Sebetulnya sudah sejak lama tangan saya gatal untuk menuliskan perihal ini, tapi apa daya laporan praktikum dan tugas bertubi-tubi menyerang saya. Akhirnya, sebuah tweet dari akun bot alias menfess benar-benar sangat menyentil nurani saya. Tweet tersebut mencantumkan sebuah tangkapan layar percakapan via WhatsApp antara mbak-mbak sender dan gebetannya.
Gebetannya si sender ini menilai bahwa orang yang kuliah di jurusan kimia memiliki potensi untuk mandul sehingga si mas-mas gebetan pun seperti “melarang” mbak sender untuk kuliah di jurusan kimia murni. Lha, baru gebetan kok sudah ngatur-ngatur. Jadi pacar saja belum tentu apalagi jadi suami. Ehhh wqwqwq.
Kolom balasan pun dipenuhi oleh hujatan orang-orang kimia kepada gebetannya si sender, termasuk saya yang ikutan ke-trigger karena hampir setiap hari (kalau nggak pandemi) saya selalu berkutat dengan bahan-bahan kimia di laboratorium. Gimana saya nggak merasa tersentil coba, setiap hari “main” di lab itu juga sehari bisa dua kali praktikum dengan total waktu delapan jam, pulang magrib, belum termasuk mengerjakan laporannya sudah bikin lelah sampai badan terasa rontok. Lha ini tiba-tiba ada seseorang nyeletuk kalau anak kimia itu mandul. Pengen tak hiihhh.
Emangnya kamu siapa ngatur-ngatur reproduksi orang lain? Kamu nggak ada hak untuk mengomentari soal reproduksi seseorang!11!1! (ceritanya sedang bernarasi sebagai seorang feminis). Terus kalau kasusnya mahasiswa biologi, berarti reproduksinya lancar terus, gitu?
Begini, kita masuk ke laboratorium dan “bermain” dengan bahan-bahan tersebut itu ada aturannya. Kita diwajibkan untuk memakai APD (alat pelindung diri) yang terdiri dari jas lab, masker, sarung tangan, goggle alias kacamata (kalau diperlukan), dan sepatu tertutup. Tujuannya melindungi kita dari hal-hal yang nggak diinginkan. Bahkan seorang asisten praktikum pun nggak akan membiarkan mahasiswa praktikan masuk ke laboratorium kalau nggak pakai jas lab dan membawa APD lengkap.
Cara memperlakukan bahan kimia juga nggak bisa sembarangan, misalnya jika kita ingin mencium bagaimana aroma bahan tersebut, kita harus mengibas-ngibaskan tangan di atas mulut botol larutannya. Kita juga punya panduan seperti K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dan MSDS (Material Safety Data Sheet) selama bekerja di laboratorium.
Nah, untuk masalah mandul sebetulnya bisa saja sih karena mungkin terlalu sering terpapar bahan kimia berbahaya. Namun, balik lagi ke aturan main di atas, selama seseorang itu memakai APD lengkap dan mengikuti tata tertib semua akan baik-baik saja. Bahkan dulu waktu jaman saya maba, salah satu dosen saya pernah menyarankan untuk minum susu sehabis praktikum. Tujuannya untuk menetralisir racun akibat paparan bahan yang masuk ke dalam tubuh tanpa disadari.
Ngomongin soal bahan kimia, masyarakat awam kebanyakan masih menganggap bahwa sesuatu yang berhubungan dengan “kimia” adalah berbahaya. Sejumlah stereotip pun dilayangkan kepada kami orang-orang yang berkecimpung di bidang ini, mulai dari pencipta bom sampai dikira mandul. Akhirnya masyarakat seakan merasa lebih tenang jika sebuah produk mencantumkan label “tanpa bahan kimia.” Obat herbal pun terkadang ada yang mencantumkan embel-embel tersebut.
Padahal, seherbal-herbalnya suatu obat, dia tetaplah bahan kimia. Mungkin akan lebih tepat jika tulisan yang dicantumkan yaitu “tanpa bahan kimia berbahaya” karena hidup manusia nggak pernah terlepas dari material kimia. Dari bangun tidur sampai tidur lagi kita selalu berinteraksi dengan kimia. Ketika kita mandi, kita memakai sabun yang terbuat dari trigliserida (lemak atau minyak) dan basa natrium hidroksida atau kalium hidroksida melalui reaksi penyabunan.
Baju yang kita pakai, kainnya merupakan hasil dari produk petrokimia (produk yang dihasilkan dari minyak dan gas bumi). Sampai perabotan emak-emak seperti plastik warna-warni keramat bermerek inisial T dan teflon di dapur juga terbuat dari senyawa polimer, yang juga merupakan bagian dari produk petrokimia.
Nah, masih ingatkah ketika pandemi Covid-19 lagi booming-boomingnya? Tiba-tiba banyak orang menjadi ahli kimia dadakan. Mencampur bahan ini itu untuk membuat hand sanitizer dengan takaran asal-asalan hingga menyebarnya broadcast di grup WhatsApp bapak-bapak dan ibu-ibu secara masif bikin saya ingin misuh tapi tak sampai. Isi broadcast tersebut menguraikan bahan-bahan dari alam yang dipercaya dapat mencegah penyakit Covid-19 misalnya lemon dengan pH tinggi. Padahal lemon tuh asam kan? Asam sudah pasti pH nya rendah di bawah 7, kalau di atas itu sudah termasuk basa. Belum lagi bahan-bahan lainnya yang mencapai nilai pH hingga 20-an, sedangkan rentang nilai pH hanya sampai 14.
Jadi agak mengganjal rasanya jika kita sebagai manusia ingin menghindari sesuatu bernama “kimia”. Nggak semua bahan kimia itu berbahaya selama nggak melewati nilai ambang batas, Mylov. Tubuh kita bahkan tersusun dari bahan-bahan kimia termasuk penyusun terbesarnya yaitu air yang memiliki rumus molekul H2O. So, jangan takut lagi sama kimia, ya.
BACA JUGA Ava Korea Sudah Biasa Dikambing Hitamkan, Termasuk Soal Omnibus Law dan tulisan Jasmine Nadiah Aurin lainnya.