang cukup ndeso bener, mengingat teknologi sudah secanggih ini.
Percaya tidak percaya, setelah sebelumnya kami mencapai milestone tahun pertama pacaran dengan komunikasi intens dan normal, setahun setelahnya kami lalui dengan cara tadi itu, komunikasi melalui email. Saya yang menggunakan Yahoo Mail sedangkan doi Gmail.
Kisah cinta tumbuh? Tentu saja. Bagi yang pernah atau akan pacaran, mungkin mengalami hal yang sama. Tidur tidak nyenyak karena kepikiran doi. Makan tidak enak juga karena kepikiran doi. Untungnya saya lumayan kuat udan tidak terserang tipes karena kebanyakan mikirin doi. Dengan kondisi yang kadang seminggu baru ada surel masuk dari doi yang lantas saya balas juga dengan surel itulah, kisah cinta kami semakin kuat.
Sampai pada tahun terakhir kami menjalani masa penjajakan (pacaran), hal-hal buruk mulai menyerang. Doi harus pulang ke kampung halamannya setelah menyelesaikan studinya. Tidak perlu saya sebutkan karena saya tidak mau spoiler. Doi juga yang tentu saja sudah menyelesaikan salah satu fase paling krusial dalam hidupnya (wisuda) segera menyatakan kepada orang tuanya bahwa “Arjuna-nya” sudah siap untuk melamar.
Tapi, demi mengetahui bahwa saya adalah orang dari pulau seberang (bukan dari Pulau Jawa), keluarganya mengecam. Terlebih ayah dan ibunya. “Tidak ada jalan untuk orang luar pulau mempersunting anak saya!” Mungkin seperti itu jika doi (katanya) menerjemahkan isyarat dari ayahnya jika sudah bicara masalah bersuami-istri dan menyebut nama saya.
Keluarga besarnya? Saya hanya bisa berharap kepada satu orang abang kandungnya yang masih tetap memberi saya semangat untuk tetap berusaha mendapatkan hati keluarganya, terutama bapak dan ibunya. Keluarganya yang lain? Malah menuduh saya menggunakan pelet untuk menggaet doi. Padahal, saya sudah berdarah-darah bersumpah menyebut nama Allah Tuhan Penguasa Semesta bahwa saya jauh dari hal-hal musyrik macam itu. Namun, semakin saya berusaha meyakinkan, semakin besar keyakinan mereka bahwa pelet itu telah merasuk ke dalam diri doi.
Bahkan mereka meyakinkan orang tua doi bahwa pelet itu masuk ke tubuh doi melalui jabat tangan saya dengan doi. Saya mengingat lagi, kapan saya berjabat tangan dengan doi. Dan di seluruh timeline yang bisa saya ingat bersama doi, saya tidak pernah berjabat tangan. Offline maupun online. Tidak sekalipun kami pernah berjabat tangan. Ya karena saya dan doi berkomitmen untuk menjalani “pacaran” se-syar’i itu.
Pernah sekali waktu teman-teman saya dari Terminator cabang Jogja memastikan apakah saya menggunakan pelet atau tidak untuk menggaet doi dengan melihat foto doi. Namun, mereka berani memastikan bahwa untuk sekelas saya, mendapatkan doi, tidak butuh yang namanya pelet.
Sampai akhirnya saya bertekad bahwa cinta ditolak, ya sudah. Toh penolakan itu datang dari orang tuanya, bukan doi sendiri.
Walau pada akhirnya kami juga tetap tidak bisa bersama dan memutuskan untuk sudahi saja kisah cinta itu, saya sendiri berkomitmen untuk menjalani cinta platonis saja. Kekecewaan sudah pasti saya alami. Sebab ekspektasi dari sejak awal saya nembak doi yang memintanya untuk jadi istri saya, dan diterima. Namun, tidak berarti saya akan berhenti untuk mencintai. Tentu dengan cara saya, nggak tau doi. Semoga pencetus teori cinta platonis, Sang Nabi Plato memberkati usaha saya ini.
BACA JUGA Hargai Orang yang Belajar Bahasa Jawa, dong. Jangan Sedikit-sedikit Dibilang Nggak Pantas dan tulisan Taufik lainnya.