Isu kesehatan mental kencang sekali gaungnya. Banyak yang ingin tahu apa dan bagaimana kesehatan mental itu. Nggak percaya? Coba saja googling “kesehatan”, maka kata yang muncul di deret atas hasil rekomendasi dari Google adalah kata “mental”. Belum lagi disusul akun-akun media sosial yang khusus berbagi banyak hal tentang kesehatan mental hingga penyedia jasa layanan konseling daring/luring. Semua itu pertanda baik, sebab menambah kesadaran orang-orang tentang kesehatan jiwa, yang ternyata tidak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik.
Lho, emang iya sepenting itu kesehatan jiwa? Saya bisa katakan iya. Sebab saya sendiri berstatus penyintas gangguan jiwa dengan diagnosa F.32.2 (severe depressive episode without psychotic symptoms). Nah lo, panjang banget dah. Intinya, saya didiagnosa depresi sejak tiga tahun lalu.
Apa gejala yang saya alami? Ingat, gejala tiap orang bisa berbeda-beda. Jangan bayangkan saya jadi ngomong sendiri atau ketawa-ketawa nggak jelas. Nggak ada begitu. Yang ada saya nggak bisa bangun dari tempat tidur selama sebulan, kurang lebih.
Akumulasi rasa pedih
Kok bisa? Jawabannya, bisa. Saking nggak kuat menahan beban sakit mental, rasa sakitnya terakumulasi di sakit fisik. Buat sekadar bangun, nyapu lantai aja bisa semaput. Gejalanya sangat membuat tidak nyaman dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Waktu itu saya sampai memohon cuti sakit selama sebulan. Betapa sulitnya fase awal mengenal depresi ini. Saya nggak akan membahas gejala psikisnya. Kenapa? Karena bisa triggering orang lain, bikin orang lain nggak nyaman.
Kalau buat orang lain aja bisa bikin nggak nyaman, apalagi buat saya sendiri, ya kan? Ketidaknyamanan yang saya rasakan lebih pada saat fase-fase relapse atau kambuh, yang membuat fisik saya kembali tidak berfungsi dengan semestinya. Psikiater saya bilang, depresi memang kambuhan, seperti flu. Jadi harus diobati dan di-treatment dengan rajin, biar nggak terlalu kambuhan. Ibarat flu, seperti orang-orang bilang, jangan sering-sering minum es nanti batuk, pilek, demam, dll.
Kalau sudah telanjur kambuh, ya saya terima saja. Nanti juga reda sendiri. Saya buat istirahat dan tidak memaksakan untuk beraktivitas berlebihan. Mirip seperti ketika badan meriang, cukup istirahat, minum teh manis panas, nenggak parasetamol, dll. Tentu saya juga disangoni obat yang rutin tiap hari saya minum. Jenisnya banyak, dosisnya juga berbeda-beda, tergantung rekap kondisi selama sebulan. Betul, kayak pakdhe, budhe, mbah kakung, mbah putri yang rutin konsumsi obat buat hipertensi, diabetes, jantung, dll. Harus disiplin dan gemati ngrumat atau merawat diri sendiri.
ODGJ tapi jadi caregiver
Namanya sakit, tentu harus dirawat supaya sembuh atau minimal tidak kambuh. Akan tetapi bagaimana jika si sakit ini harus menjadi caregiver atau perawat bagi si sakit lainnya? Ini dia. Semenjak didiagnosis depresi, saya ada aja harus turut menjaga keluarga yang sakit fisik. Pertama, 2021 lalu saya harus menemani kakak saya yang istrinya baru lahiran tapi harus masuk ICU karena kondisi tertentu.
Bisa bayangkan si ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) ini harus macak waras merawat dan menemani istri kakak saya. Secara mental saya kena, karena trauma sewaktu mendiang ibu saya berpulang juga di ICU. Saat itu fisik saya bisa ke mana-mana, wira-wiri, cuma pikiran dan batin saya acak-acakan. Lucu juga kalau diingat-ingat, nenggak elizac sembari usung-usung barang ke bangsal. Cen edan!
Kedua, 2022 lalu saya dobel caregiver untuk diri sendiri yang patah jari kaki karena kecelakaan lalu-lintas. Ya tetap bakoh pakai kruk naik ojol buat berangkat-pulang kerja. Belum lama kaki udah bisa diajak naik motor, gantian adik saya yang kecelakaan. Tengah malam ngebut ke UGD sambi panik dan untung udah nenggak sandepril biar nggak oleng.
Ujian belum selesai
Ujian mental belum selesai, sebulan berikutnya bapak saya masuk ICU karena serangan jantung. Sangat dramatis sekali keluarga ini, pikir saya. Lagi-lagi saya yang harus menenangkan, ngayemi hatinya bapak karena diagnosa dari dokter spesialis jantung penyakitnya sudah kebablasan parahnya. Bayangkan! ODGJ ngayemi orang sakit jantung. Jiwa dia saja nggak beres, sok-sokan ngayemi orang lain yang lebih sakit secara fisik. “Pak, yang tenang ya hatinya,” Hilih~ perkataan macam apa itu. Wong hati saya sama pikiran saya jauh lebih awut-awutan. Ramashoook~
Makin ramashoook ketika belum lama kakak saya harus operasi usus buntu. Operasi besar, karena udah pecah usus buntunya. Saya lagi~ hai halo bangsal rumah sakit, lorong bangsal, dan cagak infus~ Sudah jadi bestie kami. Selama 12 hari dirawat, saya kebagian separuhnya menemani kakak saya. Pada suatu ketika, waktu saya membalur kaki kakak saya pake minyak urut, saya nyeletuk, “Kowe yakin laramu kaya ngene dirawat karo wong edan?” (Kamu yakin sakitmu kayak gini tapi dirawat sama orang gila?). Kakak saya hanya bisa senyum-senyum ngampet ngguyu karena perutnya sakit kalau buat ketawa.
Ya, pada akhirnya saya harus macak waras seperti itu di masa-masa sulit dalam keluarga saya. Kadang saya mikir, saya ODGJ tapi bisa mandiri merawat diri sendiri, bersyukur juga. Yang saya kurang syukuri adalah saya juga menyandang ODGJ (orang dengan gaji jogja).
Penulis: Amalia Nurul Fathonaty
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gangguan Jiwa Itu Bukan Cuma Gila, Tak Perlu Menolak ODGJ Dikasih Hak Pilih